sumber : https://pixabay.com/id/photos/kapal-pengemudian-ruang-kemudi-1044723/Di balik narasi pertumbuhan industri maritim dan jargon “poros maritim dunia”, kesejahteraan awak kapal masih menjadi isu yang diperlakukan sebagai biaya, bukan jawab. Perusahaan pelayaran kerap memposisikan perlindungan awak kapal sebagai kewajiban administratif dipenuhi sejauh tidak mengganggu efisiensi. Di titik inilah kesejahteraan kehilangan makna substantifnya.Padahal, Maritime Labour Convention 2006 (MLC 2006) telah menetapkan standar global yang jelas: awak kapal bukan sekadar pelengkap operasional, melainkan subjek perlindungan hukum. Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2016. Namun di lapangan, tantangan utama bukan ketiadaan aturan, melainkan resistensi struktural industri untuk menjadikan kesejahteraan sebagai prioritas nyata.Bagi banyak perusahaan pelayaran, kesejahteraan awak kapal direpresentasikan dalam bentuk sertifikat, laporan inspeksi, dan dokumen kepatuhan MLC. Selama kapal lolos audit, persoalan dianggap selesai. Pendekatan ini menciptakan ilusi perlindungan.Kenyataannya, kesejahteraan bersifat hidup dan dinamis, jam kerja yang manusiawi, istirahat berkualitas, makanan layak, akses komunikasi, layanan kesehatan, dan kepastian kontrak. Ketika kesejahteraan direduksi menjadi daftar centang, perusahaan kehilangan sensitivitas terhadap kondisi riil di atas kapal.Industri pelayaran beroperasi dalam tekanan global: tarif angkut fluktuatif, persaingan ketat, dan tuntutan efisiensi tinggi. Dalam situasi ini, awak kapal sering menjadi titik kompromi. Pengurangan jumlah kru, kontrak pendek berulang, dan jam kerja panjang dianggap solusi bisnis yang “rasional”.Inilah tantangan mendasar perusahaan pelayaran: bagaimana menyeimbangkan kelangsungan usaha tanpa mengorbankan martabat awak kapal. Sayangnya, banyak perusahaan memilih jalan pintas menekan biaya tenaga kerja sambil mengklaim kepatuhan regulasi.Kesejahteraan awak kapal tidak hanya soal fisik, tetapi juga mental. Isolasi berkepanjangan, tekanan kerja, konflik di atas kapal, dan keterbatasan komunikasi dengan keluarga menjadi faktor risiko serius. Namun isu kesehatan mental masih diperlakukan sebagai urusan personal, bukan tanggung jawab perusahaan.MLC 2006 membuka ruang bagi perlindungan kesehatan secara menyeluruh. Tetapi implementasi di Indonesia masih minim. Jarang ada perusahaan yang memiliki sistem dukungan psikologis atau pelatihan manajemen stres bagi awak kapal. Tantangan ini diperparah oleh budaya maritim yang masih menganggap kelelahan dan tekanan sebagai “bagian dari profesi”.Perlindungan kesejahteraan sulit terwujud dalam relasi kerja yang timpang. Awak kapal sering berada pada posisi tawar rendah, terutama pelaut kontrak atau rating. Ketakutan tidak dipanggil kembali bekerja membuat banyak awak kapal memilih diam meski haknya dilanggar.Perusahaan pelayaran menghadapi tantangan etis besar: menciptakan lingkungan kerja yang memungkinkan awak kapal bersuara tanpa risiko pembalasan. Tanpa itu, kesejahteraan hanya menjadi jargon perusahaan.Tantangan perusahaan semakin kompleks karena lemahnya pengawasan negara. Inspeksi lebih menekankan kepatuhan administratif daripada evaluasi kesejahteraan substantif. Selama dokumen lengkap, kondisi awak kapal jarang menjadi fokus utama.Situasi ini menciptakan moral hazard, perusahaan tidak terdorong untuk melampaui standar minimum. Negara hadir sebagai regulator formal, bukan penjamin kesejahteraan.Banyak perusahaan pelayaran mengklaim komitmen terhadap corporate social responsibility. Namun kesejahteraan awak kapal pekerja inti Perusahaan sering justru berada di pinggiran agenda CSR. Paradoks ini menunjukkan bahwa kesejahteraan belum dianggap investasi jangka panjang.Padahal, awak kapal yang sejahtera berkorelasi langsung dengan keselamatan, produktivitas, dan reputasi perusahaan. Mengabaikannya berarti mempertaruhkan keberlanjutan industri itu sendiri.Tantangan perusahaan pelayaran dalam melindungi kesejahteraan awak kapal bukan semata persoalan teknis atau finansial, melainkan keberanian moral. Selama kesejahteraan dipandang sebagai beban biaya, bukan fondasi keselamatan dan keberlanjutan, pelanggaran akan terus berulang.MLC 2006 telah memberi kerangka hukum. Yang dibutuhkan kini adalah kemauan industri dan negara untuk mengisinya dengan praktik nyata. Tanpa perubahan paradigma, kesejahteraan awak kapal akan tetap menjadi slogan indah dalam laporan, rapuh di lautan.