Ilustrasi sesajen untuk ritual; sumber: pexels.comAsap tipis dari lentera minyak kelapa membubung pelan, aromanya menyatu dengan wangi aneka bunga yang diletakkan di atas ancak pisang. Di tengahnya, bubur lima warna yang terdiri dari merah, hitam, kuning, hijau, dan putih. Warna-warna tersebut menghadirkan simbolisme semesta dalam sebuah nampan sederhana. Prosesi hening yang dilakukan bukan sekadar penempatan sesaji, melainkan sebuah jejak peradaban yang hidup di Bondowoso. Sontengan sebagai suatu tradisi yang sudah dikenal menjadi warisan yang terus bernapas di tengah desakan zaman. Keberadaannya merepresentasikan sebuah dialog abadi antara manusia, alam, dan kekuatan gaib yang melingkupinya.Zaman modern yang datang dengan gelombang rasionalitas dan perubahan paradigma spiritual tidak serta-merta menenggelamkan ritual kuno tersebut. Sebaliknya, modernisme justru memaksa Sontengan beradaptasi, menegosiasikan ulang makna kesakralannya. Tradisi tersebut bertahan bukan karena kekukuhannya melawan arus, melainkan karena kelenturannya dalam menyerap dan menafsirkan ulang nilai-nilai baru. Sontengan pada masa sekarang mungkin terlihat sama secara visual dengan Sontengan berabad lalu, tetapi makna yang dikandungnya sudah melalui perjalanan transformasi yang mendalam, menjadikannya cermin dari pergulatan spiritual dan kultural masyarakat pendukungnya.Akar Kosmologi Sontengan: Dialog Manusia dengan Alam GaibPada mulanya, Sontengan merupakan wujud dari kosmologi agraris yang memandang alam sebagai entitas hidup yang memiliki jiwa. Masyarakat agraris hidup dalam ketergantungan mutlak pada alam, seperti hadirnya kesuburan tanah, kelimpahan air, dan cuaca yang bersahabat. Dari pemahaman tersebut, lahir sebuah kesadaran bahwa manusia bukanlah penguasa tunggal. Ada kekuatan-kekuatan lain seperti adanya para "penunggu" atau praksanah yang mendiami tempat-tempat keramat seperti sumber mata air, pohon besar, atau petak sawah. Kekuatan gaib tersebut bukanlah sesuatu yang ditakuti secara membabi buta, melainkan dihormati sebagai tetangga tak kasat mata.Sontengan menjadi medium diplomasi spiritual. Sebuah cara berkomunikasi yang santun dan penuh hormat. Pelaksanaan ritual di dekat sumber air, seperti yang dilakukan masyarakat Desa Tasnan, merupakan ungkapan terima kasih atas berkah air yang menghidupi. Sementara itu, Sontengan yang digelar sebelum menggarap lahan pertanian di Curahdami adalah permohonan "izin" kepada sang penunggu tanah. Setiap elemen dalam sesaji memiliki filosofi mendalam. Bubur lima warna atau tajhin berna lema’ melambangkan keseimbangan lima elemen dalam diri manusia dan alam, yaitu api (merah), tanah (hitam), air (kuning), angin (hijau), dan benih kehidupan (putih). Diletakkannya lentera dhemar kambheng di tengah bubur menjadi harapan akan penerangan jiwa. Uang receh yang disebar adalah bentuk sedekah universal, sebuah ajaran keikhlasan tanpa pamrih. Semua itu menunjukkan bahwa Sontengan bukanlah sekadar ritual mistis, melainkan sebuah sistem etika dan pandangan hidup yang utuh.Pergeseran Sakralitas di Tengah Arus ModernismeIlustrari proses sontengan; sumber: pexels.comArus modernisme membawa serta penguatan ajaran agama monoteistik yang lebih sistematis dan penekanan pada logika rasional. Pandangan dunia yang sebelumnya populis dengan entitas gaib perlahan mulai tergerus. Tantangan terbesar bagi Sontengan bukanlah pelarangan, melainkan pergeseran makna sakralnya. Pelaku ritual kini berada dalam posisi yang dilematis, yaitu bagaimana melestarikan warisan leluhur tanpa terjerumus pada praktik yang dianggap menyimpang dari akidah agama utama. Hasilnya adalah sebuah sinkretisme cerdas, sebuah penafsiran ulang yang mengagumkan.Fungsi Sontengan pun bergeser. Apabila dahulu sesaji ditujukan langsung kepada praksanah, kini banyak yang memaknainya sebagai medium untuk berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sesaji tidak lagi dianggap sebagai "makanan" bagi makhluk gaib, tetapi sebagai simbol rasa syukur kepada Sang Pencipta atas segala karunia-Nya. Penjelasan dari tokoh adat di Curahdami, Muhammad Djoko, menjadi bukti nyata transformasi tersebut. Pernyataannya bahwa ritual tersebut hanya melestarikan budaya dan bukan bertujuan memuja jin atau setan menunjukkan adanya upaya sadar untuk memisahkan antara tradisi (budaya) dan ibadah (agama). Doa kepada Tuhan menjadi inti dari ibadah, sedangkan Sontengan menjadi bingkai kulturalnya. Kesakralan ritual tidak hilang, tetapi objek tujuannya dialihkan dari kekuatan gaib yang partikular menuju Tuhan yang universal. Fenomena tersebut menunjukkan kemampuan adaptasi sebuah tradisi dalam menghadapi perubahan zaman tanpa harus kehilangan wujud fisiknya.Sontengan sebagai Penanda Identitas dan KomunitasKetika makna spiritual Sontengan mengalami negosiasi ulang, sebuah makna baru justru menguat, yaitu Sontengan sebagai penanda identitas kultural dan perekat sosial. Di tengah gempuran budaya global yang seragam, menjalankan tradisi lokal menjadi sebuah penegasan eksistensi. Melaksanakan Sontengan adalah cara masyarakat Bondowoso menyatakan, "Inilah kami dengan warisan unik yang kami miliki." Ritual tersebut menjadi benteng pertahanan budaya, sebuah pengingat akan akar dan asal-usul.Aspek komunal dalam Sontengan pun semakin menonjol. Prosesi makan tumpeng bersama setelah ritual di Desa Tasnan, misalnya, adalah momen penting yang melampaui batas-batas spiritual. Momen tersebut menjadi ruang sosial tempat seluruh warga, tanpa memandang status, dapat berkumpul, berbagi, dan mempererat tali persaudaraan. Dalam konteks demikian, Sontengan berfungsi sebagai modal sosial yang menjaga keharmonisan komunitas. Tradisi tersebut tidak lagi hanya menjadi urusan individu dengan alam gaib, tetapi sudah menjadi milik bersama yang dirayakan secara kolektif. Dengan demikian, Sontengan bertransformasi menjadi sebuah pertunjukan budaya yang tidak hanya bertujuan spiritual, tetapi juga memiliki fungsi sosial dan identitas yang sangat kuat. Pelestariannya kini didorong oleh kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga jati diri di tengah dunia yang terus berubah.Sebagai penutup, perjalanan Sontengan dari sebuah ritual kosmologis kuno menjadi simbol identitas komunal di era modern adalah bukti dari daya hidup sebuah kebudayaan. Tradisi tersebut menunjukkan bahwa warisan leluhur tidaklah statis. Maknanya akan selalu cair, terus-menerus ditafsirkan oleh setiap generasi sesuai dengan tantangan zamannya. Sontengan berhasil bertahan bukan dengan menolak perubahan, melainkan dengan memeluknya secara kreatif. Keheningan prosesi peletakan sesaji di sudut-sudut desa Bondowoso bukanlah suara dari masa lalu yang sekarat, melainkan sebuah bisikan bijaksana tentang bagaimana sebuah komunitas dapat terus menemukan relevansi dalam tradisinya, merajut masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam satu helai nafas kebudayaan yang tak terputus.