Nilai Anjlok, Ada yang Salah di Kelas

Wait 5 sec.

Mau dibawa Kemana Pendidikan Kita? ( Sumber : Ilustrasi dibuat AI)Hasil Tes Kemampuan Akademik (TKA) Nasional 2025 bikin banyak orang geleng-geleng. Rata-rata Matematika cuma 36,10, Bahasa Inggris bahkan lebih rendah: 24,93. Kita bisa saja menyalahkan siswa “kurang belajar”, tapi data ini terlalu keras untuk dibantah: nilai jatuh bukan hanya karena murid tidak mampu, tapi karena kelas tak lagi mengajar seperti dulu.Masalahnya berlapis. Kurikulum terus ganti nama, format, dan istilah, tapi substansi pembelajaran jalan di tempat. Setiap ganti menteri, ganti pula gaya kurikulumnya. Guru dan siswa kelelahan beradaptasi, sementara pemahaman konsep dasar tak kunjung kuat. Istilahnya keren, “Capaian Pembelajaran”, “Modul Ajar”, tapi apa untungnya kalau waktu habis untuk form, bukan memperdalam logika?Ini bukan sekadar keluhan guru, tapi juga dijelaskan teori pendidikan. Menurut Lev Vygotsky, belajar baru bermakna kalau ada interaksi yang mendorong penalaran. Tapi apa daya? Kelas jadi tempat mengeksekusi format, bukan mendiskusikan konsep. Kita sibuk di atas kertas, tapi kosong di ruang kelas.Belum selesai soal kurikulum, guru terjepit beban administrasi. Evaluasi kinerja berbasis aplikasi, laporan digital, unggah sana-sini, semuanya makan waktu. Di atas kertas itu “akuntabilitas”. Di lapangan, guru jadi buruh data yang kehilangan tenaga untuk mengajar. Padahal, riset John Hattie dengan tegas bilang: yang paling memengaruhi keberhasilan belajar adalah kualitas interaksi guru dengan murid, bukan rapor administrasi.Bagaimana dengan siswa? Jatuhnya nilai TKA juga terkait motivasi. Menurut Bernard Weiner, siswa hanya berusaha kalau ada hubungan jelas antara upaya dan hasil. Tapi TKA tidak dihitung untuk kelulusan atau seleksi sekolah. Akhirnya? Banyak siswa menganggapnya formalitas. Tesnya nasional, tapi urgensinya lokal: nol.Lalu muncul ironi di tingkat kebijakan. Pemerintah ingin data berkualitas buat laporan internasional, termasuk perbandingan dengan PISA. Tapi di kelas, siswa diminta santai karena hasilnya tidak berdampak. Kita ingin angka tinggi, tapi menciptakan sistem yang tidak mendorong keseriusan. Kontradiktif? Ya, banget.Yang bikin tambah miris, ketimpangan tetap ada. Sekolah di kota bicara AI, coding, metaverse; sekolah di wilayah 3T masih fokus listrik dan buku. Standar sama, fasilitas beda, tapi nilai diukur serempak. Wajar kalau hasil nasional jadi timpang.Akhirnya, TKA 2025 bukan cuma rapor siswa, tapi rapor sistem. Bukan semata anak-anak kita yang belum mampu, tapi kelas-kelas kita yang kehilangan daya mengajar.Masalah ini tidak akan selesai dengan istilah baru, aplikasi baru, atau slogan baru. Yang kita butuhkan sederhana tapi sulit: stabilitas kurikulum, waktu bernapas untuk guru, dan evaluasi yang benar-benar dihargai siswa. Karena kalau nilai terus anjlok, bukan murid yang pertama kali harus kita salahkan.Pertanyaannya justru: ada yang salah di kelas atau ada yang salah dengan cara kita mengurus kelas?