Refleksi Akhir 2025: Negara Kuat, Demokrasi Sekarat

Wait 5 sec.

Bendera merah putih berkibar saat terjadinya Halo Matahari di Kayu Aro Barat, Kerinci, Jambi, Jumat (28/8/2020). Foto: Wahdi Septiawan/ANTARA FOTOTahun 2025 akan dikenang sebagai tahun ketika negara tampak semakin kuat, sementara demokrasi justru kehilangan napasnya. Bukan karena pemilu dihentikan atau konstitusi dicabut, melainkan karena demokrasi perlahan dikeringkan maknanya; tetap hidup secara prosedural, tetapi sekarat secara substansial.Sepanjang tahun ini, publik dipaksa menyesuaikan diri dengan ritme kekuasaan yang bergerak cepat dan penuh keyakinan. Kebijakan lahir nyaris tanpa jeda, regulasi disahkan di tengah penolakan, dan kritik sering kali datang terlambat karena keputusan sudah lebih dulu dibuat. Negara terlihat sibuk bekerja. Namun, pertanyaan mendasarnya tetap menggantung: Bekerja untuk siapa dan dengan cara apa?Agustus 2025 menjadi titik ingatan yang sulit dihapus. Jalanan kembali dipenuhi mahasiswa dan masyarakat sipil di berbagai kota. Demonstrasi meledak, bukan karena hasrat mengguncang negara, melainkan karena akumulasi kegelisahan yang tak lagi tertampung.Massa mahasiswa membawa poster saat unjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Selasa (9/9/2025). Foto: Aditia Noviansyah/kumparanIsunya berlapis politik, hukum, arah demokrasi, tetapi suaranya satu: rakyat merasa tidak lagi diajak bicara. Tuntutannya sederhana dan sah: transparansi, dialog, dan akal sehat. Yang hadir justru pagar pengamanan, gas air mata, dan narasi lama tentang stabilitas. Negara menyebutnya dinamika demokrasi. Rakyat merasakannya sebagai jarak yang semakin menganga.Di tengah ketegangan itu, hukum tampil dengan wajah yang kian politis. Sepanjang 2025, pemberian amnesti dan abolisi yang seharusnya menjadi instrumen luar biasa dalam keadaan luar biasa perlahan kehilangan maknanya. Ia tak lagi mengejutkan, bahkan terasa rutin.Ketika pengampunan negara menjadi hal biasa, pertanyaan yang patut diajukan bukan lagi siapa yang dibebaskan, melainkan apakah sistem hukumnya sejak awal masih bekerja secara adil. Negara hukum terasa bergeser menjadi negara kompromi.Ketua MK Suhartoyo (tengah) bersama jajaran Majelis Hakim MK memimpin sidang putusan pengujian materiil UU No. 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI di Jakarta Kamis (30/10/2025). Foto: Dhemas Reviyanto/ANTARA FOTOKegelisahan publik semakin menguat ketika pembahasan dan pengesahan regulasi strategis—seperti Undang-Undang TNI dan penguatan peran kepolisian—berlangsung di tengah resistensi luas masyarakat sipil. Negara berdalih ini demi ketertiban dan keamanan nasional.Namun bagi banyak warga, kebijakan-kebijakan ini justru membangkitkan ingatan lama tentang kekuasaan berseragam yang diberi ruang terlalu luas, sementara kontrol sipil semakin menipis. Demokrasi tetap disebut-sebut, tetapi batas antara kekuasaan sipil dan koersif menjadi semakin kabur.Sepanjang 2025, pola yang sama terus berulang. Kritik dipersempit, perbedaan dicurigai, dan partisipasi publik kerap berhenti pada formalitas. Foto udara areal persawahan yang rusak akibat banjir bandang di Batu Busuk, Padang, Sumatera Barat, Selasa (16/12/2025). Foto: ANTARA FOTO/Iggoy el FitraDi luar hiruk-pikuk politik dan hukum, ada satu kekuatan yang tak bisa dibungkam oleh pasal dan konferensi pers: alam. Menjelang akhir tahun, Sumatera kembali menjadi saksi dari akumulasi panjang kebijakan yang mengabaikan daya dukung lingkungan. Banjir, longsor, dan kerusakan ekologis datang bukan sebagai kejutan, melainkan sebagai konsekuensi. Alam seperti menyusun catatan kaki dari seluruh keputusan yang menyingkirkannya.Di tengah bencana itu, satu pemandangan berulang muncul: warga membantu warga. Donasi dikumpulkan secara swadaya, relawan bergerak tanpa menunggu komando, dapur umum lahir dari inisiatif masyarakat.Solidaritas berjalan lebih cepat daripada kebijakan. Negara hadir lewat pernyataan, sementara rakyat hadir dengan tangan. Ironisnya, di situlah demokrasi justru terasa paling hidup bukan di gedung kekuasaan, melainkan di antara mereka yang saling menolong tanpa menunggu izin.Foto udara warga menyeberangi sungai dengan jembatan darurat di wilayah Tenge Besi, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Aceh, Sabtu (20/12/2025). Foto: ANTARA FOTO/Khalis SurryRumah hanyut, jalan terputus, dan warga mengungsi. Namun, diskursus nasional tetap sibuk membicarakan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Sumatera menangis, sementara pusat sibuk menghitung angka. Bencana menjadi berita sesaat, bukan peringatan jangka panjang. Empati hadir sebentar, lalu tenggelam oleh isu berikutnya.Refleksi akhir 2025 seharusnya menjadi momen kejujuran nasional. Bahwa di balik negara yang semakin kuat, ada demokrasi yang kehilangan napasnya. Bahwa di balik stabilitas yang dibanggakan, ada kebebasan yang dipersempit perlahan. Bahwa di balik hukum yang tampak rapi, ada keadilan yang sering tertinggal.Jika 2025 adalah tahun ketika negara menguat, rakyat gelisah, dan demokrasi terengah, apakah ini harga yang memang harus dibayar? Jika warga lebih cepat menolong warga daripada negara hadir, jika jalanan lebih jujur daripada podium, dan jika alam lebih lantang daripada parlemen, bukankah sudah waktunya kita bertanya: Siapa yang sebenarnya memegang kedaulatan hari ini?