Sumber foto: Instagram @uppkjtimPembukaan kembali Planetarium Jakarta seharusnya menjadi kabar yang menggembirakan. Namun di balik antusiasme publik, peristiwa ini sekaligus menyisakan pertanyaan: mengapa ruang edukasi sains baru terasa penting ketika ia sempat lama hilang dari kehidupan kota?Selama bertahun-tahun, masyarakat Jakarta hidup di tengah banjir hiburan digital, pusat perbelanjaan, dan ruang rekreasi yang nyaris seragam. Di tengah hiruk-pikuk tersebut, ruang edukasi seperti Planetarium justru perlahan tersisih. Maka, ketika Planetarium akhirnya dibuka kembali, euforia yang muncul bukan hanya soal destinasi baru, melainkan kerinduan akan ruang belajar yang selama ini absen dari ruang publik.Planetarium menawarkan pengalaman yang berbeda dari sekadar hiburan. Ia menghadirkan semesta sebagai bahan refleksi, bukan hanya tontonan. Di dalam ruang gelap dengan proyeksi bintang dan planet, pengunjung diajak berhenti sejenak dari rutinitas kota dan kembali pada rasa ingin tahu paling dasar: tentang asal-usul, jarak, dan keterbatasan manusia di alam semesta.Fenomena ini dapat dibaca melalui Uses and Gratifications Theory yang memandang publik sebagai subjek aktif dalam memilih media dan ruang untuk memenuhi kebutuhannya. Antusiasme terhadap Planetarium menunjukkan bahwa masyarakat tidak semata mencari hiburan instan, tetapi juga ruang yang mampu memenuhi kebutuhan kognitif dan reflektif—kebutuhan yang kerap terpinggirkan dalam kebijakan ruang kota.Namun, pembukaan kembali Planetarium Jakarta juga menjadi cermin bagi wajah pembangunan kota. Selama ini, ruang edukasi informal kerap kalah prioritas dibanding proyek yang lebih menjanjikan nilai ekonomi cepat. Planetarium sempat ditinggalkan, bukan karena publik tak membutuhkan, melainkan karena ia tak dianggap mendesak.Di sinilah letak persoalan utamanya. Jika ruang sains hanya dihidupkan ketika nostalgia publik muncul, maka Planetarium berisiko kembali redup. Tanpa pengelolaan yang konsisten, pembaruan narasi, dan keberpihakan kebijakan, ia hanya akan menjadi simbol seremonial, bukan ruang pembelajaran yang berkelanjutan.Pembukaan kembali Planetarium Jakarta seharusnya dibaca sebagai pengingat: kota tidak hanya membutuhkan ruang konsumsi, tetapi juga ruang kontemplasi. Dalam semesta yang diproyeksikan di langit-langit Planetarium, publik diajak menyadari bahwa kemajuan kota tidak diukur dari seberapa banyak hiburan yang tersedia, melainkan dari sejauh mana ia memberi ruang bagi warganya untuk berpikir, belajar, dan bertanya.