“Jika Paus boleh masuk ke masjid, apakah kami diizinkan mengumandangkan azan di Basilika Santo Petrus?” ujar al-Hout, seorang pemuka masjid di Damaskus.Ilustrasi masjid berseberangan dengan gereja (foto: AI-generated)Hampir saja saya memberikan salam di tempat ibadah umat Katolik. Pagi itu, saya datang ke Gereja Katolik Hati Kudus sangat awal, seperti Maria yang mengunjungi makam Kristus.Saya yakin seseorang sudah bangun di dalam gereja itu, hari ini Natal akan dirayakan. Namun pintu gereja masih tertutup rapat. Saya berdiri di depan pintu, menunggu seseorang membukakannya dari dalam.“Saya ingin bertemu Hironimus Radjutuga,” kata saya, setelah pintu itu dibuka oleh seorang lelaki muda berbadan gempal, bermata sipit, berambut cepak, dan sedikit bungkuk. Di lehernya—yang nyaris menyatu dengan bahu—terselip sebuah salib kecil.Lelaki muda itu berdiri tepat di bawah ambang pintu, sementara daun pintu terbuka perlahan. Dari penampilannya, ia tampak seperti Generasi Z (Gen Z): mengenakan kaos polos putih dan celana panjang kargo hitam.“Saya, Ahmad,” ucap saya sambil menjulurkan tangan.“Saya, Kevin Leonardo,” balasnya dengan suara tenang.“Sebentar, Pak. Pak Hironimus ada di dalam, sedang menghias bunga dan menata gereja. Saya panggilkan,” katanya.Ia masuk kembali ke dalam dengan langkah tergesa, meski jalannya sedikit pincang, sepertinya ada masalah pada kaki kanannya. Kini pandangan saya bisa menembus ke dalam gereja: patung Tuhan Yesus tergantung di dinding, menyambut dari kejauhan.Tak banyak cahaya di dalam ruangan yang memanjang dengan kursi jemaat tersusun rapi. Hanya satu-dua lampu kuning yang redup menyala. Dari balik cahaya itu, seorang lelaki tua berjalan perlahan ke arah saya.Ia berambut putih, berkacamata, bertubuh ceking, dan sedikit bungkuk. Ia mengenakan kaos dengan sablon yang telah memudar dan celana kain cokelat yang warnanya hampir pudar pula.Setelah memperhatikan saya sejenak, ia melemparkan senyum.“Hironimus Radjutuga,” ucapnya sambil menjulurkan tangan.“Kebetulan sekali, Pak. Saya Ahmad, dari kantor redaksi. Saya ditugaskan ke sini untuk mewawancarai Anda,” jawab saya.Hironimus menatap saya sebentar, lalu mengajak saya ke halaman depan gereja. Sebuah tenda bertiang berdiri di sana. Ia duduk di kursi yang telah disusun rapi di bawah tenda dan mempersilakan saya duduk di hadapannya.“Ini pos pengamanan,” tunjuknya.“Setiap Natal selalu ada pos pengamanan di sini,” lanjutnya. Saya memandang sekeliling. Ada sebuah meja dan beberapa kursi, mungkin tempat petugas berjaga nanti.Dari halaman gereja, menara dan kubah Masjid Raya tampak jelas. Hanya terpisah oleh sebuah jembatan. Jaraknya hanya sekitar seratus meter.Ilustrasi gereja. Foto: Raiyani Muharramah/ShutterstockKami duduk berhadapan. Saya menghadap pintu gereja; di sisi kiri, sebuah pohon Natal berdiri tegak. Hironimus duduk menghadap masjid raya.Sedikit ke arah barat, dua orang tentara berjaga di dekat pagar gereja, tepat di pos pengamanan pintu keluar kodam tentara republik Indonesia. Selain berseberangan dengan masjid raya, gereja hati kudus juga berdampingan langsung dengan kompleks militer.Menjelang Natal, kehidupan kota berjalan seperti biasa. Tidak ada perayaan megah sebagaimana di kota-kota besar lainnya di Indonesia. Kaum minoritas merayakan hari besar mereka dengan sederhana, di rumah, dan di tempat ibadah.“Tidak apa-apa, biar saya duduk menghadap Masjid Raya,” ujar Hironimus. “Saya selalu suka duduk mengarah ke sana. Selain melihat lalu lintas pengendara, saya juga bisa melihat saudara-saudara beda agama di masjid raya.”Wajah lelah terlihat dari keringat yang menetes di dahinya. Ia memperbaiki posisi duduk, juga kacamatanya, lalu menatap saya. “Tuhan telah memberkati saya. Ini tahun ketiga saya bertugas di sini,” katanya memulai percakapan.Saya melihat ketulusan di matanya, sorot yang mencintai kedamaian, yang menghargai tamu dari agama lain. Tak ada sedikit pun rasa curiga. Padahal, di hari-hari besar seperti ini, umat minoritas di mana pun di dunia, ancaman kerap datang dari mayoritas.Dari caranya duduk, dari kesantunannya, dan dari pilihannya menghadap masjid raya, saya paham mengapa ia dipercaya menjadi pastor kepala di tempat ini.Hironimus bercerita bahwa ia berasal dari Flores dan kini berusia 53 tahun. “Saya baru tiga tahun menjadi pastor kepala di gereja ini. Sebelumnya di Timur, bukan sebagai kepala, melainkan pembina,” tuturnya.Setiap kali berbicara, ia jarang menatap mata lawan bicara. Pandangannya selalu melewati saya, menuju masjid raya di belakang.Ilustrasi Masjid. Foto: AFPIa mengaku selama hidup berdampingan dengan masyarakat yang mayoritas beragama Islam, semuanya berjalan dengan aman. Tidak ada gangguan sama sekali.Tak lama kemudian, Kevin Leonardo muncul membawa dua botol air mineral. Ia menyerahkan satu kepada Hironimus dan satu kepada saya, lalu kembali masuk. Salib kecil itu masih bergantung di lehernya.Kami meneguk air masing-masing, satu-dua tegukan, sebelum Hironimus melanjutkan cerita.“Selama tiga kali Natal di Banda Aceh, semuanya berjalan aman. Tidak ada gangguan sama sekali. Pos pengamanan ini hanya formalitas,” katanya tegas. “Orang-orang di sini baik-baik. Saya mengakuinya.”Sebelum pindah ke Aceh, Hironimus sempat mendengar kabar bahwa daerah ini tidak aman bagi kaum minoritas. Namun, semua kabar itu runtuh setelah ia tinggal dan bergaul langsung dengan masyarakat.“Bagi saya, cara terbaik mengenal suatu wilayah adalah dengan berada langsung di sana. Apa yang dikatakan orang luar atau diberitakan media tidak selalu sama dengan kenyataan,” ujarnya. “Faktanya, kami aman.”Selama tiga tahun bertugas, ia mengalami banyak hal menyenangkan. Salah satunya adalah kedekatannya dengan tokoh-tokoh agama mayoritas, yang selalu memastikan keamanan umat Katolik.“Mereka sering bertanya, ‘Bapak aman di sini?’ Saya selalu menjawab, ‘Saya sangat aman,’” katanya.Pandangan Hironimus tak pernah lepas dari masjid raya. Hingga saya pun memberanikan diri bertanya,“Apa yang Bapak lihat di belakang saya?”“Saya melihat masjid raya,” jawabnya pelan. “Setiap keluar gereja, saya selalu melihat ke sana. Dan saya selalu teringat kisah Paus Yohanes Paulus II, ketika ia untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Masjid Umayyah di Damaskus, dalam misi mencari perdamaian.”Gus Dur ditemani istrinya, Hj. Shinta bertemu Paus Yohanes Paulus II. Foto: Dok. nu.or.idAwal tahun dua ribuan, Paus Yohanes Paulus II tiba di Asia Barat, Suriah. Dua motor pengawal di depan dan empat di belakang mengiringi mobil Paus memasuki pekarangan Masjid Umayyah.Peristiwa itu kemudian tercatat dalam sejarah: untuk pertama kalinya seorang Paus menginjakkan kaki di masjid umat Islam.Di hadapan para hadirin, Paus berpidato tentang konflik berabad-abad di Timur Tengah antara Kristen dan Muslim.“Yang paling saya ingat dari pidato itu adalah penekanannya bahwa kaum muda harus diajari cara menghormati dan memahami satu sama lain agar agama tidak disalahgunakan untuk membenarkan kebencian dan kekerasan,” cerita Hironimus dengan mata berkaca-kaca.“Tapi bagaimana dengan kemarahan umat Muslim saat itu?” tanya saya.“Saya pernah mendengar tentang kunjungan Paus ke masjid, tapi yang saya ingat justru kemarahan di berbagai tempat.”Hironimus membenarkan posisi duduknya.“Ternyata Anda mengetahui cerita itu,” ucapnya datar.“Benar, tapi samar-samar,” jawab saya lagi.Usai kunjungan tersebut, kemarahan memang muncul di berbagai penjuru dunia Muslim. Paus dituduh membawa simbol Kristen secara diam-diam ke salah satu situs suci Islam terpenting. Sebagian umat menuntut agar Paus melepaskan salibnya karena dianggap sebagai penghinaan terhadap Islam.Ratusan ribu warga Suriah memadati Jalan Lurus (Straight Street) di Damaskus—tempat Santo Paulus memeluk agama Kristen—untuk menyaksikan mobil Paus melintas menuju Masjid Umayyah.Kendati demikian, otoritas Suriah melarang protes publik. Demonstrasi dilarang berdasarkan hukum darurat militer yang telah berlaku hampir empat puluh tahun.Sejumlah pengunjung berwisata dengan latar belakang Kota Damaskus di Gunung Qasioun, Suriah, Selasa (7/1/2025). Foto: Khalil Ashawi/Reuters“Saya ingat, saat itu viral di berita-berita, seorang pemuka masjid di Damaskus, Sheikh al-Hout, mengeluarkan pernyataan keras.“Jika Paus boleh masuk ke masjid, apakah kami diizinkan mengumandangkan azan di Basilika Santo Petrus?” ujar al-Hout.Namun, kata Hironimus, pandangan berbeda datang dari Michael Fitzgerald, seorang ahli Islam dari Vatikan. Ia menyatakan bahwa langkah Paus justru dapat dilihat sebagai titik awal pengakuan Katolik atas kesucian Islam.Sebagai catatan, sekitar tiga puluh tahun sebelumnya, Paus Yohanes Paulus II juga menjadi Paus pertama yang memasuki sebuah sinagoga Yahudi.Di sesi terakhir wawancara, Hironimus menutup pembicaraan dengan sebuah kalimat.“Jika masjid raya dan gereja kudus diberi nyawa, siapa yang bisa menjamin mereka tidak mencintai toleransi?”“Toleransi, akan tumbuh dengan sendirinya, terlebih bila dua nyawa telah hidup berdampingan begitu lama,” katanya pelan, sepelan hari itu berlalu di negeri syariat di ujung barat pulau Sumatra.