Trend Olahraga di Media Sosial: Motivasi atau Tekanan Sosial

Wait 5 sec.

Olahraga Lari Source: freepik.comBeberapa tahun terakhir, update “kehidupan” yang ditampilkan di media sosial bisa dibilang mengalami perubahan tren. Update yang dulunya berisi kerja lembur, hangout hingga larut, sampai konsumsi junkfood mulai berganti dengan tangkapan layar sesi olahraga yang beragam. Mulai dari progress latihan lari, sesi padel saat weekend, video pilates yang meliuk, hingga unggahan “first Hyrox Race”. Olahraga tidak lagi sekadar aktivitas fisik, tapi juga konten.Dua jenis konten tadi jika dibandingkan memang terasa kontras. Masyarakat semakin sadar pentingnya aktif bergerak sebagai gaya hidup. Namun, di balik tren ini, muncul fenomena yang jarang dibahas secara kritis: FOMO olahraga. Bukan karena tidak mau sehat, tetapi karena takut tertinggal dari apa yang tampak normal di media sosial.Sebagai pengguna media sosial, kita tidak hanya terpapar informasi, tetapi juga standar. Dan standar itulah yang pelan-pelan membentuk tekanan.Media Sosial dan Ilusi “Semua Orang Aktif”Data global dari Strava Year in Sport Trend Report 2025 menunjukkan bahwa komunitas Strava kini mencakup lebih dari 180 juta pengguna, dengan miliaran aktivitas olahraga terekam dalam satu tahun. Bahkan 75% Gen Z menyebut event atau race sebagai motivasi utama mereka dalam berolahraga.Di media sosial angka ini sering dibaca sebagai kabar baik dan diterjemahkan ke dalam visual yang seragam: semua orang terlihat aktif, konsisten, dan progresif. Yang jarang terlihat adalah proses jatuh-bangun, jeda, atau fase berhenti karena tubuhnya cedera. Pada momen ini, media sosial bekerja dengan logika highlight, bukan realita. Akibatnya, olahraga berubah menjadi performa sosial. Ada dorongan untuk ikut olahraga tertentu, mencoba tren yang sedang naik daun, atau membeli perlengkapan mahal agar “tidak ketinggalan”.Tekanan Sosial yang Tidak TerlihatMasalah utama dari FOMO olahraga bukan pada olahraganya, melainkan pada makna yang dibangun melalui komunikasi digital. Kita mulai membandingkan diri dengan orang lain: jarak lari, bentuk tubuh, frekuensi latihan, bahkan jenis olahraga yang diikuti. Laporan Indeks Pembangunan Olahraga (IPO) 2024 menunjukkan bahwa meskipun partisipasi olahraga meningkat, Indeks Pembangunan Olahraga Indonesia baru berada di angka 0,334 dari skala 1. Artinya, ekosistem olahraga termasuk literasi fisik belum sepenuhnya siap mengimbangi cepatnya tren.FOMO Olahraga adalah Masalah KomunikasiDalam perspektif komunikasi, FOMO adalah produk dari narasi kolektif. Jika olahraga terus dikomunikasikan hanya sebagai pencapaian dan estetika, maka FOMO akan terus diproduksi, bahkan oleh mereka yang berniat baik mempromosikan hidup sehat. Tekanan sosial terbentuk dari pesan yang berulang, visual yang seragam, dan definisi “aktif” yang sempit. Jika olahraga terus dikomunikasikan hanya sebagai pencapaian, siapa yang lebih cepat, lebih berat, dan olahraganya lebih ekstrem maka tekanan sosial akan terus diproduksi.Mengubah Cara Kita Berkomunikasi tentang OlahragaJika FOMO menjadi tantangan dalam komunikasi olahraga, kita bisa mulai dengan menggeser narasi yang dibentuk dari hasil menjadi sebuah proses. Media, brand, dan komunitas perlu lebih sering menampilkan proses latihan bertahap, istirahat, pemulihan, bahkan kegagalan. Istirahat bukan tanda gagal. Mengkomunikasikan jeda sebagai bagian dari perjalanan olahraga justru membantu mengurangi tekanan dan risiko cedera. Laporan IPO 2024 juga menunjukkan bahwa olahraga partisipatif seperti jalan kaki dan lari ringan menjadi kontributor utama aktivitas olahraga masyarakat Indonesia. Oleh karena ini, pesan ini penting untuk dimaknai oleh publik agar merasa olahraga tidak harus selalu intens, mahal, dan kompetitif.Meskipun tren olahraga di media sosial adalah peluang, namun hal ini juga menimpulkan tantangan jika tidak dimaknai dengan seimbang. Olahraga seharusnya menjadi praktik hidup gaya hidup yang menenangkan, bukan sumber kecemasan. Media sosial bisa menjadi motivasi, tetapi juga tekanan sosial yang tidak disadari. Sejatinya, olahraga yang sehat adalah yang bisa dijalani dalam jangka panjang, bukan yang terlihat spektakuler dalam waktu singkat.