Banjir Aceh Tamiang. Foto: Suhendra/Antara FotoTahun 2025 seharusnya menjadi momentum percepatan pemulihan pasca pandemi dan penguatan ketahanan nasional. Namun, akhir tahun ini Indonesia justru kembali berduka. Pulau Sumatera dilanda bencana ekologis terbesar dalam beberapa dekade terakhir, kombinasi banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat sejak akhir November 2025.Bencana ini tidak lagi bisa dipandang sekadar fenomena hidrometeorologi biasa. Ini merupakan hasil akumulasi kerusakan ekologi struktural, terutama akibat alih fungsi hutan dan lahan besar-besaran yang pada gilirannya memperlemah ketahanan sosial, ekonomi, dan energi nasional.Rekapitulasi Dampak BencanaBNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) terus memperbarui data dampak bencana yang bisa dilihat pada gis.bnpb.go.id/bansorsumatera2025, tercatat data per 25 Desember 2025 korban meninggal 1135 jiwa, hilang 173 jiwa dan total pengungsi mencapai 490 ribu jiwa. 3 kab/kota dengan jumlah meninggal tertinggi yaitu Aceh Utara (205 jiwa), Agam (191 jiwa) dan Tapanuli Tengah (123 jiwa). Adapun 9 dari 10 kab/kota dengan pengungsi terbanyak berasal dari provinsi Aceh, dengan total pengungsi sebanyak 461.3 ribu jiwa atau sekitar 94 persen dari total pengungsi.Banjir Tapanuli Selatan. Foto: Yudi Manar/AntaraBencana ini melanda 52 kabupaten/kota 3 dari ketiga provinsi yang mengakibatkan 158 ribu rumah rusak, 200 fasilitas kesehatan rusak, 3188 fasilitas pendidikan rusak, 806 rumah ibadah rusak, 98 jembatan dan 101 jalan terputus. Bencana ini juga tak luput menghancurkan berbagai wilayah pertanian yang berpotensi mengancam ketahanan pangan daerah hingga nasional.Alih Fungsi Lahan: Penyebab Struktural yang Menguatkan BencanaAda dua penyebab dari bencana banjir yang terjadi di Sumatera, yaitu badai siklon dan deforestasi. Tidak dapat dipungkiri, bencana ini diperburuk oleh deforestasi dan degradasi lingkungan yang berlangsung selama bertahun – tahun. Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik), sepanjang tahun 2013 hingga 2022, Indonesia mengalami deforestasi kawasan hutan sebesar 2.75 juta hektare dan deforestasi bukan kawasan hutan sebesar 1.22 juta hektare dengan agregat 3.97 juta hektare terdeforestasi selama periode tersebut.Hal inilah yang memperparah bencana, curah hujan yang tinggi akibat badai siklon dan daya tampung air di hutan yang rendah sehingga mengakibatkan banjir bandang ke dataran rendah.Deforestasi Indonesia. Foto: Global Forest WatchHal serupa juga disoroti oleh globalforestwatch.org, yang memberikan data dari 2002 hingga 2024, Indonesia telah kehilangan 11 juta hektare hutan primer basah serta periode 2001 hingga 2024 terjadi kehilangan tutupan pohon sebesar 76%. Praktik alih fungsi lahan ini, yang sering disetujui oleh berbagai izin usaha, juga memicu kontroversi tentang tanggung jawab korporasi dan tata kelola sumber daya alam.Dampak Bencana Terhadap Ekonomi dan EnergiTak hanya memberi duka mendalam bagi korban, bencana ini juga memberi dampak serius terhadap perekonomian. Kerusakan rumah penduduk, kehilangan pendapatan rumah tangga, rusaknya fasilitas infrastruktur jalan dan jembatan serta kehilangan produksi lahan pertanian akibat tergenang banjir-longsor ditaksir mencapai nilai kerugian ekonomi sebesar Rp. 68.67 Triliun (CELIOS, 2025). CELIOS juga secara spesifik memproyeksikan wilayah terdampak per provinsi, seperti Aceh (Rp. 2.2 Triliun), Sumatera Utara (Rp. 2.07 Triliun) dan Sumatera Barat (Rp. 2.01 Triliun).Banjir Padang. Foto: Antara FotoBank Dunia juga menyoroti banjir Sumatera lewat Lead Economist Bank Dunia untuk Indonesia & Timor Leste, David Knight mengatakan “bencana banjir akan berdampak negatif terhadap kegiatan perekonomian di Indonesia”. Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto juga memperkirakan wilayah terdampak banjir Sumatera akan melemah, tetapi beliau memastikan pemerintah akan memberikan sejumlah relaksasi keuangan bagi masyarakat di wilayah terdampak bencana.Selain berdampak pada perekonomian, bencana ini juga mengganggu sejumlah aktivitas energi di masyarakat. Banyak infrastruktur jaringan listrik yang roboh sehingga wilayah terdampak banjir harus blackout selama beberapa hari hingga hitungan minggu. Pelajaran yang Tidak Boleh Diabaikan NegaraSebagai pemerhati energi dan lingkungan, saya memandang bahwa tragedi ini sangat erat dengan perlindungan lingkungan. Pengabaian terhadap lingkungan hidup tak hanya mengancam ketahanan energi, tetapi lebih dari itu. Kejadian ini merenggut banyak nyawa, ratusan ribu rumah rusak hingga rata dengan tanah, menggerus perekonomian daerah hingga nasional serta wilayah pertanian yang mengancam ketahanan pangan.Beberapa pelajaran yang dapat diambil dari kejadian ini adalah:Pengelolaan hutan dan lahan harus benar – benar berbasis ilmu pengetahuan dan mitigasi risiko bencana.Pemerintah perlu memperketat perizinan hutan dengan melakukan audit berkala minimal 6 bulan sekali atau maksimal 1 tahun sekali.Peringatan bencana oleh BMKG juga perlu diantisipasi sedari awal untuk meminimalisir dampak dari bencana yang terjadi.Akhir KataTahun 2025 ditutup dengan tragedi ekologis yang tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga mencabik-cabik fondasi sosial, ekonomi, dan lingkungan yang seharusnya menjadi basis kesejahteraan bangsa. Bencana ini bukan sekadar ujian alam, melainkan refleksi tajam atas kegagalan kita menjaga bumi sebagai sumber kehidupan dan energi.Jika tidak ada perubahan arah pembangunan yang mendasar, bencana serupa akan terus berulang dengan skala yang semakin besar. Sumatera hari ini telah memberi pelajaran yang sangat mahal. ketahanan energi dan pertumbuhan ekonomi tidak akan pernah kokoh jika dibangun di atas kerusakan ekologi. Alam selalu mencatat, dan pada akhirnya, selalu menagih.