Memahami Birrul Walidain dengan Bahasa Bayi

Wait 5 sec.

https://dreamina.capcut.comBeberapa waktu lalu, aku menemani ibu di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta. Ia harus menjalani perawatan jantung yang kian melemah, diperparah oleh diabetes yang sudah lama bersahabat dengan tubuhnya. Lebih dari sepekan kami di sana—ruang tunggu yang dingin, suara monitor jantung yang berulang seperti detak waktu yang berdoa, dan wajah ibu yang menahan sakit dengan senyum kecil yang entah bagaimana masih bisa muncul.Aku datang dari Bandung dengan izin cuti seadanya. Kedua kakakku, yang menemani ibu dari Pontianak, sudah menanggung jauh lebih banyak: biaya, tenaga, bahkan kantuk yang tak pernah lunas. Tapi anehnya, tak ada satu pun dari kami yang merasa sedang berkorban. Mungkin karena di balik semua lelah itu, ada sesuatu yang lebih lembut bekerja—semacam bahasa sederhana yang diwariskan sejak kami lahir: bahasa cinta seorang ibu yang dulu menimang, kini kami balas dengan menjaga.Kami bertiga berbagi beban seperti anak-anak yang belajar berjalan—saling pegangan, saling menahan agar tak jatuh. Saat kami berbincang di sela malam, dengan kantuk menggantung di mata, kami menyadari satu hal: tak ada yang perlu dikeluhkan. Tidak kepada siapa pun, bahkan kepada Allah. Karena justru di sanalah kami belajar arti dari birrul walidain—berbakti kepada orang tua bukan sebagai kewajiban yang rumit, tapi sebagai bentuk syukur yang lahir alami.Kini aku mengerti, birrul walidain bisa dipahami dengan bahasa bayi—bahasa yang mudah, jujur, dan sederhana. Ia bukan tentang hafalan dalil atau teori pengabdian, tapi tentang rasa yang tumbuh dari ingatan paling dasar: bahwa kita pernah dijaga dengan seluruh cinta. Maka ketika tiba saatnya membalas, kita melakukannya bukan karena diminta, tapi karena itu yang paling wajar dilakukan oleh hati yang pernah dicintai.https://dreamina.capcut.comDulu, aku menangis karena lapar, ibu datang memberi susu. Sekarang ibu menahan sakit, aku datang membawa doa dan sedikit tenaga. Dulu ia menjaga agar aku tak jatuh. Kini aku menjaga agar ia tetap kuat menghadapi takdirnya. Saling menggantikan, bukan membayar utang—karena kasih sayang ibu terlalu besar untuk diukur dengan logika dunia.Ketika malam itu aku menatap ibu yang tertidur dengan wajah pucat tapi damai, aku merasa seperti sedang belajar memahami kehidupan dengan cara yang paling jernih—tanpa teori, tanpa rumus, hanya lewat rasa yang sederhana tapi dalam. Bahwa berbakti kepada orang tua bukanlah perkara besar yang perlu dirumitkan, melainkan cara paling lembut untuk mengucap terima kasih kepada cinta yang pertama kali mengenalkan kita pada dunia.Aku pun semakin memahami bahwa berbakti kepada orang tua tidak selalu harus menunggu mereka sakit atau tua. Kadang, ia sesederhana menelpon lebih sering, mendengarkan tanpa menyela, atau sekadar hadir tanpa alasan. Di zaman ketika kesibukan sering menjadi alasan untuk absen, birrul walidain mungkin berarti mengembalikan waktu—memberi perhatian seperti dulu kita pernah dijaga tanpa lelah. Karena pada akhirnya, kasih sayang orang tua tidak menuntut balasan, tapi selalu menanti kehadiran.Dan di tengah ruang rawat yang sunyi itu, aku berbisik dalam hati, Ibu, terima kasih telah mengajarkanku mencintai dengan cara yang paling mudah dimengerti—tanpa syarat, tanpa banyak kata.