Trauma Healing dalam Bingkai UU Kesehatan dan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia

Wait 5 sec.

Sumber: https://pixabay.com/id/photos/kesehatan-mental-ubin-kayu-2019924/ Hari Kesehatan Sedunia diperingati setiap tanggal 10 Oktober. Tema global untuk Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKJS) 2025 adalah, "Akses Layanan: Kesehatan Mental dalam Bencana dan Keadaan Darurat Kemanusiaan (Access to Services: Mental Health in Catastrophes and Emergencies)." Urgensi tema ini terletak pada pengakuan bahwa kesehatan merupakan kebutuhan mendesak setiap manusia.Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa sekitar satu dari lima orang yang hidup di wilayah terdampak konflik, bencana alam, atau krisis kemanusiaan diperkirakan mengalami kondisi kesehatan mental, mulai dari kecemasan akut hingga Gangguan Stres Pascatrauma (PTSD). Saat terjadi bencana atau krisis, fokus utama seringkali tertuju pada kebutuhan fisik (makanan, tempat tinggal, obat-obatan fisik). Mayoritas pengungsi dan korban krisis berada di negara berpenghasilan rendah dan menengah, di mana sistem layanan kesehatan mental sangat terbatas. Tema ini menegaskan bahwa dukungan kesehatan jiwa dan psikososial (Mental Health and Psychosocial Support/MHPSS) harus diintegrasikan sejak fase awal respons darurat.Prevalensi masalah kesehatan jiwa di Indonesia dibagi menjadi dua kategori besar yaitu, Gangguan Mental Emosional (GME) (seperti kecemasan dan depresi) dan Gangguan Jiwa Berat (seperti Skizofrenia atau Psikosis). GME usia ≥15 tahun jumlahnya sekitar 9,8% dari populasi penduduk Indonesia. Jadi, sekitar 20 juta penduduk Indonesia berusia ≥15 mengalami gejala-gejala depresi dan kecemasan. GME pada remaja (usia 15−24 tahun) jumlahnya sekitar 10% dari populasi penduduk Indonesia. Angka ini menunjukkan kelompok usia muda sangat rentan terhadap masalah mental emosional. Survei Kesehatan Mental Nasional Indonesia (I-NAMHS) yang pertama kali mengukur prevalensi gangguan mental pada remaja (usia 10–17 tahun) memberikan data yang lebih spesifik mengenai beban masalah mental. Pada kelompok usia remaja (10−17 tahun), terdapat sekitar 34,9% populasi yang memiliki satu masalah kesehatan mental. Data ini setara dengan sekitar 15,5 juta remaja Indonesia. Pada kelompok usia remaja (10−17 tahun), terdapat sekitar 5,5% populasi yang memiliki satu gangguan mental terdianosis. Data ini setara dengan sekitar 2,45 juta remaja Indonesia. Pada kelompok usia remaja (10−17 tahun), terdapat sekitar 4,2% populasi yang memiliki ide untuk bunuh diri. Studi di Indonesia pasca-bencana alam (seperti gempa dan tsunami) menunjukkan prevalensi PTSD (Gangguan Stres Pascatrauma) yang tinggi. Contohnya, studi pada anak dan remaja korban bencana alam usia 8-17 tahun menunjukkan prevalensi PTSD mencapai sekitar 19,9%. Studi nasional pada remaja (12-17 tahun) menunjukkan bahwa hampir setengahnya ( sekitar 47%) pernah mengalami salah satu jenis trauma (kekerasan seksual, fisik, atau menyaksikan kekerasan).Ilustrasi mendukung orang tersayang yang mengidap gangguan mental. Foto: Tirachard Kumtanom/ShutterstockTrauma healing adalah proses terapeutik yang bertujuan membantu seseorang memproses dan mengintegrasikan pengalaman traumatis ke dalam narasi hidup mereka, sehingga pengalaman tersebut tidak lagi mendominasi respons emosional dan fisik mereka saat ini. Fokus healing adalah: mengintegrasikan ingatan traumatis ke dalam narasi hidup; meregulasi emosi, sehingga emosi itu tidak lagi menguasai diri; dan memvalidasi respons tubuh sebagai mekanisme bertahan hidup yang gagal dimatikan.Urgensi trauma healing terletak pada fakta bahwa trauma, jika tidak diproses, akan membuat sistem saraf seseorang terperangkap di masa lalu. Tubuh dan pikiran terus bereaksi seolah-olah ancaman masih ada (mode survival). Hal ini menghabiskan energi yang seharusnya digunakan untuk hidup dan membangun masa depan. Trauma individu adalah pengalaman tunggal atau berulang yang dialami oleh satu orang dan mengancam keselamatannya secara langsung. Contoh, korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), korban pelecehan seksual, penyintas kecelakaan serius, atau penderita penyakit kronis yang mengancam jiwa. Trauma kolektif adalah pengalaman traumatis yang dialami oleh sekelompok besar orang yang memiliki identitas atau lokasi geografis yang sama, sering kali terjadi secara tiba-tiba. Contoh, penyintas bencana alam besar (gempa, tsunami, letusan gunung berapi), korban konflik bersenjata, atau pengalaman kolektif pandemi (seperti Covid-19) yang menimbulkan ketidakpastian dan duka massal. Trauma historis adalah jenis trauma yang paling halus dan paling sulit diidentifikasi, karena luka ini diturunkan dari generasi ke generasi tanpa pengalaman langsung peristiwa aslinya. Contoh, keturunan korban penjajahan, genosida, perbudakan, atau penindasan politik yang berlangsung lama. Meskipun generasi muda tidak mengalaminya, mereka mewarisi dampak psikologis dan biologisnya.Urgensi trauma healing muncul karena dampak yang ditimbulkan akibat trauma memengaruhi kehidupan manusia seutuhnya. Trauma dapat menimbulkan perasaan tertekan secara terus menerus. Manifestasinya, sakit kepala kronis yang tidak bisa dijelaskan secara medis, nyeri otot atau punggung yang tegang, gangguan pencernaan (IBS), gangguan tidur parah, dan bahkan peningkatan risiko penyakit jantung karena paparan kortisol (hormon stres) jangka panjang. Trauma dapat berdampak terhadap emosi dan psikologis. Manifestasinya, Gangguan Kecemasan Umum (GAD), Depresi Klinis, Dissociation (merasa terlepas dari diri sendiri atau realitas), dan yang paling parah adalah Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), yaitu suatu kondisi di mana peristiwa traumatis terus dialami seolah-olah terjadi berulang kali. Trauma merusak kemampuan seseorang untuk terhubung dan berfungsi di masyarakat. Manifestasinya, kesulitan membangun atau mempertahankan hubungan intim, mudah marah atau meledak di tempat kerja atau rumah, kesulitan fokus dan belajar (terutama pada anak-anak/remaja), serta perilaku menghindari situasi yang mengingatkan pada trauma (misalnya, menolak masuk kerumunan, menolak bepergian).Proses pemulihan trauma bukanlah perjalanan tunggal yang hanya mengandalkan kemauan, tetapi membutuhkan dua pilar utama yang bekerja secara sinergis yaitu intervensi profesional (untuk memproses luka yang terperangkap dalam sistem saraf) dan dukungan sosial (untuk mengembalikan rasa aman dan koneksi di dunia nyata). Intervensi profesional (dilakukan oleh psikolog klinis, psikiater, atau terapis trauma bersertifikasi) sangat penting karena pemulihan trauma memerlukan teknik klinis untuk memproses ingatan yang terperangkap secara disfungsional dalam otak dan tubuh. Dukungan sosial yang berasal dari keluarga, teman, kelompok support, atau komunitas adalah faktor penting lainnya dalam pemulihan trauma.Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan secara eksplisit menguatkan posisi kesehatan jiwa dalam bab yang mengatur upaya kesehatan. UU ini mengukuhkan pandangan bahwa kesehatan bukanlah sekadar bebas dari penyakit fisik, melainkan keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis (seperti definisi WHO). UU Kesehatan menetapkan bahwa upaya kesehatan jiwa harus diselenggarakan secara terpadu, komprehensif, dan berkelanjutan, mencakup: promotif dan preventif (pencegahan masalah jiwa dan promosi kesehatan mental); kuratif (pengobatan kasus gangguan jiwa); dan rehabilitatif (pemulihan fungsional, yang mencakup layanan trauma healing). UU ini mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan dalam keadaan darurat (termasuk bencana dan krisis kemanusiaan). Pelayanan ini secara implisit mencakup Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial (DKJPS), yang merupakan intervensi trauma healing awal. UU Kesehatan mengukuhkan bahwa kesehatan jiwa adalah bagian tak terpisahkan dari kesehatan secara keseluruhan (body, mind, and social well-being). Artinya, trauma healing tidak bisa dipisahkan dari layanan kesehatan fisik. UU ini mewajibkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan upaya kesehatan jiwa yang komprehensif dan berkelanjutan. Dengan menjadikan layanan jiwa sebagai hak yang dijamin UU, hal ini memberikan payung hukum yang lebih kuat untuk melawan stigma sosial dan diskriminasi. Penyintas trauma memiliki hak untuk menuntut layanan pemulihan yang setara dengan penyakit fisik. UU Kesehatan menekankan transformasi layanan kesehatan primer. Hal ini berarti Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (Puskesmas) wajib diperkuat dan mampu melakukan deteksi dini, skrining masalah mental emosional, dan memberikan intervensi psikososial dasar—yang merupakan langkah awal kritis dalam trauma healing. Integrasi kesehatan jiwa di layanan primer memungkinkan penanganan trauma tidak hanya berfokus pada individu, tetapi juga pada faktor sosial yang memicu dan mempertahankan trauma (seperti dukungan keluarga dan lingkungan kerja). Data menunjukkan rasio tenaga profesional kesehatan jiwa di Indonesia sangat timpang. Salah satu tujuan UU Kesehatan adalah mengatasi masalah ketersediaan SDM Kesehatan, termasuk psikolog klinis dan psikiater.Meskipun UU Kesehatan memberikan dasar hukum yang kuat, tetapi dalam implementasinya menghadapi hambatan besar, terutama di negara kepulauan seperti Indonesia. Kekurangan dan distribusi tenaga profesional adalah hambatan terbesar untuk mewujudkan trauma healing. Saat ini, rasio psikiater dan psikolog klinis terhadap jumlah penduduk Indonesia masih jauh dari ideal. UU Kesehatan mengamanatkan Puskesmas menjadi garda terdepan, tetapi mayoritas Puskesmas belum memiliki psikolog klinis atau perawat yang terlatih secara spesifik dalam intervensi trauma (trauma-informed care), sehingga deteksi dini dan intervensi dasar seringkali terlewatkan.Stigma adalah penghalang terbesar. Penyintas trauma, terutama korban kekerasan seksual atau KDRT, enggan datang ke Puskesmas atau rumah sakit karena mereka takut informasi mengenai kondisi mereka tersebar atau dihakimi. Implementasi healing memerlukan kerja sama dengan tokoh agama dan adat setempat. Tantangannya adalah melatih tokoh-tokoh ini agar menjadi mitra (peka trauma dan bukan justru menyebarkan stigma. Meskipun UU Kesehatan menetapkan kesehatan jiwa sebagai prioritas nasional, Pemerintah Daerah (Pemda) seringkali memiliki keterbatasan anggaran dan cenderung memprioritaskan penyakit fisik yang lebih terlihat (visible), seperti penyakit menular atau stunting. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) seharusnya mencakup sesi terapi psikologis trauma yang memadai dan berkelanjutan.Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 telah memberikan peta jalan dan jaminan perlindungan dalam konteks trauma healing. Pemerintah menjamin trauma healing terintegrasi dalam sistem kesehatan nasional. Mandat UU Kesehatan untuk menguatkan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (Puskesmas) dan menjamin ketersediaan tenaga profesional adalah langkah nyata untuk mendekatkan layanan trauma healing ke tingkat komunitas. Namun, implemetasi UU Kesehatan tetap harus dikawal bersama. Tantangan implementasi, mulai dari rasio SDM Kesehatan yang timpang hingga risiko program yang terhenti, menuntut tanggung jawab bersama.