Klaim Whoosh sebagai Investasi Sosial adalah Pernyataan Keliru

Wait 5 sec.

Kereta cepat Whoosh melintas di Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, 31 Juli 2025. (ANTARA/Abdan Syakura/foc)JAKARTA – Soal utang dan pembengkakan biaya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung KCJB) atau Whoosh kembali memanas, setelah Joko Widodo menyebut proyek tersebut adalah investasi sosial.Whoosh tengah menjadi sorotan publik karena utangnya yang membengkak. Pemerintah pun berupaya mencari solusi terkait utang tersebut.Danantara juga tengah mencari cara meringankan proyek pembiayaan, dengan salah satu cara yang kemungkinan dilakukan adalah meminta dukungan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).Namun di sisi lain, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan tidak akan menggunakan uang negara atau APBN untuk melunasi utang megaproyek Whoosh.Di tengah kisruh utang Whoosh, Presiden Ketujuh RI Joko Widodo (Jokowi) angkat bicara. Ia menegaskan KCJB dibangun bukan untuk mencari keuntungan finansial, melainkan sebagai investasi sosial bagi masyarakat.Presiden Joko Widodo meresmikan kereta cepat Jakarta-Bandung "Whoosh" di Stasiun Halim, Jakarta, Senin (2/10/2023). (ANTARA/Akbar Nugroho Gumay/rwa/aa.)Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menuturkan, pernyataan Jokowi yang menyebut Whoosh adalah investasi sosial keliru.Dampak Sosial TerbatasStuktur pembiayaan proyek KCJB sejak awal dirancang berbasis utang dari China Development Bank (CDB). Total nilainya mencapai 7,2 miliar dolar Amerika Serikat atau Rp116,5 triliun. Hingga saat ini belum ada kepastian penyelesaian utang tersebut.Nailul Huda menuturkan, Whoosh tidak bisa dianggap memiliki manfaat sosial karena tidak dapat dinikmati oleh semua golongan masyarakat. Salah satu penyebabnya adalah tarif KCJB yang cukup tinggi, mulai Rp250 ribu per penumpang, sehingga dinilai hanya terjangkau untuk kalangan menengah ke atas.Melihat tarif yang cukup tinggi, Huda memandang Whoosh bukanlah barang publik, melainkan barang privat.“Ketika harga tersebut membuat masyarakat luas susah mengakses sebuah layanan, maka dari sisi manfaat sosial Whoosh tidak bisa dilihat sebagai barang publik,” ucap Huda.Dengan harga yang tinggi, kelompok menengah ke bawah lebih memilih moda transportasi lain yang lebih terjangkau. “Jadi dampak sosialnya sangat terbatas, bukan tidak ada sama sekali,” ujarnya.Situasi para penumpang kereta cepat Whoosh saat turun di Stasiun Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Jumat (17/10/2025). (ANTARA/Rubby Jovan)Dosen Departemen Ilmu Ekonomi dari Universitas Airlangga, Rumayya PhD ikut mengomentari pernyataan Jokowi. Ia mengatakan, Whoosh memang bukan proyek komersial biasa karena manfaatnya mencakup peningkatan konektivitas, efisiensi, waktu tempuh, serta transfer teknologi dan keahlian.“Namun, label investasi sosial tidak dapat menjadi pembenaran,” ucapnya, mengutip Kompas.Proyek Whoosh, kata Rumayya, menelan biaya sangat besar dengan total investasi mencapai 7,2 miliar dolar AS untuk jarak kurang lebih 142 kilometer. Artinya, per kilometer memakan biaya sekitar 51 juta dolar AS, dan menjadi salah satu proyek kereta cepat termahal di dunia.“Untuk perbandingan, biaya per kilometer kereta cepat di China sekitar 22 juta dolar AS, di India sekitar 39 juta dolar AS. Padahal GDP (Produk Domestik Bruto) per kapita Indonesia jauh lebih rendah," kata dia.Hal ini, lanjutnya, membuat beban fiskal yang harus ditanggung Indonesia relatif jauh lebih berat.Biaya Operasional TinggiSalah satu penyebab membengkaknya utang di antaranya karena operasional Whoosh belum menunjukkan performa maksimal. Sejak beroperasi secara komersial pada Oktober 2023 hingga akhir Juli 2025, jumlah penumpang kereta cepat hanya mencapai 10,7 juta penumpang.Dalam keterangan pers pada Juli 2025, KCIC mencatat jumlah penumpang harian Whoosh masih berkisar 16.000 sampai 18.000 orang para hari kerja, sementara pada akhir pekan jumlahnya hanya 18.000 hingga 21.000 orang.Jumlah ini jauh dari target optimistis. Dalam studi kelayakan dalam proposal pembangunan Whoosh yang ditawarkan KCIC, skenario optimistis mematok target harian penumpang mencapai 76.000 orang.Pada skenario pesimistis, Whoosh bisa mengangkut 50.000 penumpang per hari. Artinya, realisasi jumlah penumpang harian saat ini masih jauh di bawah skenario pesimistis sekalipun.“Artinya ketika ekspektasi penumpang tak terpenuhi, yang terjadi operational cost besar. Karena biaya ini tidak terpenuhi dari pendapatan, maka rugi terus, dan sulit bayar utang,” Huda menegaskan.“Sederhananya, ketika Whoosh rugi, maka akan susah bayar utang. Yang harus dibenahi pertama adalah harus untung dulu. Kalau nggak untung, bagaimana bisa bayar utang? Justru jadi beban,” sambungnya.Hal senada juga dituturkan Rumayya. Realisasi penumpang harian yang jauh di bawah target awal membuat utang Whoosh membengkak.“Ini artinya utilisasi masih jauh di bawah target awal, maka konsekuensinya semakin rendah pemanfaatan, semakin besar risiko proyek tidak bisa menutup biaya operasional dan utangnya. Hal ini memperbesar ketergantungan pada subsidi atau restrukturisasi utang,”kata dia menandaskan.