Akselerasi Digital Indonesia: Dari Retorika Sinergi ke Reformasi Tata Kelola

Wait 5 sec.

Ilustrasi transformasi digital indonesia. (Sumber foto: Idisign)Transformasi ekonomi dan keuangan digital telah menjadi narasi besar dalam pembangunan nasional. Pemerintah Indonesia menempatkan agenda digital sebagai salah satu motor utama akselerasi pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan inklusi keuangan.Namun, di balik jargon sinergi dan inovasi yang kerap digaungkan dalam berbagai forum, sejauh mana transformasi ini benar-benar menyentuh fondasi tata kelola publik, bukan sekadar memperkuat kepentingan industri digital dan lembaga keuangan besar?Pemerintah telah meluncurkan berbagai strategi, mulai dari Digital Economy Framework, Indonesia Digital Roadmap 2021–2024, hingga Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025 yang disusun Bank Indonesia. Tujuannya jelas: memperkuat ekosistem digital melalui kolaborasi lintas kementerian, lembaga, dan sektor swasta. Namun dalam praktiknya, koordinasi lintas sektor belum berjalan efektif.Sebagai contoh, banyak inisiatif digital yang berjalan tumpang tindih. Program digitalisasi UMKM dari Kementerian Koperasi berbeda arah dengan program merchant onboarding milik perbankan. Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia memiliki kebijakan masing-masing dalam mengatur ekosistem fintech tanpa satu sistem integratif berbasis data bersama. Hasilnya, bukan sinergi yang muncul, melainkan fragmentasi kebijakan digital.Ilustrasi ekonomi digital. Foto: shutterstockKondisi ini menunjukkan bahwa transformasi ekonomi digital tidak hanya membutuhkan inovasi teknologi, tetapi juga reformasi tata kelola yakni kemampuan negara untuk mengatur, mengordinasikan, dan mengukur dampak kebijakan secara lintas sektor.Antara Inovasi dan Kesenjangan RegulasiInovasi digital memang bergerak lebih cepat dibanding kemampuan regulasi negara. Fenomena embedded finance, blockchain, dan AI-driven credit scoring tumbuh pesat tanpa kerangka pengawasan yang memadai. Akibatnya, terjadi ketimpangan antara efisiensi yang dijanjikan oleh teknologi dan perlindungan terhadap masyarakat sebagai pengguna.Bank Dunia (2024) mencatat, indeks inklusi keuangan digital Indonesia meningkat menjadi 77%, tetapi masih menyisakan kesenjangan digital yang signifikan di kalangan perempuan, pelaku UMKM mikro, dan masyarakat desa. Artinya, digitalisasi yang masif belum tentu setara dengan transformasi yang inklusif.Masalah lainnya adalah regulasi yang bersifat sektoral dan reaktif. Banyak kebijakan keuangan digital disusun berdasarkan tekanan pasar atau dinamika global, bukan atas dasar perencanaan nasional jangka panjang. Negara sering kali baru bertindak setelah terjadi disrupsi besar seperti kasus pinjaman online ilegal atau kebocoran data.Ilustrasi kebocoran data. Foto: Alexander Geiger/ShutterstockPadahal, tata kelola digital yang baik seharusnya bersifat proaktif dan adaptif, bukan sekadar reaktif terhadap risiko. Pemerintah perlu memperkuat kapasitas analisis kebijakan berbasis data (data-driven policy) agar mampu memprediksi tren ekonomi digital sekaligus menyiapkan instrumen regulatif yang responsif terhadap perubahan teknologi.Ekonomi Digital dan Risiko Ketergantungan KorporasiTransformasi ekonomi digital juga membawa implikasi geopolitik dan ekonomi baru. Ketergantungan terhadap platform besar seperti Google, Meta, atau Tencent menciptakan bentuk kolonialisme digital baru di mana data pengguna Indonesia menjadi komoditas global. Sementara itu, perusahaan raksasa lokal, seperti Gojek, Tokopedia, dan Shopee, semakin memonopoli ekosistem transaksi, menggeser pelaku ekonomi kecil ke pinggiran.Kebijakan publik di bidang ekonomi digital masih terlalu fokus pada pertumbuhan dan investasi dan belum cukup menyoroti isu kedaulatan data, keadilan distribusi, serta daya tawar pelaku lokal. Jika dibiarkan, Indonesia berisiko menjadi pasar digital besar tanpa kedaulatan regulatif yang kuat.Reformasi tata kelola digital perlu menempatkan kedaulatan data sebagai prioritas nasional, diikuti kebijakan fiskal yang berpihak pada inovasi lokal. Pemerintah bisa memperkuat sinergi antara pelaku startup lokal, riset universitas, dan industri kreatif agar inovasi digital tidak hanya menguntungkan korporasi besar, tetapi juga memperkuat ekosistem ekonomi rakyat.Ilustrasi ekonomi hijau. Foto: PixabayAgar akselerasi transformasi ekonomi dan keuangan digital berjalan efektif, Indonesia membutuhkan arsitektur tata kelola baru yang menempatkan koordinasi, transparansi, dan akuntabilitas sebagai pilar utama. Setidaknya ada tiga langkah strategis yang dapat dilakukan.Pertama, integrasi kebijakan dan data antarlembaga. Pemerintah perlu membangun National Digital Governance Framework yang menyatukan kebijakan antarkementerian dan lembaga. Setiap program digitalisasi harus berbasis pada satu sumber data nasional yang terhubung dan dapat diakses lintas institusi dengan mekanisme keamanan yang jelas.Kedua, penguatan kapasitas regulasi adaptif. Pembuat kebijakan harus memahami dinamika teknologi baru, seperti AI, blockchain, dan digital finance. Perlu ada lembaga lintas sektor yang berperan sebagai regulatory foresight unit untuk mengantisipasi dampak sosial-ekonomi dari inovasi digital sebelum diterapkan secara luas.Ketiga, desentralisasi inovasi digital. Digitalisasi tidak boleh hanya berpusat di Jakarta. Pemerintah daerah harus diberi ruang dan insentif untuk mengembangkan inovasi ekonomi digital sesuai potensi lokal, dengan dukungan pendanaan dan infrastruktur digital yang merata.Ilustrasi informasi digital. Foto: Shutter StockLangkah-langkah ini akan memastikan bahwa sinergi digital bukan sekadar kolaborasi simbolik, melainkan benar-benar menjadi strategi nasional yang terukur, inklusif, dan berkelanjutan.Menjadikan Akselerasi Digital sebagai Reformasi StrukturalTransformasi digital sejatinya bukan hanya urusan teknologi, melainkan reformasi struktural tata kelola ekonomi dan pemerintahan. Jika pemerintah mampu mengelola sinergi lintas sektor, mengatur inovasi secara adaptif, serta memperkuat keadilan distribusi digital, Indonesia dapat melompat menuju ekonomi berdaya saing tinggi dengan fondasi kebijakan publik yang kokoh.Sebaliknya, jika retorika sinergi dan inovasi hanya berhenti di forum-forum elite tanpa perubahan mendasar dalam koordinasi dan tata kelola, akselerasi digital akan menjadi slogan kosong yang memperdalam ketimpangan sosial dan ketergantungan ekonomi.Transformasi digital Indonesia tidak cukup hanya dikejar dengan kecepatan, tetapi harus dibangun dengan arah. Arah itu adalah tata kelola yang transparan, data yang berdaulat, dan inovasi yang berkeadilan.