Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jambi, Ahmad Bestari. ANTARA/Agus SuprayitnoJAKARTA - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi tengah berupaya menyelesaikan konflik lahan yang melibatkan kawasan transmigrasi di Desa Gambut Jaya, Kecamatan Sungai Gelam, Kabupaten Muaro Jambi. Permasalahan ini muncul setelah adanya dugaan manipulasi data sertifikat tanah pada wilayah Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM) IV Gelam Baru.Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jambi, Ahmad Bestari, mengatakan bahwa pihaknya bersama Kantor Wilayah Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Jambi saat ini terus berkoordinasi untuk mencari solusi terbaik."Sedang berupaya mencari jalan penyelesaian bersama BPN dan pihak terkait,” katanya di Jambi, Ahad.Menurut Ahmad, indikasi manipulasi dokumen sertifikat tanah menjadi salah satu alasan kuat bagi pemerintah untuk meminta penelusuran menyeluruh dari ATR/BPN Jambi, agar akar persoalan dapat ditemukan secara jelas."Kita tunggu dulu hasil klarifikasi dan tindak lanjut dari BPN,” lanjutnya.Sebelumnya, Menteri Transmigrasi Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanegara telah menggelar pertemuan dengan pemerintah daerah, warga, dan sejumlah pemangku kepentingan untuk membahas konflik lahan tersebut pada 20 Agustus 2025.Dalam pertemuan itu, mantan Bupati Muaro Jambi periode 2006–2016, Burhanudin Mahir, turut hadir dan menegaskan bahwa dirinya tidak pernah menandatangani surat persetujuan penerbitan sertifikat yang kini menjadi polemik.Program transmigrasi di Gambut Jaya sendiri dirancang sejak 2009, dengan target 200 kepala keluarga (KK) penerima lahan. Dari jumlah tersebut, 100 KK merupakan warga lokal Muaro Jambi, sedangkan 100 KK lainnya berasal dari Kabupaten Pati, Jawa Tengah.Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Muaro Jambi Nomor 533 Tahun 2009, setiap peserta program dijanjikan lahan seluas dua hektare dan ditempatkan di Satuan Pemukiman Empat (SP4) Gambut Jaya. Namun hingga kini, para peserta baru menerima 0,6 hektare lahan per keluarga, sementara sisa lahan usaha yang dijanjikan belum terealisasi hingga tahun 2025.