Being Busy, Lupa Menjadi Manusia

Wait 5 sec.

Kesibukan sering kali dipahami sebagai tanda produktivitas dan keberhasilan. Semakin sibuk seseorang, semakin ia dianggap bernilai dalam masyarakat modern. Kalender yang penuh, notifikasi yang tak berhenti, dan target yang terus bertambah menjadi simbol kehidupan yang “maju”. Namun, di balik ritme yang serba cepat itu, muncul fenomena yang jarang disadari: manusia menjadi terlalu sibuk hingga lupa bagaimana caranya menjadi manusia. Kesibukan tidak lagi sekadar aktivitas, melainkan identitas yang perlahan mengikis kesadaran, empati, dan makna hidup.Ilustrasi Kesibukan manusia di ruang publik perkotaan (Sumber: Sergio Zhukov/Pixabay)Kesibukan sebagai Standar Sosial BaruDi era modern, sibuk bukan lagi pilihan, melainkan tuntutan sosial. Orang yang memiliki waktu luang kerap dianggap malas atau tidak ambisius. Ungkapan seperti “lagi sibuk” menjadi jawaban otomatis atas berbagai ajakan berinteraksi. Tanpa disadari, masyarakat membangun standar bahwa nilai manusia diukur dari seberapa padat aktivitasnya. Akibatnya, waktu untuk refleksi, beristirahat, dan membangun relasi manusiawi semakin terpinggirkan.Produktif tetapi Kehilangan Kesadaran DiriKesibukan yang berlebihan sering kali membuat manusia bergerak secara mekanis. Aktivitas dilakukan berulang-ulang tanpa sempat dipahami maknanya. Manusia bangun pagi dengan agenda, bekerja mengejar target, lalu tidur dalam kelelahan, hanya untuk mengulang siklus yang sama keesokan harinya. Dalam kondisi ini, manusia memang produktif, tetapi kehilangan kesadaran diri. Pertanyaan sederhana seperti “untuk apa semua ini?” jarang mendapat ruang untuk dijawab.Matinya Kepekaan dan EmpatiKetika kesibukan menjadi pusat kehidupan, hubungan antarmanusia ikut terdampak. Percakapan mendalam digantikan pesan singkat, pertemuan bermakna dikalahkan jadwal padat. Kesibukan sering dijadikan alasan untuk tidak mendengarkan, tidak memahami, bahkan tidak peduli. Perlahan, empati melemah karena manusia terlalu fokus pada urusan masing-masing. Ironisnya, di tengah keramaian aktivitas, manusia justru semakin merasa kesepian.Kesibukan sebagai PelarianTidak sedikit orang yang menjadikan kesibukan sebagai cara melarikan diri dari kekosongan batin. Dengan terus sibuk, manusia tidak perlu berhadapan dengan rasa cemas, ragu, atau pertanyaan eksistensial tentang hidupnya. Kesibukan menjadi tameng agar tidak perlu berhenti dan merenung. Namun, pelarian ini bersifat sementara. Ketika kesibukan berhenti, kekosongan itu kembali muncul, bahkan dengan intensitas yang lebih besar.Menjadi Manusia di Tengah KesibukanMenjadi manusia sejatinya bukan hanya tentang bekerja dan mencapai target, tetapi juga tentang merasa, memahami, dan menyadari keberadaan diri serta orang lain. Kesibukan tidak salah, selama tidak menghilangkan ruang untuk refleksi dan kemanusiaan. Manusia perlu belajar berhenti sejenak, mendengarkan, dan memberi makna pada apa yang dijalani. Dengan demikian, kesibukan tidak lagi menjadi penjara, melainkan bagian dari hidup yang tetap manusiawi.“Being busy” sering kali dibanggakan, tetapi jarang dipertanyakan. Padahal, tanpa kesadaran dan keseimbangan, kesibukan dapat menjauhkan manusia dari hakikat dirinya sendiri. Di tengah dunia yang bergerak cepat, tantangan terbesar manusia bukanlah bagaimana menjadi lebih sibuk, melainkan bagaimana tetap menjadi manusia.