What If I (Die) Survive? Bagaimana kalau ternyata semua ketakutan ini hanya berada di dalam kepala saja?

Wait 5 sec.

Apakah kamu pernah merasa lelah dengan hidup, sampai rasanya menyerah terdengar seperti pilihan paling masuk akal?Grameds, kamu mungkin pernah menjalani sebuah masa ketika hari-hari berjalan pelan, penuh sesak, dan hampa. Pada masa ini, rasa pahit datang silih berganti, terasa menekan dada, membuat dunia terasa gelap tanpa penjelasan. 🌑Waktu terus bergerak, sementara luka tak kunjung reda. Sakit demi sakit menumpuk, menjelma beban yang dirasa terlalu berat untuk dibawa sendiri. Luka itu hidup, dirawat oleh ingatan, dan sesekali mendorong pikiran menuju jalan pintas yang tampak menjanjikan kelegaan. Dari gua keputusasaan itu, muncul sebuah pertanyaan: bagaimana… jika.. aku.. mati.. saja? Namun, itu bukan satu-satunya pilihan. Segalanya mesti dipikir dengan matang.Bahkan di hari-hari paling gelap, cahaya kadang hadir tanpa aba-aba. Sebuah ilham kecil yang perlahan mengikis keputusasaan, lalu melahirkan pertanyaan lain yang lebih tenang: bagaimana jika aku justru bisa terbebas?Bagaimana Jika Aku Justru Bisa Terbebas?Kalimat itu hadir menjadi sebuah hal yang ditawarkan oleh Nisrina Aulianda dalam buku terbarunya yang berjudul What If I (Die) Survive? Sebuah buku yang berisikan kisah reflektif tentang seseorang yang pernah hidup di bawah bayang-bayang luka dan trauma.Temukan Di Sini!Bergerak melewati tumpukan rasa sakit yang membuat hidup terasa berat, melelahkan, hingga memunculkan tendensi merenggut nyawa sendiri; perlahan, kisahnya bergerak ke arah yang berbeda, serupa memberi cahaya untuk terus hidup masuk melalui kecilnya celah yang ada.Dari balik luka yang tak sepenuhnya hilang, buku ini kemudian akan menelusuri proses bangkit dengan jujur dan lembut. Bersorak dengan keberanian menatap masa lalu, berhenti melarikan diri, dan memilih untuk tetap hidup meski pernah merasa runtuh berkali-kali.Perihal Memilih Hidup, Setelah Mati Berkali-KaliAku pernah menampung begitu banyak rupa luka hingga kupikir trauma adalah satu-satunya benih yang tersisa.Namun ternyata, ada sesuatu yang tetap tinggal: benih kecil untuk hidup, yang perlahan menuntunku keluar dari ruang gelap dan menghidupi hidupku kembali dengan akar yang lebih kuat.Sekarang pertanyaanku bukan lagi pada ‘kematian’, tapi pada bagaimana jika aku ‘bertahan’? Aku tak ingin lagi melarikan diri, aku akan memilih ‘hidup’ bahkan setelah mati berkali-kali.Oleh karena itu, aku lebih memilih dia dari masa laluku. Kuberi padanya kesempatan kedua, karena kali ini dia datang dalam versi terbaiknya. Dia seperti gunung yang sunyi tapi menenangkan, dan menjadi tempatku berpijak tanpa takut tenggelam.Pada akhirnya, yang aku butuhkan adalah cinta yang membuatku merasa pulang, maka kuputuskan masa lalu layak menjadi tujuan.Baca juga: Madilog dan Ajakan Tan Malaka untuk Membaca Dunia dengan NalarCuplikan Kata-kata yang Akan MenyembuhkanMelalui buku ini, kamu akan disuguhkan dengan rangkaian kata-kata yang terasa seperti sebuah obat. Obat yang juga akan menenangkanmu secara perlahan-lahan.Berikut adalah sekilas cuplikannya:“Sebelum kamu merasakan kemenangan yang sesungguhnya, kamu harus lebih dulu melewati kesulitannya.”"Selama kamu percaya, bertekad, dan berusaha sesuai kemampuanmu, meski mungkin harus memakan waktu, pada akhirnya mimpimu akan tercapai."“Jika hidup dengan baik saja tak menjamin bahwa kita akan berbahagia secara abadi setelah kematian, apa yang membuat kita berpikir bahwa kita akan bahagia dengan hidup tidak baik dan bertingkah melampaui batas dengan membunuh diri kita sendiri?”“Tidak harus sesuai dengan yang kamu mau, mimpi itu akan tercapai dalam bentuk yang akan lebih baik untukmu.”Baca Artikel Lainnya di Sini!Rasakan Kehangatan Bukunya Dengan Harga Spesial!Yup, buat kamu yang tertarik untuk membaca hangatnya setiap cerita yang tertera dalam buku What If I (Die) Survive?, kamu bisa merasakan pelukannya lewat Pre-Order di Gramedia! 😍Dengan harga spesial Rp88.000, kamu sudah bisa mendapatkan buku beserta bonus berupa tanda tangan penulis, bookmark, stiker, dan surat spesial untukmu. Wah, banyak banget yaa!Penawaran ini hanya berlangsung selama 28 Desember 2025 hingga 3 Januari 2026 aja ya!Dapatkan Promonya Di Sini!Buku Rasa Peluk LainnyaSelain buku tadi, bacaan ini juga akan menyambutmu serupa pelukan erat. Pelukan yang akan kembali menghadirkan kehangatan selepas hadirnya badai dalam hari-harimu.1. The Strength in Our Scars – Bianca SparacinoTemukan Di Sini!Setiap luka meninggalkan jejak. Ada yang kita sembunyikan, ada pula yang kita tampakkan. Namun, di balik semua itu, selalu tumbuh kekuatan untuk bertahan, bangkit, dan kembali percaya.The Strength in Our Scars berisikan kata-kata yang hadir layaknya seorang sahabat. Ia lembut, jujur, dan penuh pengertian. Buku ini adalah pelukan hangat bagi siapa pun yang pernah terluka, sekaligus pengingat bahwa kita tidak pernah benar-benar sendirian.Biarkan setiap halaman buku ini menjadi cermin yang mengingatkan, bahwa kekuatan yang kamu cari sebenarnya selalu ada di dalam dirimu.2. A Gentle Reminder – Bianca SparacinoTemukan Di Sini!Buku A Gentle Reminder karya Bianca Sparacino adalah buku puisi dan prosa singkat yang mengingatkan pembaca untuk tidak mudah menyerah dan kalah dengan keadaan. Perubahan yang terjadi, baik dari dalam diri maupun orang lain, merupakan perjalanan hidup yang harus kita lalui sebagai manusia. Sparacino membalut kata demi kata dengan gaya bahasa yang lembut dan tegas.Buku ini mengangkat beberapa topik utama, seperti percintaan, pengembangan diri, dan penguasaan diri. 3. Jujur, Ini Berat – Khoirul TrianTemukan Di Sini!Kadang, yang paling sulit adalah mengakui kalau kita sedang tidak baik-baik saja. Dalam Jujur, Ini Berat, Khoirul Trian menulis dengan kejujuran yang menelanjangi luka. Ia berbicara tentang rasa sakit yang tak terlihat, tentang bagaimana kita sering berusaha kuat di depan orang lain, tapi diam-diam nyaris roboh di dalam diri sendiri.Teks-teks di dalamnya terasa seperti surat penyembuhan. Trian mengingatkan bahwa tak semua orang akan mengerti kita; itu tidak apa-apa. Tugas kita bukan mencari pengakuan, melainkan belajar merawat diri sendiri. Ia menulis dengan gaya yang lugas, kadang menampar, tapi selalu membawa rasa hangat di akhir setiap paragraf.Buku ini akan menemanimu menelusuri rasa sakit tanpa merasa sendirian. Sebuah pengingat lembut bahwa kita layak disembuhkan, meski oleh tangan kita sendiri. 4. Jangan Cemas: Kurangi, Relakan, Tinggalkan – Shunmyo MasunoTemukan Di Sini!Lewat Jangan Cemas: Kurangi, Relakan, Tinggalkan, Shunmyo Masuno mengajak kita untuk melihat lebih dekat akar dari kecemasan itu dan bagaimana cara membiarkannya pergi. Buku ini membuka mata kita bahwa sebagian besar hal yang kita khawatirkan sebenarnya hanya hidup di dalam pikiran, bukan kenyataan.Masuno menulis dengan gaya yang menenangkan, menghadirkan 48 pelajaran sederhana yang membantu kita kembali ke momen kini. Ia mengingatkan bahwa saat kita berhenti membandingkan diri dengan orang lain, berhenti menjejali kepala dengan informasi berlebih, dan berhenti memaksakan diri untuk selalu cepat; pikiran akan jauh lebih ringan. Dalam setiap hal kecil yang kita lepaskan, ada ruang baru yang tercipta untuk ketenangan dan kelegaan. 5. Museum of Broken Heart – Brian KhrisnaTemukan Di Sini!Setiap patah hati selalu meninggalkan jejak. Bisa berupa tiket bioskop, potongan percakapan, wangi parfum, atau sekadar foto yang tersimpan di ponsel. Brian Khrisna mengumpulkan semua serpihan itu dalam bukunya, Museum of Broken Heart. Sebuah ruang imajiner tempat kenangan-kenangan bahagia berubah jadi luka yang pelan-pelan mengikis diri.Buku ini mengajak pembaca untuk menelusuri museum perasaan yang rapuh—melalui kepercayaan yang pernah tumbuh tapi kemudian hancur. Lewat metafora yang puitis, Brian menulis patah hati bukan sebagai akhir, melainkan sesuatu yang pernah begitu nyata dan mengisi hidup. Membacanya membuat kita serasa sedang berjalan di antara benda-benda usang yang menyimpan kisah personal.Lebih dari sekadar tulisan melankolis, buku ini adalah refleksi tentang bagaimana manusia menghadapi kehilangan. Ia menyentuh sisi paling rapuh dari diri kita, sekaligus memberi ruang untuk menerima bahwa tidak semua yang indah ditakdirkan untuk bertahan. Pada akhirnya…What If I (Die) Survive? hadir sebagai bacaan reflektif yang menemani proses menerima diri, bertahan dengan sadar, dan menumbuhkan hidup dengan akar yang lebih kuat.Berangkat dari pengalaman empiris penulisnya, buku ini juga akan mengajakmu menjelajahi ruang-ruang sunyi, tempat pikiran gelap pernah tinggal, dan pertanyaan tentang hidup sempat terasa begitu berat. Perjalanan ini tidak menawarkan jalan pintas, melainkan ruang aman untuk memahami luka dan menata kembali harapan.Sebagaimana dituliskan penulisnya:“Namun, ada suatu waktu aku menyadari bahwa meski hidup tak mudah; ada banyak hal indah yang membuat hidup ini layak untuk dihidupi. Untukku, hal indah tersebut adalah mengetahui bahwa: barangkali, penderitaanku bisa menjadi ilmu untuk orang lain.”Baca juga: Rekomendasi Buku Indonesia Best Seller Desember 2025✨ Oya, jangan lupa juga buat dapetin penawaran spesial lainnya dari Gramedia! Cek promonya di bawah ini agar belanja kamu jadi lebih hemat! ⤵️Temukan Semua Promo Spesial di Sini!