Mental Sehat Bukan Berarti Selalu Bahagia, Ini Penjelasan Psikolog

Wait 5 sec.

Ilustrasi kesehatan mental. (Freepik)JAKARTA - Kesehatan mental sering kali disalahartikan hanya sebagai kondisi tanpa masalah atau selalu merasa bahagia. Padahal, tanda seseorang memiliki mental yang sehat bukan berarti hidupnya bebas stres, melainkan mampu mengelola emosi, tetap produktif, serta berfungsi dengan baik dalam keseharian.Individu yang sehat mental dapat menerima berbagai emosi, baik positif maupun negatif, tanpa menekan atau menyangkalnya. Mereka tahu kapan harus beristirahat, mampu menenangkan diri, serta tidak kehilangan arah meski menghadapi tekanan.Hal ini sejalan dengan pandangan psikolog klinis dewasa Natasya, yang menjelaskan bahwa kesehatan mental tidak identik dengan kebahagiaan semata."Banyak orang yang masih salah terkait kesehatan mental. Mereka berfikir kalau kesehatan mental itu berarti kita harus bahagia,” ujar Natasya dalam diskusi bertajuk “Ruang Cerita: Ngobrol Santai Tentang Kesehatan Mental” di Yogyakarta, seperti dikutip ANTARA.Menurutnya, sehat mental adalah kondisi di mana seseorang tetap bisa menjalani aktivitas dan berkontribusi di tengah tantangan hidup."Kita mungkin tidak bisa menghindari dari stres. Yang utama adalah bagaimana kita bisa mengelola stres itu dengan baik agar tidak berkelanjutan menjadi gangguan psikologis dan bukan malah menghindarinya dan terus menganggap tidak ada,” ucapnya.Natasya menegaskan, perasaan sedih, marah, atau kecewa merupakan bagian alami dari kehidupan."Sehat mental bukan berarti tidak pernah merasa sedih, marah, atau kecewa. Namun, bagaimana kita bisa menghadapi dan memaknai perasaan itu agar tidak menjadi hambatan di kemudian hari,” kata Natasya.Ia menambahkan, kemampuan mengenali dan menerima emosi menjadi kunci dalam menjaga keseimbangan psikologis."Ketika kita menolak atau menekan emosi, itu tidak membuat masalahnya hilang, justru bisa menumpuk dan menjadi beban. Maka, penting untuk punya ruang aman untuk mengekspresikan diri,” ujarnya.Ruang aman yang dimaksud, lanjut Natasya, bisa berupa kehadiran teman dekat, keluarga, atau profesional seperti psikolog."Diri kita seperti wadah yang punya batas. Kalau disimpan sendiri terus, suatu saat akan meluap,” katanya.Sementara itu, psikolog Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Patricia Melati Rosari, menambahkan pentingnya mengenali tanda-tanda ketika mental mulai kelelahan. Ia menyebut ada tiga sinyal utama yang perlu diwaspadai: pikiran, emosi, dan perilaku."Kalau mengerjakan tugas kampus atau pekerjaan yang seharusnya selesai 30 menit, tapi jadi molor karena tidak bisa fokus, itu sudah menjadi tanda awal sebelum masuk ke fase stres yang lebih berat,” ujar Patricia.Ia melanjutkan, perubahan emosi yang lebih sensitif juga merupakan tanda tubuh dan pikiran membutuhkan jeda."Misalnya, ketika ditanya ‘sudah kumpul tugas belum?’ langsung kesal. Itu perlu disadari sebagai sinyal bahwa tubuh dan pikiran kita butuh jeda,” jelasnya.Selain itu, pola tidur dan makan yang berubah juga menjadi indikator lain."Biasanya tidur jam sembilan malam, tapi sekarang jam sebelas masih terjaga menatap langit-langit, atau pola makan yang berubah drastis. Itu tanda yang perlu diperhatikan,” tambah Patricia.Menurutnya, dukungan sosial penting, tetapi kesadaran diri tetap menjadi faktor utama dalam menjaga kesehatan mental. Ia menegaskan bahwa merasa sedih atau stres bukanlah tanda kelemahan."Sering kali kalau kita bilang capek atau sedih, dianggap lebay atau kurang bersyukur. Padahal, setiap orang punya kapasitas yang berbeda dalam menghadapi masalah,” ujarnya.Patricia menutup dengan penegasan menerima emosi negatif justru bagian dari kedewasaan emosional."Kita tidak mungkin hanya punya hal-hal baik dalam diri kita. Selama hidup akan selalu ada stres, dan itu adalah proses untuk menjadi individu yang lebih baik,” tutur Patricia Melati.