Reformasi Polisi di Ujung Tanduk?

Wait 5 sec.

Polisi menangani demonstrasi mahasiswa di Malang. (Foto: Arik Abd muhyi, under the Unsplash license)Berkernyit dahi saya ketika membaca tulisan The Jakarta Post berjudul “Yearender: Police reform met with doubt amid persistent brutality, impunity”, ditulis oleh Gembong Hanung dan Maretha Uli, terbit 29 Desember 2025. Artikel tersebut bukan sekadar catatan akhir tahun, melainkan juga cermin buram tentang relasi negara dan warga di tengah meningkatnya kekerasan aparat kepolisian.Alih-alih meredakan krisis kepercayaan publik, agenda reformasi kepolisian justru lahir dalam suasana skeptisisme, bahkan sinisme karena praktik brutal dan impunitas terus berulang.Dalam negara demokrasi, polisi adalah instrumen sipil yang diberi mandat konstitusional untuk melindungi warga, menegakkan hukum, dan menjaga ketertiban umum.Ketika kekerasan justru menjadi wajah yang dominan, masalahnya bukan lagi pada individu oknum, melainkan pada desain kelembagaan dan kultur kekuasaan yang menyimpang dari prinsip negara hukum.Demokrasi, Konstitusi, dan Polisi sebagai Alat SipilKonstitusi Indonesia menegaskan Indonesia sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945). Prinsip ini mensyaratkan supremasi hukum, perlindungan HAM, dan pembatasan kekuasaan negara, termasuk kekuasaan koersif aparat.Ilustrasi polisi. Foto: ShutterstockUndang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia secara eksplisit menyebutkan bahwa Polri berfungsi sebagai alat negara yang berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dengan menjunjung tinggi HAM.Namun, fakta di lapangan menunjukkan jurang antara norma dan praktik. Sepanjang 2025, brutalitas polisi justru meningkat seiring maraknya demonstrasi menentang kebijakan pemerintah.Ini memperlihatkan kecenderungan klasik dalam demokrasi yang mengalami democratic backsliding: ketika protes warga dibaca sebagai ancaman stabilitas, bukan sebagai ekspresi kedaulatan rakyat.Ahli demokrasi modern, Larry Diamond, menegaskan bahwa kualitas demokrasi sangat ditentukan oleh sejauh mana institusi koersif negara tunduk pada kontrol sipil dan hukum. Polisi yang bertindak represif terhadap warga sipil adalah indikator melemahnya demokrasi substantif, meski prosedur elektoral tetap berjalan.Data Kekerasan dan Masalah ImpunitasInvestigasi Amnesty International yang mencatat sedikitnya 1.036 korban kekerasan di 19 kota dan 4.194 penangkapan sewenang-wenang sepanjang 2025 adalah alarm keras bagi negara. Angka ini tidak hanya berbicara soal kuantitas kekerasan, tetapi juga soal kegagalan mekanisme pengawasan dan akuntabilitas.Ilustrasi kekerasan. Foto: panitanphoto/shutterstockDalam perspektif teori rule of law yang dikembangkan Tom Bingham, negara hukum mensyaratkan bahwa kekuasaan publik dijalankan secara rasional, proporsional, dan dapat diuji secara hukum.Ketika aparat kebal dari sanksi, yang lahir adalah rule by law, bukan rule of law: hukum dipakai sebagai alat pembenaran kekuasaan, bukan sebagai pelindung warga.Masalah impunitas ini juga diperparah oleh lemahnya pengawasan eksternal, termasuk Kompolnas, serta minimnya keberanian politik cabang eksekutif dan legislatif untuk melakukan koreksi struktural terhadap Polri.Pelajaran dari Negara Lain dan Implikasi bagi IndonesiaPengalaman berbagai negara menunjukkan bahaya serius jika kepolisian dibiarkan brutal dan tidak akuntabel. Di Filipina—pada era “war on drugs”—kekerasan polisi yang masif justru menghancurkan kepercayaan publik, memperluas budaya takut, dan melemahkan sistem peradilan.Di Amerika Serikat, kasus-kasus seperti kematian George Floyd memicu krisis legitimasi kepolisian dan gelombang protes nasional, memaksa negara melakukan reformasi pengawasan dan transparansi.Warga Kenya duduk di bawah grafiti yang menggambarkan pria Afrika-Amerika, George Floyd yang disiksa oleh polisi. Foto: Reuters/Baz RatnerGeorge Floyd adalah warga Afrika-Amerika yang meninggal pada 25 Mei 2020 di Minneapolis, Amerika Serikat, setelah lehernya ditekan dengan lutut oleh polisi Derek Chauvin selama hampir 9 menit saat proses penangkapan.Peristiwa ini terekam dan tersebar luas, memicu gelombang protes global menentang kekerasan polisi dan rasisme struktural, serta melahirkan kembali gerakan Black Lives Matter. Kasus George Floyd menjadi simbol dunia tentang bahaya penyalahgunaan kekuasaan aparat dan pentingnya akuntabilitas polisi dalam negara demokrasi.Implikasinya jelas: polisi yang buruk tidak menciptakan ketertiban, tetapi ketakutan. Ketertiban yang dibangun di atas represi bersifat semu dan rapuh. Masyarakat enggan bekerja sama dengan aparat, hukum kehilangan wibawa moral, dan potensi konflik horizontal meningkat.Bagi Indonesia, pelajaran terpenting adalah bahwa reformasi kepolisian tidak cukup bersifat administratif atau simbolik. Diperlukan political will untuk memperkuat pengawasan independen, memastikan penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan tanpa pandang bulu, serta menata ulang doktrin dan pendidikan kepolisian agar benar-benar berorientasi pada warga.Tanpa itu, reformasi hanya akan menjadi jargon tahunan, sementara kekerasan terus berulang. Dalam negara demokrasi, polisi seharusnya menjadi wajah keadilan. Ketika yang tampak justru kekerasan, yang dipertaruhkan bukan hanya citra institusi, melainkan juga masa depan demokrasi itu sendiri.