Bendera China dan AS. Sumber: OnePixelStudio/shutterstock.comKetika Westphalia System mengamanatkan bahwa setiap entitas bangsa adalah merdeka atas segala keputusan dan tindakan, itu menjadi idealisme internasional abad ke-17 hingga puncaknya pada periode dekolonisasi bangsa-bangsa Asia dan Afrika pertengahan abad ke-20. Pada periode tersebut, kebutuhan untuk merdeka membuat ketergantungan bangsa secara domestik meningkat signifikan.Ilmu pengetahuan mengalami peningkatan eksponensial dari dalam laboratorium sampai pada tataran praktis dalam ruang lingkup batas-batas nasional. Kemajuan terdomestikasi inheren, tertanam dan menciptakan efek domino keunggulan komparatif (comparative advantage). Sejak abad pencerahan yang terkenal itu terjadi di kontinental Eropa, maka secara implisit mereka memimpin perubahan-perubahan revolusioner seperti revolusi industri, kebaruan saintis, dan traktat-traktat internasional.Effect Brussels, seperti telah diketahui, bahwa ketika Eropa lebih banyak tahu tentang dunia oleh karena keunggulan ilmu pengetahuan, modal ekonomi, dan pengalaman kolonialisme, ia merasa bertanggung jawab pada dunia itu sendiri. Implikasinya di abad ke-20 akhir dan menjelang saat ini, Amerika Serikat menggunakan perspektif serupa dalam memandang dunia–internasionalisasi Amerika. Kehadiran AS di dunia internasional lebih sering dinilai sebagai sumbu “polisi dunia”, bak “abangda-adinda”. Lebih mudah melihat AS memimpin dunia akhir-akhir ini, melalui pranala-pranala politik luar negerinya. Namun, jika diteliti baik AS maupun Eropa dalam kepemimpinan aliansi dunia, refleksi kritisnya adalah pertautan sosiologis antara ilmu pengetahuan, demand & supply, dan jaringan rantai ekonomi dunia. Keunggulan kedua raksasa itu terletak pada masyarakat ilmiah dan terobosan ekonomi yang lebih awal dibandingkan negara-negara lain. Sehingga, AS disini memainkan peran the first America dan leading by example yang tidak hanya menunjukkan kewibawaannya, melainkan haknya untuk melindungi, mengarahkan, dan mengintervensi dunia. Muaranya adalah pertautan sosiologis tadi (science-political). Massachusetts Institute of Technology (MIT), Cambridge, Massachusetts, USA. Sumber: Diego Grandi/shutterstock.comBagi Hans Kelsen, saat sains bekerja sama dengan politik, maka rezim yang mengatur dunia niscaya terlegitimasi. Dunia melegitimasi AS sebagai dominator, sebab kebutuhan manusia secara universal atas ilmu, ekonomi, dan tentu politik. Paradoksalnya adalah ketika AS menginstruksikan demokrasi dan ekonomi berbasis pasar (baca: kapitalisme), dalam bujukan-bujukannya untuk mendorong dunia yang bergerak berbasis nilai-nilai universal (merdeka dan demokratis), seringkali terbesit upaya memonopoli sistem dunia. Menguraikan fenomena ini, perlu mengacu pada preseden pertautan sosiologis sebelumnya. AS dan Eropa sebagai garda Global North telah menciptakan ketergantungan sistemik terhadap negara-negara Global South. Klasifikasi ini membantu memahami patron global kontemporer. Barulah pada satu dekade terakhir, persis ketika PDB China tahun 2014 berada di bawah AS (atau nomor dua di dunia) dengan angka US$ 11,212 triliun, telah membuat China melejit berdikari internasional. Kemajuan China hari ini tidak sepele, bagaimana ilmu pengetahuan (khususnya, STEM) menjadi artikulasi penting ekonomi nasional menandingi bangsa-bangsa Barat konvensional. Eksistensi China kontemporer menjadi peluang politik internasional Asia sekaligus memproduksi keraguan dunia terhadap patron kemajuan konvensional yaitu AS. Tampaknya, China tampil agresif dalam komodifikasi peradaban nasionalnya. Melalui strategi Belt and Road Initiative (BRI), juga diplomasi ekonomi, AS seperti diberikan sinyal poros dunia baru. Perang Dagang adalah simplifikasi isu atau casing rivalitas politik dua adidaya ini dari pada struktur bangsa yang kompleks. Perdagangan menjadi bahan politik diplomasi rivalitas AS dan China. AS dan bangsa Barat lainnya menginisiasi wacana hak kekayaan intelektual, China memiliki lebih banyak paten hari ini. Peking University, Beijing, China. Sumber: aphotostory/shutterstock.comKemewahan pengetahuan di Barat semakin kesini makin filosofis dengan elaborasi sosio-teknis, sementara China terus memproduksi kebaruan-kebaruan STEM dan pada akhirnya mampu menyeimbangkan rezim sains Barat. Ketika China fokus memproduksi teknologi mutakhirnya dibandingkan bangsa Barat, kebenaran yang terkandung di dalam ilmu pengetahuan itu tidak dapat diklaim oleh siapapun, karena kebenaran pengetahuan (termasuk efisiensi teknologi manusia) berlindung di bawah payung objektivitas.Objektivitas kini adalah semacam ideologi yang dikontestasikan. Kenyataannya, sains China unggul dan berdampak pada prospek ekonominya. Dengan demikian, perang dagang antara AS dan China, jika dapat direfleksikan, merupakan sebuah kontestasi ilmu pengetahuan dan metodologi non-konvensional (pendekatan baru teknologi bagi manusia). Jika sains dan teknologi AS menjual brand, China justru menciptakan teknologi multiguna. China memahami logika politik perdagangan dunia dengan baik, mengapa? Akumulasi kekayaan dunia terpusat dibawah 10 % populasi dunia yang menjadi pasar bagi rantai pasok konvensional ber-merk, sementara sisanya adalah gap kekayaan yang harus di-capling. Persentase 90% ini menjadi pasar bagi sains dan teknologi China. Sebab, teknologi China cenderung mudah diakses dan terjangkau dibandingkan milik Barat. Dalam logika perdagangan internasional, hadirnya teknologi berdaya saing yang multiguna akan menciptakan jenis pasar baru. Pasar ini kemudian dikalibrasi oleh China dengan domestikasi sains dan teknologi secara komprehensif dan tepat-guna. Kondisi tersebut menyiratkan pemahaman sederhana bahwa ini menjadi genealogi perang dagang antara AS dan China. Lalu, bagaimana dampaknya terhadap bangsa-bangsa Global South? Indonesia satu benua dengan China, tetapi domestikasi sains dan teknologi nasional menunjukkan keprihatinan. Ideologi pendidikan Indonesia secara komprehensif jauh dari harapan. Warisan masalah dari generasi ke generasi adalah kesenjangan akses pendidikan baik kualitas infrastruktur hingga kesejahteraan guru. Kronik kebijakan pendidikan Indonesia didominasi oleh orientasi kebijakan persekolahan, alih-alih kebijakan tentang pembelajaran. Ekspektasi Indonesia dalam pasar global adalah menciptakan daya saing berbasis keunggulan. Kapasitas Indonesia, dalam hal ini alokasi dan sumber daya dukungan, jauh dari kata niscaya mendukung ekspektasi tersebut. Republik ini perlu dukungan komprehensif terhadap sains dan teknologi domestiknya. Pelajarannya: belajarlah ke AS tentang mekanisme pasar dan finansial global, sementara China adalah guru yang baik untuk optimalisasi STEM bagi kemakmuran bangsa.