Menurut Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira Danantara terlalu longgar pengawasannya. (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Pemerintah Presiden Prabowo melahirkan lembaga baru bernama Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara Indonesia). Misinya amat luhur: membuat makmur seluruh rakyat Indonesia. Namun, menurut Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira, sebagai sebuah lembaga sovereign wealth fund (SWF), Danantara justru seperti menjadi tempat “cuci piring kotor” BUMN.***Secara konsep, tak ada yang meragukan misi yang hendak diwujudkan dengan dibentuknya Danantara, yaitu untuk mengelola kekayaan negara secara profesional, transparan, dan berkelanjutan sesuai dengan prinsip good governance guna mendorong kesejahteraan rakyat, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 dan misi Asta Cita.Catat dan garis bawahi: muaranya adalah untuk memakmurkan rakyat Indonesia. Ini linear dengan pidato Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Paripurna MPR RI saat Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI Terpilih Periode 2024–2029. Dengan lantang ia berseru. “Semua kekayaan kita harus sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat kita (rakyat Indonesia),” ujarnya.Pertanyaannya, apakah jalan menuju kemakmuran rakyat seperti misi yang sudah dikumandangkan itu sudah mulai terlihat—minimal tanda-tanda menuju kemakmuran rakyat, bukan kemakmuran segelintir orang?Memang terlalu dini untuk menilai, karena Danantara ini baru dilahirkan. Tapi ingat, meski baru lahir, ia sudah jadi raksasa. Aset yang dikelolanya saat ini lebih dari USD 1 triliun atau sekitar Rp16.300 triliun hingga Rp16.800 triliun. Dana sebesar itu harus dikelola dengan benar.Karena itulah, kata Bhima Yudhistira, lembaga ini harus diawasi dengan ketat agar tujuannya memakmurkan rakyat Indonesia bisa tercapai. Sejauh ini, yang ia lihat, daftar proyek Danantara masih belum strategis dan tidak mendukung program utama Presiden Prabowo, yaitu ketahanan pangan dan ketahanan energi.“Soalnya, proyek yang digarap Danantara sekarang sarat kepentingan dan mengerjakan apa yang tidak laku di BUMN. Jadi proyek yang ada di daftar Danantara itu, yang kami amati, dekat dengan konglomerat. Inilah konflik kepentingan yang paling kelihatan. Kedua, secara keekonomian tak laku. Contohnya soal gasifikasi batu bara yang ditinggalkan investor China dan Amerika, tapi malah masuk ke list-nya Danantara. Jadi Danantara seperti jadi tempat cuci piring kotor BUMN. Mestinya cari proyek yang lebih menguntungkan dan banyak menyerap tenaga kerja,” kata Bhima Yudhistira saat bertandang ke kantor VOI, di bilangan Tanah Abang, Jakarta, 29 September 2025.Danantara, kata Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira, harus diawasi secara berlapis. (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Menurut Anda, apa peran ideal sebuah SWF seperti Danantara dalam upaya mempercepat kemakmuran rakyat?Danantara ini adalah kumpulan BUMN dan dividen BUMN yang ingin dipupuk menjadi dana investasi besar. Ini bukan hal baru, karena di negara lain juga sudah ada yang disebut sovereign wealth fund atau dana abadi. Di Norwegia, China, Alaska (AS), dan negara-negara Timur Tengah pun memiliki lembaga serupa. Dengan hadirnya Danantara, Indonesia bisa memiliki super holding.Sebenarnya, ini adalah mimpi mendiang Tanri Abeng: tak perlu ada BUMN terpisah, semua bergabung dalam satu holding besar ini.Kalau pertanyaannya apakah Danantara akan menyejahterakan rakyat, itu masih harus kita lihat ke depan. Apakah Danantara akan berinvestasi pada proyek-proyek yang menyerap tenaga kerja dan punya nilai tambah ekonomi, atau malah masuk ke proyek yang tak laku di BUMN lalu diambil alih oleh Danantara.Apa yang lebih relevan dari konsep menyejahterakan itu?Saat mengambil keputusan investasi, apakah Danantara menampung aspirasi rakyat Indonesia yang dananya dikelola? Apakah hak-hak pekerja diperhatikan? Hal-hal ini seharusnya masuk dalam revisi UU BUMN. Kita bisa belajar dari lembaga sejenis di Norwegia yang dinilai sangat baik. Di sana, SWF-nya melibatkan serikat pekerja, bahkan perwakilan pekerja duduk di jajaran pengurus SWF. Mereka juga melakukan referendum untuk menentukan akan berinvestasi di sektor apa dan di mana.Danantara belum memiliki sistem seperti itu. Belum lagi soal pembayar pajak, yang uangnya juga masuk ke Danantara, namun sejauh ini belum dilibatkan.Untuk kawasan Asia, SWF di negara mana yang bisa dijadikan contoh?Yang lebih dekat adalah Khazanah di Malaysia. Awalnya bergerak di sektor migas melalui Petronas dan lainnya. Keuntungannya digunakan untuk membiayai proyek-proyek pemerintah Malaysia.Namun, ada juga contoh yang gagal, seperti 1MDB, SWF Malaysia yang terjerat kasus korupsi besar. Jadi ini semua bisa menjadi pelajaran — ada yang baik dan ada yang tidak baik. Semoga Danantara bisa mengambil contoh yang baik.Temasek di Singapura juga mirip dengan Danantara dan bisa menjadi salah satu referensi positif.Dana dan aset yang dihimpun Danantara ini besar sekali. Kalau publik khawatir dengan pengelolaannya, apakah itu masih wajar?Sangat wajar, karena dana itu milik publik. Misalnya, saat terjadi reaksi penarikan deposito di bank-bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) beberapa waktu lalu. Karena bank Himbara masuk ke Danantara, sementara Danantara belum memiliki sistem pengawasan yang kuat, wajar jika masyarakat khawatir.Memang, simpanan di bawah Rp2 miliar dijamin LPS, tapi bagaimana dengan simpanan di atas itu? Semua tergantung pada profitabilitas bank-bank Himbara dan Danantara.Dalam lingkup lebih kecil, kekhawatiran juga muncul dari pekerja dan vendor. Pertanyaan yang sering muncul: apakah Danantara akan lebih tegas soal outsourcing dan hak-hak pekerja, terutama dalam proses merger dan akuisisi BUMN? Dari sisi pembayar pajak juga muncul harapan: apakah laba dari BUMN bisa memberikan keringanan bagi masyarakat — misalnya listrik lebih terjangkau, dan apakah listrik bisa berasal dari energi baru terbarukan.Soal pengelolaan risiko (risk management, segregation of duties, internal control), apa yang minimal harus dimiliki Danantara agar ancaman mismanajemen dapat diminimalkan?Masih banyak yang bolong dan perlu diperbaiki. Salah satunya adalah fungsi dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Saat ini, mereka hanya difungsikan sebagai auditor tambahan, dan itu pun harus dengan persetujuan DPR RI dalam revisi UU BUMN. Padahal sebelumnya, BUMN otomatis menjadi objek audit BPK. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) juga demikian — ada imunitas tertentu yang diberikan kepada Danantara, sehingga pengawasan menjadi lebih lemah.Lalu, dari sisi pengawasan publik — publik tidak diberi tahu alasan di balik keputusan investasi Danantara, misalnya pada proyek gasifikasi batu bara. Seharusnya, masukan dari publik menjadi salah satu rekomendasi sebelum berinvestasi.Di Norwegia, SWF mereka bahkan memutus hubungan dengan perusahaan yang mendanai senjata untuk Israel, karena mereka merasa memiliki SWF tersebut. Dana dialihkan ke investasi yang lebih baik bagi demokrasi dan penegakan HAM. Mereka tahu apa yang terjadi di Gaza dan menolak berinvestasi pada pihak yang terlibat.Kalau kita ingin publik juga terlibat, jalurnya lewat mana?Melalui revisi UU BUMN yang saat ini sedang digarap DPR RI. Revisi pertama di awal tahun 2025 belum memuaskan, dan akan ada revisi lanjutan. KPK, BPK, serta aparat penegak hukum perlu dilibatkan agar bisa menjadi benteng pertahanan awal.Selain itu, soal pemisahan aset juga harus jelas — aset BUMN yang dialihkan ke Danantara, serta aset pemerintah seperti GBK dan lainnya, jika akan dikelola Danantara, harus diatur agar tidak bentrok dengan UU Keuangan Negara Tahun 2003.Pemilihan direksi dan penasihat Danantara juga harus transparan. Publik bertanya-tanya mengapa ada nama Thaksin Shinawatra di jajaran Danantara — padahal ia sedang dipenjara di Thailand. Nama Ray Dalio juga dinilai problematis. Ia adalah pemain besar di dunia investasi, sehingga jika menjadi penasihat, ia bisa meminta laporan rinci. Ini bisa menjadi insight bagi bisnisnya sendiri. Ia akan lebih dulu tahu saham BUMN mana yang bagus dibandingkan pelaku pasar lainnya.Kata Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira, pengelola Danantara harus mencontoh SWF di manca negara yang sukses. (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Soal hanya DPR dan Danantara saja yang bisa melakukan pengawasan, sementara KPK dan BPK tidak, hanya bisa kalau diminta — ini kan ada celah untuk KKN. Menurut Anda?Kami melakukan survei kepada publik, dan hasilnya lebih dari 80% responden khawatir Danantara akan menjadi lahan korupsi oleh oknum tertentu. Artinya, publik melihat ada celah korupsi dan persoalan tata kelola di Danantara. Termasuk soal rangkap jabatan di BUMN dan pengadaan barang serta jasa.Lalu ada juga potensi konflik kepentingan, seperti dalam penjualan obligasi Patriot Bonds. Sasaran utamanya adalah para konglomerat: kalau tak ingin bisnisnya diganggu, maka “berbaktilah pada negara” dengan membeli Patriot Bonds itu. Uangnya digunakan untuk proyek pengolahan sampah menjadi energi. Konflik kepentingannya jelas, karena ada pengurus yang juga memiliki perusahaan pengolahan limbah. Karena itu, tata kelola Danantara harus segera diperbaiki.Apa saja usulan CELIOS atau lembaga sejenis untuk perubahan RUU BUMN?Ada beberapa usulan yang sudah kami siapkan. Salah satunya soal pemisahan Kementerian BUMN dan Danantara. Kami menolak adanya BP BUMN, karena kalau sudah ada super holding seperti Danantara, buat apa lagi ada BP BUMN? Itu hanya membuang anggaran di tengah upaya efisiensi yang sedang dijalankan. Selain itu, akan ada potensi tumpang-tindih kewenangan.Pembentukan Danantara seharusnya justru untuk mempercepat proses investasi. Jika ada BP BUMN, penyaluran subsidi akan semakin rumit. Padahal, hal itu bisa dilakukan langsung antara Menteri Keuangan dan Danantara.Apa lagi masukan Anda?Partisipasi publik harus diperluas. Jangan hanya akademisi yang selama ini membela pemerintah yang diundang ke DPR. Buka ruang selebar-lebarnya. Revisi UU BUMN awal tahun 2025 lalu berjalan super kilat — hanya tiga hari. Jangan alergi terhadap akademisi yang kritis, karena justru itu yang akan meningkatkan kepercayaan deposan, investor, dan publik. Jadi, untuk revisi kedua, jangan terburu-buru. Dengan waktu yang lebih panjang, partisipasi publik juga akan lebih luas.Seperti apa rumusan sanksi untuk yang tidak jujur?Dalam revisi pertama UU BUMN, mereka mendapat semacam imunitas — bahwa apa yang dilakukan Danantara tidak bisa dikategorikan sebagai kerugian negara. Jadi, selain tidak diawasi oleh BPK dan KPK, ditambah lagi tidak dianggap sebagai kerugian negara. Ini tidak boleh terjadi.Kita tidak ingin ada kasus di mana seorang direktur utama tidak menerima uang sepeser pun, tapi dianggap merugikan keuangan negara karena kebijakan yang diambilnya. Hal seperti ini harus diperjelas dalam revisi RUU BUMN yang kedua.Apalagi yang harus dipaparkan ke publik?Mereka yang duduk di Danantara tidak boleh memiliki konflik kepentingan, dan tidak boleh rangkap jabatan. Mereka juga tidak boleh memiliki saham di perusahaan swasta atau BUMN yang bisa menimbulkan praktik insider trading. Karena mereka tahu lebih dulu proyek apa yang akan dijalankan, bisa saja anak perusahaannya diarahkan untuk masuk ke sana.Kementerian Investasi juga harus bersih — menterinya tidak boleh rangkap jabatan, misalnya menjadi CEO Danantara. Harus pilih salah satu. Pemisahan peran ini krusial.Konflik kepentingan ini agak samar. Bagaimana menjelaskannya agar lebih operasional?Harus dimasukkan dalam pasal revisi RUU BUMN. Semua harus diatur secara jelas dan rinci. Setiap direksi dan penasihat Danantara tidak boleh memiliki kepentingan bisnis, saham, atau beneficial ownership.Biasanya mereka menggunakan perusahaan cangkang (shell company), tapi uangnya tetap mengalir ke mereka. Sebenarnya mereka pengendali, hanya saja namanya tidak tercantum di perusahaan tersebut.Kalau dia memberi informasi ke orang lain, bagaimana?Itu sudah termasuk kategori suap atau gratifikasi. Misalnya, ia membocorkan bahwa bulan depan akan ada proyek tertentu yang dilakukan Danantara dengan nilai tertentu, lalu menerima uang dari informasi itu — maka itu sudah masuk kategori gratifikasi.Tadi Anda bilang 1MDB adalah contoh yang tidak baik. Apa yang bisa dipelajari agar hal itu tidak terulang di Danantara?Konsep yang dijalankan 1MDB adalah mengelola dana agar berkembang untuk pembangunan. Namun, pengawasannya sangat minim. Bahkan, aliran dana ke mana saja baru diketahui setelah dua hingga tiga tahun kemudian. Sampai sekarang pun, pelaku utamanya belum tertangkap.Kelemahan utamanya ada pada sisi pengawasan dan ketiadaan partisipasi publik. Ini tidak boleh terjadi di Danantara. Apalagi Danantara lebih besar dari 1MDB, maka sistem pengawasannya harus berlapis.Negara mana yang memiliki pengawasan SWF yang baik dan bisa jadi contoh?Norwegia sangat baik, juga Alaska dan Qatar (Qatar Investment Fund). Mereka sangat transparan dan tertib administrasi. Saya tahu, SWF Norwegia bahkan berinvestasi di proyek panel surya di Indonesia.Setiap tiga bulan mereka menerbitkan laporan. Karena itu, mereka cepat tahu jika ada investasi yang mengalir ke perusahaan senjata di Israel — dan segera menariknya. Mereka memiliki prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (environmental, social, governance / ESG). Setiap proyek yang dibiayai tidak boleh melanggar ketiga prinsip tersebut.Mereka juga memiliki mekanisme recall, di mana direksi bisa diberhentikan atas permintaan publik. Masyarakat bisa membuat petisi untuk mengganti direktur yang dianggap bermasalah.Apakah ada mekanisme internasional (due diligence pada mitra, bank koresponden, atau kepatuhan transaksi lintas negara) yang harus diterapkan sejak awal untuk mencegah pencucian atau transfer gelap?Ada. INA SWF, yang merupakan cikal bakal Danantara, dulu lebih banyak mengurus proyek IKN. INA tergabung dalam koalisi dana abadi internasional. Dana abadi internasional tunduk pada Santiago Principles, antara lain: tidak boleh ada pencucian uang, pendanaan terorisme, maupun kegiatan yang menyebabkan kerusakan lingkungan.Jika Danantara ingin bergabung dengan lembaga-lembaga dana abadi di negara maju (misalnya di bawah OECD), maka mereka juga harus mematuhi prinsip ketat anti pencucian uang dan anti pendanaan terorisme.Tadi Anda bilang kalau sudah ada Danantara, buat apa ada BUMN. Apakah hal ini sudah diatur dalam draft revisi RUU BUMN?Sayangnya, belum ada. Tempo hari kami berharap nomenklatur Kementerian BUMN dihapus. Jadi semua jelas: BUMN berada di bawah BPI Danantara.Namun, untuk menghapus Kementerian BUMN diperlukan revisi UU Keuangan Negara 2003 dan UU BUMN 2025. Kalau tidak, birokrasi justru akan semakin panjang. Selain itu, posisi pimpinan harus benar-benar profesional — bukan hasil penunjukan politik. Ini yang tidak boleh terjadi.Dengan konstelasi seperti ini, apakah masih bisa dilakukan perbaikan untuk Danantara?Akademisi dan masyarakat sipil membuat platform monitoring untuk Danantara melalui laman https://danantaramonitor.org/. Isinya berupa daftar proyek-proyek yang akan dijalankan Danantara. Ada juga kotak aduan bagi masyarakat yang ingin melaporkan dugaan korupsi di Danantara.Ini semacam sindiran tajam: kami tanpa pajak rakyat bisa membuat platform yang transparan, mengapa Danantara tidak bisa? Ini pertanyaan menarik.Yang tak kalah penting, Danantara perlu diarahkan pada proyek-proyek yang mendukung misi pemerintah Presiden Prabowo, yaitu ketahanan energi dan ketahanan pangan. Dalam Sidang PBB, Presiden Prabowo lantang menyatakan bahwa dalam 10 tahun Indonesia akan beralih menggunakan energi baru terbarukan. Namun, proyek-proyek Danantara tampak tidak nyambung dengan misi presiden tersebut. Saya tidak tahu salahnya di mana, tetapi seharusnya mereka membangun PLTS berskala besar dan PLTA skala besar.Jadi, missing link-nya di mana menurut Anda?Dari awal, pembentukannya tergesa-gesa dan salah membaca tren. Tren dunia saat ini adalah transisi energi, sementara Danantara belum mau masuk ke sana. Ini yang membuat investor bingung. Selain itu, Danantara jangan sampai kanibal dengan BUMN yang sudah ada. Sekarang justru terlihat ada persaingan antara Danantara dan BUMN — ini perlu diatur.Proyek-proyek yang ada dalam daftar Danantara juga kami amati dekat dengan konglomerat. Inilah konflik kepentingan yang paling terlihat. Kedua, secara keekonomian proyek-proyek itu tidak layak. Contohnya gasifikasi batu bara yang ditinggalkan investor China dan Amerika, tetapi malah masuk ke daftar Danantara. Jadi, Danantara seperti menjadi tempat “mencuci piring kotor” BUMN. Seharusnya lembaga ini mencari proyek yang lebih menguntungkan dan menyerap banyak tenaga kerja.Kembali lagi ke pertanyaan awal, apakah kehadiran Danantara ini bisa menyejahterakan rakyat, atau justru sebaliknya sudah bisa terbaca jawabannya?Jawabannya: belum. Butuh perjalanan panjang untuk mencapai itu. Tapi yang penting, langkah awalnya harus benar. Jadi, kalau mau melangkah jangan melawan tren dan kebutuhan masyarakat saat ini. Apa kebutuhan masyarakat? Lapangan kerja, perumahan layak, transportasi publik, air bersih, dan energi ramah lingkungan. Semua itu seharusnya bisa dijawab dengan hadirnya Danantara. Soal dana sebenarnya tidak menjadi isu. Bahkan Pak Purbaya baru saja menyuntikkan Rp200 triliun melalui bank Himbara.Tentang suntikan dana Rp200 triliun ini menarik. Sebelum disuntik, bank Himbara sudah kelebihan dana. Mereka malah bingung dapat tambahan dana. Bagaimana Anda melihatnya?Secara umum, kondisi perbankan di Indonesia bukan kekurangan likuiditas, karena ada sekitar Rp2.400 triliun dana menganggur. Khusus di bank Himbara, ada sekitar Rp500 triliun (data Juni 2025). Makanya mereka bingung ketika ditambah lagi Rp200 triliun. Kalau salah menyalurkan dana, mereka bisa dipanggil karena menyebabkan kredit macet. Tapi kalau dananya tidak tersalurkan, bunganya jadi mahal. Inilah yang membuat direksi bank Himbara pusing.Kalau sudah begini, apa yang harus dilakukan direksi bank Himbara?Mereka harus berkoordinasi dengan Danantara. Saat ini yang dibutuhkan adalah proyek-proyek di sektor ketahanan pangan dan ketahanan energi. Sekarang Danantara masih melakukan konsolidasi BUMN dan belum terlihat masuk ke proyek-proyek baru.Ketika terjadi kebocoran atau penyalahgunaan dana di Danantara, siapa yang harus menanggung bebannya?Apa pun yang terjadi dengan Danantara, ujung-ujungnya akan meminta bantuan APBN. Ke depan, siapa pun menteri keuangannya, jika ada proyek Danantara yang gagal, APBN yang akan menanggung — artinya rakyat juga yang menanggung.Kedua, BUMN bisa ikut terdampak. BUMN yang sehat dipaksa menjadi sakit. Karena itu, kami menolak penggabungan Pelita Air ke Garuda, sebab Pelita Air adalah maskapai yang bagus, on time, dan profitnya tinggi.Apa lagi yang menurut Anda krusial dari Danantara?Salah satunya adalah Patriot Bonds, yang laku keras karena menyasar sektor privat (konglomerat). Namun, harus dilihat rating kreditnya. Selain itu, proyek yang dibiayai jangan sampai hanya untuk kepentingan tertentu atau bahkan dikorupsi. Ini yang perlu transparansi. Karena itu, seruan kami kepada publik untuk menarik dana dari perbankan bukan langkah bijak. Jika tidak setuju dengan undang-undang, bisa melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).Yang penting, apakah Danantara mau menerima masukan publik? Sekarang ada indikasi ke arah itu?Sejauh ini belum ada. Penentuan proyek Danantara masih dilakukan secara tertutup. Lembaga pengawas seperti BPK dan KPK juga harus kembali diaktifkan perannya. Suara masyarakat sipil juga harus didengar.Menurut Anda, lima hal prioritas yang perlu dicatat untuk revisi RUU BUMN?Pertama, pengawasan. Kedua, kanal partisipasi publik. Ketiga, menghindari konflik kepentingan. Keempat, kriteria jelas dalam pemilihan proyek. Dan kelima, pelibatan aktif pekerja BUMN — kalau perlu mereka menjadi bagian dari pengurus Danantara. Serunya Bhima Yudhistira Naik Gunung Sendirian di JepangSelain membaca minimal dua buku dalam sebulan, Bhima Yudhistira juga rutin bermain mini soccer minimal sekali dalam sepekan. (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI) Naik gunung berkelompok sudah biasa, namun naik gunung sendirian alias solo hiking jarang dilakukan karena berbagai pertimbangan. Tapi itulah yang dilakukan Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS (Center of Economic and Law Studies). Seperti apa serunya mendaki gunung sendirian?Di luar kesibukannya sebagai dosen dan pengamat ekonomi, Bhima Yudhistira punya hobi bermain mini soccer dan mendaki gunung. “Hobi saya itu main mini soccer dan baca buku. Setiap bulan wajib baca dua buku, bisa fiksi atau nonfiksi. Sesekali naik gunung,” kata pria bernama lengkap Bhima Yudhistira Adhinegara.Jadwal mainnya: sepekan wajib satu kali main mini soccer. Tergantung posisi, kadang di Jakarta dan kadang di Yogyakarta. “Tapi lebih banyak mainnya di Jogja. Ada dosen, pegiat lingkungan, mahasiswa, jurnalis—semua gabung,” kata Bhima yang berposisi sebagai penjaga gawang.Dia memilih mini soccer karena tidak terlalu menguras energi seperti futsal atau sepak bola yang lapangannya lebih besar. Ternyata, ada kiat agar gawangnya tidak mudah bobol. “Sebelum main, saya hubungi dulu penyerangnya, saya bilang: nanti jangan terlalu keras ya,” ujarnya sambil tertawa. “Ternyata berhasil menggunakan relasi kuasa, soalnya yang saya hubungi mahasiswa saya,” lanjutnya dengan nada bercanda.Soal penjaga gawang, ia terinspirasi oleh Oliver Kahn, kiper legendaris Jerman. “Dia berani dan posturnya ideal sebagai seorang penjaga gawang,” jelas Bhima. Sepak Bola Indonesia dan MatematikaBhima Yudhistira berharap sepak bola Indonesia bisa maju. Salah satu kuncinya kata dia, intervensi politik harus dikurangi. Biarkan sepak bola berkembang sebagai olahraga, bukan jadi kendaraan politik. (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Soal sepak bola, ia tak bisa melupakan sosok Ratu Tisha, yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Umum PSSI periode 2023–2027. “Kami sama-sama satu pelatihan penerima beasiswa LPDP. Saat itu (2013) dia bilang ke depan sepak bola Indonesia harus berubah, menggabungkan sains, matematika, dan sport. Jadi seperti film Moneyball yang dibintangi Brad Pitt—semuanya dihitung dengan kalkulus dan algoritma. Semoga sepak bola Indonesia ke depan bisa maju, bukan hanya mengandalkan naturalisasi,” ujar alumnus Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada ini.Menurut Bhima Yudhistira, selama ini sepak bola Indonesia lebih banyak dipengaruhi keputusan politik. “Ke depan, sepak bola harus kembali lagi ke basic-nya sebagai olahraga. Tidak terlalu banyak intervensi politik. Jangan karena ingin membesarkan nama tertentu akhirnya sepak bola kita tidak profesional,” urainya.Ia optimistis ke depan sepak bola Indonesia akan bisa lebih baik. “Tolong kurangi memanfaatkan sepak bola untuk kepentingan pribadi. Saya harap Ratu Tisha bisa jadi Ketua PSSI dan melakukan perubahan dengan menggunakan teknologi untuk mendongkrak prestasi sepak bola kita,” harapnya. Makan Ramen di Puncak GunungBhima Yudhistira tak akan lupa pengalaman yang amat berkesan solo hiking di sebuah gunung di Jepang. (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Ini adalah pengalaman unik yang dilakukan Bhima saat solo hiking di salah satu gunung di Jepang. “Maaf, saya tidak bisa sebutkan nama gunungnya. Sebenarnya satu hari selesai mendaki. Gunungnya bersih dan lingkungannya aman, meski saya mendaki sendirian,” katanya, sedikit memberi kata kunci bahwa gunung yang didakinya merupakan habitat beruang hitam.Meski gunung tersebut dikenal sebagai tempat hidup beruang hitam dan ada larangan untuk mendaki sendirian, Bhima berhasil dan bisa pulang dengan selamat. “Itu benar-benar pengalaman yang magical buat saya. Bisa mendaki sendirian dan pulang dengan selamat,” terang pria yang menyelesaikan Master di University of Bradford, Inggris ini.Sesampainya di puncak, hal pertama yang ia lakukan adalah membaca buku dan makan ramen. “Nah, ini clue yang kedua: ada kantin ramen di puncak gunungnya. Buat yang pernah ke sana pasti tahu nama gunungnya,” kata Bhima, yang sudah mendaki Gunung Merapi, Sindoro, dan beberapa gunung di NTB.Ternyata bukan hanya dirinya yang suka naik gunung sendirian. Istri tercintanya juga melakukan hal yang sama. “Kalau kebetulan saya sedang tak bisa mendaki, saya minta dibawakan foto di gunung yang didaki istri saya,” ungkap Bhima Yudhistira, yang sudah memasukkan Gunung Rinjani dan Sumbing dalam daftar pendakian berikutnya.