Ilustrasi gambar aplikasi Meta di ponsel pintar. Sumber: Shutter Stock.Bayangkan dunia yang kita tempati saat ini, situasi dan kondisinya seperti yang tergambar dalam serial Black Mirror. Di mana setiap tindakan manusia dipantau, setiap klik direkam dan setiap hubungan sosial memiliki harga. Dunia di mana batas antara koneksi dan kontrol menjadi kabur. Kini, dunia itu bukan lagi fiksi. Facebook hidup di ponsel kita, di bawah nama baru yang mencoba terdengar lebih luas, lebih futuristik dengan mengakuisisi nama Meta.Beberapa waktu lalu, seorang pembaca meninggalkan kritik berharga pada salah satu tulisan saya yang berjudu Meta-Brand yang Menumbangkan Penciptanya. Ia menyebut istilah-istilah seperti “Meta-Brand” terasa tinggi dan bombastis. Saya justru berterima kasih, karena kritik itu memberi kesempatan untuk menjelaskan konsep yang sangat relevan dengan menggunakan studi kasus paling ironis pada perusahaan yang menamai dirinya dengan kata “Meta”.Meta-Brand: Cermin dari Reputasi KolektifMeta-Brand bukan sekadar logo, nama, atau kampanye iklan. Meta-Brand adalah cerita kolektif tentang bagaimana publik melihat diri kalian berdasarkan kumpulan persepsi, pengalaman dan emosi yang lahir dari tindakan kalian, bukan dari apa yang kalian katakan. Oleh sebab itu, Meta-Brand adalah apa yang orang bicarakan tentang diri kalian ketika kalian tidak ada di ruangan.Masalah perusahaan Meta Platforms Inc. terlihat sederhana namun dampak negatifnya besar karena mereka ingin mengganti persepsi tanpa mengganti perilaku. Nama “Facebook” sudah lama terbebani dengan krisis privasi, skandal Cambridge Analytica, penyebaran misinformasi dan dampak negatif terhadap kesehatan mental. Reputasi mereka adalah cermin retak yang tak bisa disembunyikan hanya dengan menempelkan label baru di atasnya.Memoles Citra Tanpa PertobatanKetika Mark Zuckerberg mengumumkan pergantian nama menjadi “Meta”, dia ingin publik melupakan masa lalu dan percaya pada visi baru bernama Metaverse. Namun, data menunjukkan publik tidak mudah percaya.Survei Morning Consult (2023) mencatat hanya 24% pengguna Amerika yang percaya bahwa Meta dapat melindungi data pribadi mereka, sementara kepercayaan terhadap platform Facebook sendiri turun lebih dari 40% sejak 2018. Artinya, meski tampil dengan wajah baru, luka lamanya masih terasa.Di Indonesia, baru-baru ini kampanye Meta mencoba membungkus citra baru itu dengan budaya populer dengan menggunakan tema horor, pamali, hingga zodiak untuk memperkenalkan Meta AI. Pendekatannya cerdas secara budaya, tapi justru menegaskan kontradiksi dasarnya, yaitu mereka ingin tampil dekat dan hangat, padahal inti bisnisnya tetaplah monetisasi data pengguna. Ibarat kata, seperti secangkir kopi dengan latte art yang indah, tapi biji kopinya tetap sama, rasanya tetap pahit dan penuh residu.Bercermin dari Dunia Black Mirror dan MicrosoftIlustrasi gambar aplikasi Microsoft 365 yang dikembangkan oleh perusahaan Microsoft di bawah pimpinan Satya Nadella. Sumber: Shutter Stock.Dalam serial Black Mirror, teknologi selalu dimulai dengan niat baik dengan cara menghubungkan, membantu dan memudahkan. Sebelum akhirnya berubah menjadi alat kendali sosial. Meta tampaknya sedang berjalan di jalur yang sama dengan tujuan ingin membangun dunia baru yang lebih imersif, tetapi lupa bahwa fondasi kepercayaan di dunia lama belum mereka pulihkan.Berbeda dengan Microsoft di bawah Satya Nadella. Ketika Nadella mengambil alih kursi CEO pada tahun 2014, Microsoft juga tengah kehilangan kepercayaan publik. Raksasa teknologi tersebut dianggap kaku, arogan dan tertinggal dari Apple serta Google. Namun, alih-alih menyembunyikan masa lalunya dengan nama baru, Nadella memilih mengubah budayanya. Dalam pidato internalnya, Nadella berkata:“Kita harus beralih dari perusahaan yang merasa sudah tahu segalanya (know-it-all) menjadi perusahaan yang selalu ingin belajar (learn-it-all).” Kalimat sederhana itu mengguncang seluruh struktur internal Microsoft. “Merasa sudah tahu segalanya” berarti menutup diri dari kritik dan kegagalan. “Selalu ingin belajar” berarti membuka diri terhadap pembaruan, mendengarkan pengguna, dan memperbaiki diri lewat tindakan nyata.Perubahan filosofi ini mengubah arah perusahaan yang sebelumnya melakukan penjualan perangkat lunak ke membangun ekosistem pembelajaran dan kolaborasi lewat Azure dan Office 365. Hasilnya? Tentu saja berdampak positif. Microsoft kembali dipercaya, bukan karena berhasil memoles citranya kembali sebagai salah satu raksasa teknologi, tapi karena mampu dan bisa melakukan pembelajaran ulang.Pelajaran dari Meta dan untuk Kita SemuaMeta gagal bukan karena meneraokan ide Metaverse-nya salah, tetapi karena lupa bahwa kepercayaan publik tidak bisa diciptakan di ruang virtual sebelum dipulihkan di dunia nyata. Mereka berlari terlalu cepat menuju masa depan tanpa menyelesaikan utang masa lalu.Microsoft membuktikan bahwa reputasi baru bukan soal mengganti nama, melainkan mengubah cara berpikir. Dunia bisnis dan bahkan dunia politik serta pemerintahan juga bisa belajar dari sini. Terkadang kita perlu berpikir cepat dan bertindak lambat untuk melangkah. Perhitungkan segala dampaknya dan jangan buru-buru mengganti slogan atau membuat kampanye baru, hanya karena citra mulai retak. Perbaiki perilaku, bukan poster untuk menciptakan klaim dengan tujuan memoles citra.Pada akhirnya, baik di dunia nyata maupun di dunia Black Mirror, yang menentukan apakah sebuah merek dipercaya bukanlah algoritma, melainkan akhlak perilaku yang konsisten. Tetapi tidak menutup kemungkinan, seperti di akhir banyak episode Black Mirror, pelajaran yang paling menakutkan justru datang ketika kita bercermin dan menyadari bahwa refleksi di balik layar itu, sebenarnya, adalah diri kita sendiri.