Menimbang Masa Depan Asia Tenggara di Tengah Pusaran Ketegangan Rusia–NATO

Wait 5 sec.

Bendera NATO dan Rusia (Sumber foto: NATO)Setelah lebih dari tiga dekade dunia menikmati “ketenangan” pasca usainya Perang Dingin dan runtuhnya Uni Soviet, kini aroma konfrontasi geopolitik kembali menguat. Ketegangan antara North Atlantic Treaty Organization (NATO) dan Armed Forces of the Russian Federation (Rusia)/Rusia-NATO semakin memanas di tahun 2025 ini. Banyak pengamat menyebut situasi ini sebagai Perang Dingin 2.0, sebuah babak baru rivalitas global yang menggema jauh melampaui kawasan Eropa.Semua bermula dari langkah Rusia memperluas operasi militernya di kawasan timur Ukraina dan Baltik pada akhir 2024, yang kemudian dibalas oleh NATO dengan pengerahan pasukan besar-besaran ke perbatasan Eropa Timur. Di bulan Februari 2025, Sekretaris Jenderal NATO mengumumkan strategic deterrence operation terbesar sejak perang dingin, mengerahkan 90.000 pasukan dan memobilisasi armada udara serta laut.Presiden Vladimir Putin menanggapi dengan meningkatkan kesiagaan nuklir Rusia di level dua—satu tingkat di bawah siaga penuh. Ketegangan ini seketika mengguncang pasar global, memicu lonjakan harga minyak dan gas dunia, serta menimbulkan efek domino terhadap rantai pasok internasional.Penjahit Tove Lycke mengerjakan bendera NATO, di pabrik bendera Flagghuset, di Akersberga, Swedia, (7/3). Foto: TT/Anders Wiklund via REUTERSRivalitas Rusia dan NATO memiliki akar panjang sejak era Perang Dingin, ketika blok Barat dan Timur saling berlomba menunjukkan kekuatan militer dan pengaruh ideologi. Bedanya, Perang Dingin 2.0 tidak lagi sekadar pertarungan ideologi Komunisme versus Kapitalisme, tetapi juga pertarungan atas sumber daya energi, teknologi pertahanan, dan jalur perdagangan strategis.Menariknya, dampak konflik yang berjarak ribuan kilometer dari Asia Tenggara ini justru mulai terasa nyata di kawasan Indo-Pasifik. Negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, kini harus berhitung ulang dalam strategi politik luar negerinya.Jejak Konflik Eropa di Asia TenggaraKetegangan Rusia–NATO bukan hanya soal militer, melainkan juga soal ekonomi dan keamanan energi. Rusia, saat ini, adalah salah satu eksportir energi terbesar dunia. Ketika sanksi baru dari NATO dan sekutunya diberlakukan sejak Maret 2025, suplai gas dan minyak Rusia ke pasar internasional terganggu. Akibatnya, harga energi melonjak tajam hingga 40% hanya dalam waktu tiga bulan. Negara-negara Asia Tenggara, yang sebagian besar masih sangat tergantung pada impor energi fosil, ikut terdampak.Indonesia, misalnya, menghadapi tekanan inflasi yang meningkat karena harga BBM dan gas yang naik, mendorong biaya produksi dan logistik melonjak. Kondisi ini mengingatkan pada krisis energi tahun 1970-an, ketika konflik geopolitik global merembet ke negara-negara dunia ketiga.Presiden Rusia Vladimir Putin menyampaikan keterangan kepada awak media saat sesi konferensi pers pada akhir kunjungannya ke China di Beijing, China, Rabu (3/9/2025). Foto: Sergei Bobylyov / POOL / AFPDi sisi lain, rivalitas Rusia–NATO juga membuka celah bagi kekuatan lain untuk mengambil posisi strategis di kawasan Indo-Pasifik. China, yang menjaga hubungan erat dengan Rusia, kini semakin agresif memperluas pengaruhnya melalui jalur diplomasi dan ekonomi. Dalam beberapa bulan terakhir, China memperkuat kerja sama militer dengan Myanmar dan Kamboja, sekaligus memperluas kehadiran ekonominya lewat proyek infrastruktur. Langkah ini tentu mengundang reaksi dari Amerika Serikat, sekutu utama NATO, yang mempercepat agenda keamanan di kawasan Indo-Pasifik, termasuk melalui AUKUS dan Quadrilateral Security Dialogue (QUAD).Dilema Indonesia di Tengah Rivalitas BlokIndonesia, sebagai negara non-blok dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif, kini berada pada posisi yang serba rumit. Di satu sisi, Indonesia merupakan mitra strategis Amerika Serikat di kawasan Indo-Pasifik, khususnya dalam bidang perdagangan dan keamanan maritim. Namun di sisi lain, hubungan ekonomi Indonesia dengan Rusia dan China juga cukup erat, terutama di sektor energi, pertahanan, dan infrastruktur.Dalam forum East Asia Summit di Jakarta pada Juli 2025 lalu, Presiden Prabowo Subianto menegaskan posisi Indonesia untuk tidak berpihak pada blok mana pun dan menyerukan penyelesaian damai melalui jalur diplomasi internasional. Namun, sikap non-blok Indonesia ini tidak serta merta membebaskan negara dari dampak konflik global. Fluktuasi harga energi, potensi ketegangan keamanan di Laut Cina Selatan, hingga tekanan diplomatik dari berbagai pihak, kini menjadi tantangan nyata.Keamanan Regional dan Risiko DominoLaut Cina Selatan. Foto: ReutersSelain ekonomi, keamanan kawasan juga menjadi isu krusial. Ketegangan Rusia–NATO telah mendorong peningkatan pengeluaran pertahanan di banyak negara. Singapura, Filipina, dan Vietnam dilaporkan meningkatkan anggaran militernya secara signifikan dalam semester pertama 2025. Indonesia pun tidak lepas dari tren ini, dengan pembelian sejumlah alutsista modern dan peningkatan patroli laut di perbatasan utara.Fenomena ini menciptakan security dilemma baru di Asia Tenggara. Ketika satu negara memperkuat militernya, negara lain merasa perlu melakukan hal yang sama untuk menjaga keseimbangan. Tanpa disadari, rivalitas yang bermula di Eropa kini membentuk pusaran ketegangan baru di Asia.Berkaca pada sejarah, perang dingin klasik telah membelah dunia menjadi dua kutub besar dan negara-negara berkembang kala itu menjadi ajang perebutan pengaruh melalui bantuan ekonomi, kerja sama militer, maupun tekanan politik. Kini, sejarah seakan berulang dalam format yang lebih modern: melalui energi, teknologi, dan jalur dagang strategis.Presiden AS Donald Trump (kelima kiri) foto bersama dengan Presiden Prabowo Subianto (kedua kanan) dan pemimpin Asia Tenggara saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-47 ASEAN di Kuala Lumpur Convention Centre (KLCC), Malaysia, Minggu (26/10/2025). Foto: Evelyn Hockstein/REUTERSBagi Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya, tantangan ke depan bukan sekadar bagaimana bertahan dari dampak ekonomi dan keamanan global, melainkan juga bagaimana memainkan peran cerdas dalam "percaturan" geopolitik dunia. Diplomasi bebas aktif Indonesia akan diuji dalam bentuk kebijakan konkret yang mampu menjaga kepentingan nasional di tengah badai rivalitas global.Indonesia kini dihadapkan pada pilihan sulit: tetap konsisten pada prinsip bebas aktif, atau mengambil langkah strategis untuk mengamankan kepentingan nasional. Satu hal yang pasti: ketegangan ini tidak akan mereda dalam waktu dekat.Seperti halnya penghentian bantuan USAID oleh pemerintahan Trump yang memberi efek domino ke banyak negara, terutama negara berkembang, rivalitas Rusia–NATO, lagi-lagi, juga akan berdampak di kawasan Indo-Pasifik. Bagaimana Indonesia dan Asia Tenggara meresponsnya akan sangat menentukan wajah geopolitik kawasan dalam satu dekade ke depan.