Gambar ini diambil dari ChatGPTKehidupan yang kita jalani hari ini hanya berjalan sekedarnya, karena kebahagiaan selalu diletakkan sedikit lebih depan. Tanpa disadari, kebiasaan menunda bahagia ini berkaitan dengan cara kerja dopamin, zat kimia di otak yang membuat manusia lebih terbiasa mengejar masa depan daripada menikmati hari ini. Dopamin Bukan Hormon KebahagiaanSelama ini, dopamin sering disebut sebagai “hormon bahagia”. Padahal, sebutan itu kurang tepat. Hal ini karena dopamin tidak bekerja saat kita menikmati sesuatu, tetapi saat kita mengantisipasi sesuatu.Dopamin dilepaskan saat otak mendeteksi adanya kemungkinan: kemungkinan berhasil, kemungkinan dicintai, kemungkinan hidup membaik. Dopamin muncul diantara keinginan dan kenyataan. Semakin jauh jaraknya, maka akan semakin aktif dopamin bekerja.Oleh karena itu, proses menuju sesuatu sering terasa lebih menggebu dibanding ketika kita berhasil mencapai tujuan yang kita inginkan.Bahagia yang Selalu Sedikit di DepanSaat masih mengejar sesuatu, hidup akan terasa penuh arah. Tapi begitu target tercapai, rasa puas hanya singgah sebentar. Setelah itu, akan muncul target baru yang akan kita kejar, begitu seterusnya.Lulus kuliah tidak otomatis membuat bahagia.Pekerjaan impian tidak selalu menghadirkan kepuasan.Hubungan yang akhirnya “resmi” juga tidak selalu menenangkan.Hal ini terjadi bukan karena kita kurang bersyukur, tetapi karena otak kita tidak dirancang untuk merasa puas dalam waktu yang lama. Kita dapat menyebut fenomena ini sebagai hedonic adaptation. Hedonic adaptation adalah kemampuan manusia untuk cepat beradaptasi dengan pencapaian, lalu kembali mencari stimulus baru.Ketika Dopamin Membentuk Budaya “Nanti” dan Rasa LelahKetika kerja dopamin bertemu dengan budaya modern, muncullah kelelahan yang sulit dijelaskan. Kita hidup di zaman yang terus mendorong “versi diri masa depan”. Mendorong untuk lebih produktif, lebih mapan, lebih bahagia.Sistem dopamin diperkuat oleh budaya kerja keras, target, dan pencapaian. Hidup jadi terasa seperti proyek jangka panjang. Istirahat dianggap penundaan dan menikmati momen dianggap kemewahan.Dalam kondisi seperti ini, otak akan terus berada dalam mode mengejar. Dopamine terus aktif, tapi kepuasan tidak pernah menetap. Hasilnya bukan kebahagiaan, tetapi bornout dan kelelahan emosional.Mengapa “Nanti” Terasa Masuk AkalMenunda bahagia akan terasa masuk akal karena otak memberi ilusi bahwa kebahagiaan akan lebih layak setelah usaha selesai. Dopamin membuat masa depan terlihat lebih menjanjikan daripada hari ini.Masa depan selalu bergerak, saat satu “nanti” tercapai, maka “nanti” yang baru akan tercipta. Bukan hidup yang semakin kejam, tetapi karena mekanisme biologis kita bekerja seperti itu.Kita adalah manusia yang otaknya diarahkan untuk terus melangkah.Hidup yang Terjadi Hari IniFeature ini bukan ditulis untuk menghentikan mimpi dan ambisi. Masa depan tetap penting. Dopamin memang diperlukan agar manusia dapat berkembang, bertahan, dan berani berharap.Kesalahannya adalah ketika seluruh hidup dipindahkan di masa depan, seolah hari ini hanya dianggap sebagai ruang tunggu.Secara biologis, hidup hanya dirasakan saat ini. Dopamin mendorong kita untuk terus berjalan, tetapi makna muncul saat kita berhenti sejenak dan benar-benar hadir.Bahagia tidak harus menunggu semuanya rapi. Bahagia sering datang di momen singkat, ketika kita sedang beristirahat sejenak dan menyadari bahwa kita masih hidup hari ini.Pada akhirnya, yang melelahkan bukan hidup, tetapi kebiasaan menunda bahagia.