Mempertanyakan Konsistensi Pemerintah dalam Penolakan Atlet Senam Israel di Indonesia

Wait 5 sec.

Atlet senam artistik putra Israel, Artem Dolgopyat saat tampil dalam Kejuaraan Senam Artistik Eropa 2024 di Rimini, Italia pada 28 Apri 2024. (Gabriel Bouys/AFP)JAKARTA – Keputusan pemerintah Indonesia membatalkan visa delegasi atlet Israel di World Artistic Gymnastics Championships 2025 di Jakarta, dianggap hanya simbolik belaka dan malah menciptakan ambiguitas.Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra mengatakan pemerintah Indonesia tidak akan memberikan visa kepada atlet senam Israel yang rencananya bertanding di Kejuaraan Dunia di Jakarta pada 19-25 Oktober mendatang.Sikap ini, kata Yusril, sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto di berbagai kesempatan.“Dan terakhir dalam pidato beliau di PBB yang sangat keras mengecam Israel yang terus-menerus melakukan kekejaman dan kebiadaban atas rakyat Palestina terutama di Gaza,” kata Yusril dalam sebuah video yang tersebar di media sosial.“Dan pemerintah Indonesia tegas berpendirian bahwa tidak akan melakukan hubungan kontak apapun dengan pihak Israel,” tegasnya.Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyampaikan sikap pemerintah Indonesia terkait keikutsertaan atlet Israel pada Kejuaraan Dunia Senam Artistik 2025 melalui keterangan video diterima di Jakarta, Kamis (9/10/2025). (ANTARA/Fath Putra Mulya)Pengamat hubungan internasional mengatakan pemerintah Indonesia perlu melakukan sikap tegas untuk menolak kehadiran tim Israel. Sementara itu, Direktur Eksekutif PARA Syndicate, Virdika Rizky Utama menilai penolakan terhadap tim senam Israel bukan hanya soal solidaritas, tapi juga soal konsistensi kebijakan.Boikot sebagai Bentuk SolidaritasSebelumnya, rencana kehadiran kontingen Israel dalam Kejuaraan Dunia Senam Artistik yang akan digelar di Jakarta pada 19-25 Oktober 2025 mendapat penolakan dari berbagai kelompok masyarakat.Di antaranya Majelis Ulama Indonesia, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung, dan sejumlah politikus di DPR. Penolakan kehadiran para atlet senam artistik Israel di Indonesia adalah bentuk dukungan terhadap Palestina sekaligus mengecam tindakan genosida Israel di Gaza.Sejak perang Israel-Hamas pecah pada 7 Oktober 2023, publik global menyerukan aksi boikot terhadap produk-produk yang terafiliasi dengan Israel. Ini dilakukan untuk bisa memberi tekanan kepada Israel atas tindakan genosida yang dilakukan di Gaza.Upaya boikot makin gencar dilakukan, bahkan hingga di forum-forum internasional.Salah satunya adalah sejumlah perwakilan negara melakukan walk out ketika Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berpidato di konferensi tingkat tinggi PBB di New York, Amerika Serikat, beberapa waktu lalu.Pengunjuk rasa dari berbagai elemen masyarakat menggelar aksi solidaritas Indonesia Lawan Genosida, Dukung Palestina Merdeka di Jakarta, Minggu (12/10/2025). (ANTARA/Indrianto Eko Suwarso/agr/pri)Pakar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menuturkan, penolakan masyarakat internasional terhadap warga Israel yang berkunjung ke luar negeri juga disebutnya sebagai bentuk lain boikot."Misal, rakyat Israel datang ke negara lain lalu ada warga negara lain marah pada Netanyahu tapi kemudian dilampiaskan ke warga Israel. Ini bentuk tekanan karena warga Israel merasa di bawah Netanyahu dengan banyak serangan ini bukannya mereka tambah selamat tapi justru makin terancam," tutur Hikmahanto Juwana."Kalau kita melakukan hal yang sama terhadap kontingen dari Israel. Kita larang misalnya, maka dampaknya adalah pemerintah Israel juga harus berpikir. Ternyata negara yang Islamnya moderat seperti Indonesia, larang mereka masuk."Hikmahanto kemudian membandingkan perlakuan dunia terhadap Israel dengan Rusia, yang ditolak bertanding di sejumlah kompeisi karena mengibarkan bendera perang terhadap Ukraina.Sedangkan Israel, yang dinilai lebih kejam, malah diperbolehkan bertanding dan publik diminta tidak mengaitkannya dengan politik."Cara tidak setuju dengan tindakan Israel di Gaza dan dukungan terhadap Palestina ya sebaiknya tim itu tidak dibolehkan untuk masuk," ujar Hikmahanto.Senada, pendiri lembaga penelitian Independent Synergy Policies Dinna Prapto Raharja mengucapkan, preseden sanksi terhadap Rusia juga harus adil."Jangan ada negara yang didiskriminasi. Karena pelanggaran Israel sangat serius maka sepakat boikot kontingen,” tegasnya.Gestur PolitikSementara itu, Direktur Eksekutif PARA Syndicate Virdika Rizky Utama menegaskan, penolakan terhadap kedatangan atlet Israel ke Jakarta tak semata-mata soal teknis imigrasi atau protokol olahraga. Menurut Virdika, ini adalah gestur politik yang sarat muatan simbolik sehingga menarik dibaca secara struktural.Dalam penolakan atlet Israel tersebut, adalah Menko bidang Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra yang menyampaikan keputusan pemerintah, bukan presiden langsung. Artinya, kata Virdika, pemerintah sedang memainkan strategi delegasi narasi.“Presiden tetap menjaga posisi diplomatik yang fleksibel, sementara pembantunya mengambil alih artikulasi sikap politik yang lebih tegas,” kata Virdika.Sikap ini bisa bermakna ambigu yang khas dalam politik luar negeri Indonesia. Di satu sisi, pemerintah ingin tetap menunjukkan komitmen terhadap isu Palestina, tanpa harus mengeluarkan pernyataan frontal yang bisa mengganggu ritme diplomasi bilateral atau multilateral.Siluet atlet senam artistik putra Abiyu Rafi berlatih saat pemusatan latihan nasional (pelatnas) di Sport Jabar Arcamanik, Bandung, Jawa Barat, Selasa (15/7/2025). (ANTARA/Novrian Arbi/nym)“Dengan menempatkan Yusril sebagai juru bicara penolakan, pemerintah bisa menjaga jarak antara kepala negara dan isu yang berpotensi sensitif secara internasional. Ini bukan inkonsistensi, tapi kalkulasi,” terangnya.Namun Virdika juga mengingatkan publik untuk tetap membaca alur sikap pemerintah secara kritis. Karena, penolakan terhadap tim senam Israel bukan hanya soal solidaritas, tapi juga soal konsistensi kebijakan.Ia mempertanyakan apakah penolakan ini akan beraku untuk semua bentuk partisipasi Israel di forum internasional atau hanya selektif berdasar tekanan publik dan momen politik. Virdika pun mewanti-wanti pemerintah, jangan sampai di satu sisi menolak atlet, tapi di sisi lain membuka ruang kerja sama ekonomi atau teknologi.Menurut catatan, Kementerian Perdagangan pernah merilis total nilai ekspor Indonesia ke Israel mencapai 185,6 juta dolar AS (sekitar Rp2,9 triliun) pada 2022. Angka ini naik 14 persen dibandingkan periode sebelumnya.Menimbulkan Ambigu Menurut Virdika, yang lebih penting sekarang ini bukan soal siapa yang ditolak, tapi bagaimana penolakan tersebut dikomunikasikan. Ia pun memperingatkan, apakah ada penjelasan yang menyentuh akar konflik, apakah ada narasi yang mengaitkan penolakan ini dengan posisi Indonesia terhadap pendudukan, apartheid, dan impunitas Israel.“Kalau tidak, maka penolakan ini hanya akan terbaca sebagai gestur kosong atau hanya simbol tanpa substansi,” tegasnya.Lebih lanjut, Virdika menjelaskan dampak kompleks terhadap kebijakan luar negeri Indonesia terkait solusi dua negara yang ditimbulkan akibat penolakan tersebut.Seperti diketahui, Presiden Prabowo menyetujui resolusi perdamaian Israel-Palestina melalui skema Solusi Dua Negara. Ia mengungkapkan hal itu dalam forum Sidang Majelis Umum ke-80 PBB pada September lalu.Presiden Indonesia Prabowo Subianto berpidato di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-80 di Markas Besar PBB di New York, AS, 23 September 2025. (REUTERS/Jeenah Moon)Prabowo juga menegaskan hubungan diplomatik ke pemerintah Israel tidak akan dibuka sampai ada kepastian status kemerdekaan Palestina."Sampai dengan Israel mengakui keberadaan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat, dan barulah Pemerintah Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel dan melakukan hubungan normal internasional lainnya," tutur Kepala Negara.Di satu sisi, penolakan ini dapat dianggap sebagai konsistensi simbolik, bahwa Indonesia menolak normalisasi dengan Israel selama pendudukan dan kekerasan masih berlangsung. Tapi di sisi lain membuka ruang ambiguitas.“Kalau Indonesia mendukung solusi dua negara, maka secara prinsip harus mengakui eksistensi dua entitas politik yang setara. Tapi, penolakan terhadap kehadiran atlet Israel menunjukkan bahwa pengakuan itu belum sepenuhnya diterjemahkan ke dalam praktik,” pungkas Virdika.