Tragedi Ponpes  Al Khoziny, 67 Santri Tewas — FSGI: Jangan Hadiahi Kelalaian dengan Dana APBN

Wait 5 sec.

Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Kecamatan Buduran, Sidoarjo ambruk (dok BPNB)JAKARTA – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengecam rencana pemerintah yang mewacanakan pembangunan kembali mushola Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Sidoarjo menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).FSGI menilai, langkah tersebut melukai rasa keadilan keluarga korban tragedi ambruknya bangunan yang menewaskan puluhan santri awal Oktober lalu.“Seharusnya dilakukan investigasi dulu atas tragedi ambruknya bangunan Ponpes di Sidoarjo. Jangan langsung dibangun, apalagi dengan biaya APBN. Insiden itu menewaskan 67 santri, yang notabene masih anak-anak,” ujar Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti dalam keterangannya, Senin, 12 Oktober.Retno menegaskan, penggunaan APBN untuk membangun ulang mushola tersebut justru berpotensi memberi “hadiah” kepada pihak yang lalai.“Jangan sampai pihak yang lalai dan mengakibatkan 67 anak meninggal dunia malah diberi hadiah dengan biaya APBN. Ini sangat tidak adil dan melukai perasaan para korban serta publik,” tegasnya.Hingga kini, polisi masih menyelidiki penyebab ambruknya bangunan mushola Ponpes Al Khoziny. Sedikitnya belasan saksi telah diperiksa dengan dugaan pelanggaran Pasal 359 dan 360 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian dan luka-luka.Polisi juga menelusuri aspek teknis bangunan mengacu pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Pihak kepolisian diminta memeriksa dokumen perencanaan dan izin bangunan, setelah pakar struktur sipil menyebut pembangunan mushola tersebut tak memenuhi kaidah teknis.Lebih lanjut, FSGI juga menyoroti dugaan pelibatan santri dalam proses pembangunan. Sejumlah santri mengaku ikut melakukan pengecoran bangunan tanpa keahlian konstruksi.“Pelibatan para santri dalam pembangunan mushola Ponpes Al Khoziny dapat diduga kuat melanggar UU Perlindungan Anak karena berpotensi sebagai eksploitasi anak. Mereka belajar untuk menimba ilmu, bukan menjadi kuli bangunan,” tegas Ketua Umum FSGI Fahmi Hatib.Salah satu wali santri, Ahmad Zabidi, menceritakan anaknya selamat karena tengah beristirahat di kamar saat musibah terjadi. “Seandainya masih di atas bangunan, tentu ikut jatuh bersama material yang ambruk itu,” ungkap Fahmi.Fahmi menilai setidaknya ada tiga pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban, yakni pengurus atau pengelola pesantren, kontraktor, dan pemerintah.Menurut Fahmi, pengelola ponpes lalai karena tetap menggunakan bangunan meski sedang dilakukan pengecoran. Kontraktor juga bisa dimintai pertanggungjawaban bila ditemukan unsur kelalaian teknis. Sedangkan pemerintah dianggap gagal menciptakan sistem pengawasan efektif dan penegakan izin bangunan yang ketat.“Kalau terbukti lalai, jangan justru memakai APBN untuk membangun ulang. Itu bukan tanggung jawab publik, tapi pihak ponpes,” ungkap Fahmi.Selain itu, FSGI juga mendesak pemerintah memikirkan nasib santri yang selamat namun mengalami disabilitas akibat tragedi itu, serta memastikan pemulihan trauma psikologis bagi anak-anak yang selamat.“Tragedi ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi semua lembaga pendidikan untuk memperkuat perlindungan anak dalam proses pembelajaran dan kehidupan di lingkungan pesantren,” tutupnya.