Mengapa Sekolah Butuh Ruang Hening di Era Layar?

Wait 5 sec.

Manfaat ruang hening (Foto: Pormadi)Di era layar ini, anak-anak kita tumbuh dalam dunia yang tak pernah sunyi. Sejak bangun tidur hingga menjelang tidur, mata dan pikirannya terus tertambat pada layar. Notifikasi berdering tanpa henti, tugas belajar datang bersamaan dengan pesan media sosial, sementara waktu refleksi semakin menyusut.Konsentrasi kian pendek, emosi cepat tersulut, dan kelelahan mental menjadi hal biasa. Di tengah kebisingan digital inilah, keheningan menjadi barang langka—bahkan di sekolah.Padahal, pendidikan sejati bukan hanya soal menambah pengetahuan, melainkan juga mengajarkan cara mengelola perhatian dan kesadaran. Pendidikan juga mengajak peserta didik untuk mengenal diri sendiri.Sekolah tidak hanya mempersiapkan murid untuk ujian, tetapi juga membentuk manusia yang mampu berhenti, mendengarkan diri, dan berpikir jernih. Untuk itulah, sekolah membutuhkan ruang hening: ruang batin di mana murid belajar menemukan dirinya di tengah hiruk pikuk dunia digital.Warisan Lama yang TerlupakanKeheningan bukanlah gagasan baru. Dalam sejarah pendidikan, ia justru bagian dari tradisi luhur manusia. Ruang hening menjadi pendorong munculnya ide-ide untuk mewujudkan kehidupan di dunia menjadi lebih baik.Ilustrasi bola dunia Foto: ShutterstockDi Yunani kuno, Socrates menuntun muridnya merenung dan bertanya, “Kenalilah dirimu.” Bagi Sokrates, pendidikan bukan transmisi ilmu, melainkan perjalanan menuju kesadaran.Tradisi Timur pun demikian. Dalam Yoga, Zen, maupun Vipassanā, keheningan adalah jalan untuk melihat realitas sebagaimana adanya.Dalam dunia Kristen, Santo Benediktus memperkenalkan lectio divina—membaca, merenung, dan berdiam di hadapan Sabda Tuhan. Praktik ini terutama diterapkan bagi para calon imam, biarawan-wati dan pertapa. Dewasa ini, praktik lectio divina sudah menjadi bagian hidup dari kaum awam Katolik.Sementara itu, Santo Ignatius Loyola menekankan examen conscientiae, latihan harian untuk mengenali gerak batin dan kehendak Tuhan.Artinya, sejak dulu, pendidikan intelektual selalu berakar pada pendidikan batin—dan hal itu dimulai dari keheningan. Tidak heran, pengetahuan dan buku berkualitas banyak lahir dari biara-biara kekristenan dalam sejarah.Ilustrasi kursi dan menja sekolah. Foto: ShutterstockSayangnya, sekolah modern semakin kehilangan ruang tersebut. Kurikulum padat, gawai terus menyala, dan kompetisi prestasi membuat murid sibuk mengumpulkan data, tetapi lupa mendengarkan diri. Sekolah mendidik otak, tetapi sering melupakan hati. Anak-anak dijejali banyak tugas, tetapi lupa diajarkan mengenal diri.Filosofi KeheninganDalam filsafat pendidikan, keheningan tidak berarti pasif. Ia adalah ruang aktif bagi kesadaran. Keheningan membawa subjek masuk ke dalam diri sendiri, mengembara dalam kesadaran diri.Filsuf Paulo Freire menulis bahwa pendidikan yang membebaskan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi pengenalan diri dan dunia (conscientização).Kesadaran seperti ini hanya tumbuh bila manusia berani berhenti sejenak untuk mendengar pikirannya sendiri.Filsafat Timur menegaskan hal yang sama. Dalam Buddhisme, samatha (ketenangan) dan vipassanā (pengamatan) menjadi dasar kebijaksanaan.Ilustrasi patung Buddha yang sedang bermeditasi dan stupa batu Candi Borobudur. Foto: Perfect Lazybones/ShutterstockBagi Yuval Noah Harari, sejarawan dan penulis Sapiens, meditasi bukan ajaran mistik, melainkan “teknologi kesadaran”. Ia bermeditasi dua jam setiap hari agar pikirannya jernih di tengah banjir informasi. Keheningan, kata Harari, adalah satu-satunya cara untuk tetap bebas di zaman bising ini.Ruang Hening sebagai Pedagogi ModernSekolah abad ke-21 ditantang tidak hanya mengajarkan keterampilan digital, tetapi juga menumbuhkan kedewasaan digital. Peserta didik tidak cukup pandai menggunakan teknologi, mereka juga harus pandai mengatur diri di dalamnya. Kompetensi di bidang digital perlu diimbangi kemampuan mengelola diri (emotional intelligent).Ruang hening memberi latihan paling sederhana, tapi paling mendalam: menguasai diri sebelum menguasai dunia, mengenal diri sebelum mengenal dunia sekitarnya.Penelitian Harvard Medical School (2014) menunjukkan bahwa meditasi sederhana selama 10 menit per hari dapat meningkatkan fokus dan menurunkan stres pada remaja.Program MindUP di Kanada dan Inggris membuktikan, murid yang berlatih keheningan lebih empatik, sabar, dan stabil emosinya. Mereka belajar tidak hanya berpikir cepat, tetapi juga berpikir dalam.Ilustrasi anak berpikir. Foto: Shutter StockMenurut pengalaman penulis, dalam tradisi pendidikan Katolik, keheningan sejalan dengan semangat human formation—membentuk manusia seutuhnya: rasional, emosional, dan spiritual.Ruang hening di sekolah bukan kemewahan, melainkan titik temu antara iman dan kesadaran, antara pengetahuan dan kebijaksanaan.Praktik Sederhana di SekolahMengajarkan keheningan tidak membutuhkan ruang mewah atau ritual rumit. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk berhenti sejenak.Beberapa praktik sederhana yang bisa dilakukan, misalnya: satu menit hening sebelum pelajaran dimulai untuk menenangkan pikiran. Praktik lainnya, refleksi lima menit di akhir kelas agar siswa mengendapkan apa yang mereka pelajari.Bentuk praktik lainnya adalah doa reflektif atau latihan pernapasan, sesuai konteks sekolah masing-masing. Sekolah berbasis keagamaan dapat melakukan doa dalam hening sebelum dan sesudah pembelajaran.Ilustrasi anak berangkat sekolah. Foto: Shutter StockBeberapa sekolah swasta terkenal sudah menerapkan giat "hari tanpa layar sebulan sekali" untuk melatih kesadaran hidup di dunia nyata.Latihan-latihan sederhana ini menumbuhkan mindful habit—kebiasaan sadar yang memperkuat fokus, empati, dan kesejahteraan mental siswa.Menemukan Manusia di tengah BisingKita hidup di zaman yang menilai kecepatan lebih tinggi dari kedalaman. Namun pendidikan yang sejati tidak lahir dari kebisingan, tetapi dari keheningan.Sejatinya, sekolah yang memberi ruang untuk hening sedang mengajar muridnya untuk berpikir, merasa, dan menjadi manusia.Keheningan adalah sumber kejernihan dan kejernihan adalah akar kebijaksanaan. Mungkin, sudah saatnya sekolah tidak hanya mengajarkan apa yang harus dikatakan, tetapi juga kapan harus diam agar bisa benar-benar mendengar kehidupan.