Ilustrasi lelah karena tugas-tugas. Foto: Gemini AIMinggu itu Solo terasa berjalan begitu cepat dan aku ikut terseret di dalamnya. Sehari-hari aku mengisi jadwal dengan kuliah, tugas, rapat organisasi, dan kepanitiaan. Ketika kalender menandai libur aku tetap datang ke kampus karena selalu ada yang harus dibereskan. Aku menikmati kesibukan itu karena sejak awal aku ikut bukan karena terpaksa melainkan karena aku suka. Rasanya menyenangkan saat merasa produktif dan dibutuhkan, tetapi lama-kelamaan ketika semuanya datang bersamaan rasa suka itu mulai bercampur dengan lelah yang sulit dijelaskan. Burnout itu datang secara perlahan, tanpa aku sadar.Rapat dan deadline berjalan beriringan sementara tugas kuliah terus berdatangan, hingga notifikasi grup tetap muncul bahkan ketika hari sudah berganti. Aku pulang sore dengan energi badan yang habis, tetapi kepalaku masih ramai memikirkan apa yang belum selesai, jadi saat tahu aku punya libur tiga hari aku mengira itu cukup untuk mengembalikan tenaga dan membuatku merasa hidup lagi.Hari pertama libur aku memilih diam di kos karena kupikir itu cara paling masuk akal untuk recharge. Aku rebahan lebih lama, menutup laptop lebih cepat, makan enak, lalu tidur sampai puas. Tetapi anehnya ketika bangun aku tetap lelah. Badanku beristirahat tetapi pikiranku masih tertinggal di kampus, di ruang rapat, dan di daftar pekerjaan yang rasanya tidak pernah habis. Aku duduk lama di kasur kos yang sempit sambil menatap dinding yang sudah terlalu sering kulihat sampai akhirnya aku sadar bahwa mungkin yang lelah bukan cuma badan, mungkin ada bagian lain yang ikut capek dan tidak bisa disembuhkan hanya dengan tidur.Malam itu aku membuka kalender dan baru benar-benar menghitung libur yang kupunya, ternyata tinggal dua hari. Bukannya merasa lega aku malah semakin sesak karena dua hari terdengar terlalu singkat untuk menutup energi yang bocor seminggu penuh. Aku menatap layar ponsel lama sambil mencoba meyakinkan diri bahwa aku bisa baik-baik saja kalau tetap di sini, tetapi semakin kupikir semakin jelas satu hal yang selama ini kutahan, aku butuh pulang.Keputusan itu muncul sederhana, hampir seperti bisikan, "besok sore pulang ke rumah".Aku pulang bukan untuk kabur dari tugas dan bukan untuk lari dari tanggung jawab. Rapat organisasi masih menunggu, kepanitiaan masih berjalan, dan tugas kuliah tidak tiba-tiba hilang. Jadi, aku memasukkan semuanya ke dalam tas mulai dari laptop, catatan, sampai pekerjaan yang bisa kuselesaikan dari rumah. Aku pulang bukan untuk berhenti, aku pulang supaya bisa menjalani semuanya dengan lebih tenang dari tempat yang rasanya bisa memulihkan sesuatu di dalam diri.Ilustrasi perjalanan pulang. Foto: Gemini AIKeesokan sorenya aku pulang dari Solo menuju Kabupaten Ngawi dengan naik sepeda motor dan perjalanannya sekitar dua jam. Anginnya dingin tetapi suasana berubah ketika hamparan sawah hijau mulai muncul di kanan-kiri jalan, jalan desa semakin sepi dan langit terasa lebih lapang dan entah kenapa kepalaku ikut melonggar. Deadline dan pesan grup masih ada, tetapi suaranya tidak lagi sekeras tadi seolah-olah aku sedang diajak bernapas pelan-pelan sebelum benar-benar sampai.Begitu rumah mulai terlihat aku mengurangi kecepatan, lalu suara motorku memecah sunyi jalan desa sampai sebelum mesin benar-benar mati dari dalam rumah sudah terdengar suara yang membuatku tahu aku sedang ditunggu, “eh, sudah sampai yaaa” atau sekadar panggilan namaku yang sederhana tapi hangat. Aku turun dari sepeda motor lalu melangkah mendekat sampai pintu terbuka dan pertanyaan yang selalu sama tapi selalu menenangkan menyambut lebih dulu, “Gimana tadi perjalanannya?" "Pasti capek kan?" "Udah makan belum?” dan di sela pertanyaan itu ada senyuman yang rasanya seperti mengatakan, kamu pulang.Ilustrasi makan dan berbincang bersama keluarga. Foto: Gemini AIAku masuk ke rumah dan menaruh barang, lalu duduk sebentar sambil mengobrol hal-hal kecil yang tidak penting tetapi membuat dadaku lebih ringan sampai akhirnya aku ikut makan bersama. Setelah itu aku mandi, mengganti baju, merapikan badan yang seharian dibawa melawan angin, lalu saat air menyentuh kulit rasanya seperti aku sedang melepaskan semua yang menempel dari minggu yang panjang.Barulah setelah itu aku membuka laptop dan mulai membalas chat organisasi lalu mengerjakan tugas serta menyusun hal-hal yang belum selesai, tetapi rasanya berbeda bukan karena tugasnya lebih mudah melainkan karena di rumah aku mengerjakannya tanpa rasa sendirian. Ada ketenangan yang membuat beban terasa lebih sunyi sehingga ketika aku menutup laptop aku tidak merasa bersalah dan tidak merasa tertinggal.Ilustrasi semangat bisa kembali pelan-pelan ketika mengerjakan tugas. Foto: Gemini AIMalamnya aku tidur di kasur kamar yang selama ini kurindukan, kasurnya mungkin biasa saja tetapi rasanya seperti tempat paling aman untuk memulihkan diri karena di sana tidur bukan lagi pelarian melainkan pemulihan. Di situlah aku mengerti sesuatu yang sederhana, kos bisa mengistirahatkan badan tetapi rumah memulihkan batin. Mungkin karena itulah aku rela pulang meski cuma dua atau tiga hari bukan untuk berhenti bekerja melainkan supaya aku bisa menjalani semuanya dengan lebih waras.Liburku tetap singkat dan aku tetap harus kembali ke Solo, tetapi kali ini aku pulang membawa sesuatu yang sulit dijelaskan, energi yang lebih utuh, kepala yang lebih rapi, dan semangat yang kembali hidup. Kemudian aku sadar ternyata aku pulang bukan untuk berhenti, aku pulang untuk pulih.