Rangkap Jabatan

Wait 5 sec.

Rangkap jabatan di era Presiden Prabowo. (Ilustrasi VOI) Presiden Prabowo menandatangani Keputusan Presiden Nomor 116/P/2025, yang menetapkan Menteri Pertanian Amran Sulaiman merangkap jabatan sebagai Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas). Serah terima jabatan dijadwalkan pekan ini di Jakarta. Arief Prasetyo Adi, yang selama ini memimpin Bapanas, diberhentikan dengan hormat.Sekilas, keputusan itu tampak efisien. Namun di baliknya tersimpan risiko besar—hilangnya jarak antara pengatur dan pelaksana kebijakan pangan.Menurut Perpres Nomor 66 Tahun 2021, Bapanas merupakan lembaga pemerintah non-kementerian yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dengan tugas menyusun kebijakan ketersediaan, stabilisasi harga, hingga pengelolaan cadangan pangan. Sementara Perpres Nomor 192 Tahun 2024 menegaskan Kementerian Pertanian mengurusi seluruh aspek pertanian: benih, lahan, hingga pascapanen.Dua lembaga berbeda fungsi. Namun kini dipimpin oleh satu orang. Di situlah garis pengawasan mulai kabur. Direktur CELIOS Nailul Huda seperti dikutip dari Tempo, menilai penunjukan Amran menabrak prinsip good governancedan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. “Rangkap jabatan seperti ini berisiko tinggi menimbulkan konflik kepentingan. Kementan pelaksana produksi, Bapanas pengatur harga dan distribusi. Kalau dipegang satu orang, siapa yang mengawasi?” ujarnya.Pertanyaan itu menggema di ruang publik. Sebab ketika satu tangan mengatur produksi dan harga sekaligus, obyektivitas kebijakan pangan pun bisa lenyap.Pola serupa muncul di BUMN. Beberapa pekan sebelum Amran dilantik, Dony Oskaria ditunjuk sebagai Kepala Badan Pengaturan BUMN (BP BUMN) melalui Keppres Nomor 109/P/2025. Masalahnya, ia masih menjabat COO Danantara sekaligus CEO Danantara Asset Management (DAM) — dua entitas bisnis yang justru berada di bawah pengawasan BP BUMN.Padahal Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2023 tentang BUMN, menegaskan larangan bagi direksi, komisaris, atau dewan pengawas BUMN untuk merangkap jabatan yang menimbulkan benturan kepentingan. Meski posisi BP BUMN sebagai regulator belum diatur eksplisit, prinsip hukum good corporate governance tetap menuntut pemisahan peran pengawas dan operator.Pengamat BUMN dan Direktur NEXT Indonesia Center Herry Gunawan menilai langkah itu melanggar etika tata kelola. “Dony seharusnya mundur dari jabatan operasional di Danantara maupun DAM. Tidak mungkin seseorang bisa menjadi regulator sekaligus operator bisnis,” ujarnya kepada VOI.Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas, akhir Agustus lalu di DPR saat menjelaskan perubahan Kementerian BUMN menjadi BP BUMN mengatakan, “BP BUMN adalah regulator, Danantara itu operator”.Dalam lingkaran yang sama, Rosan Roeslani, Menteri Investasi dan Hilirisasi sekaligus Kepala BKPM, juga diketahui menjabat CEO Danantara. Rosan beralasan posisi ganda itu untuk mempercepat konsolidasi investasi dan hilirisasi. Alasan efisiensi kembali muncul. Padahal menteri yang mengatur investasi sekaligus menjalankannya berarti menghapus jarak antara regulator dan pelaku usaha.Fenomena ini meluas. Dalam konteks yang agak. berbeda seperti diungkap pemberitaan berbagai media, setidaknya ada puluhan Wamen merangkap posisi lain — mulai dari komisaris BUMN atau dewan pengarah. Contohnya Giring Ganesha, Wamen Kebudayaan sekaligus Komisaris PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia; atau Veronica Tan, Wamen PPPA yang juga Komisaris PT Citilink. Ada pula Angga Raka Prabowo, Wamen Komunikasi dan Digital, merangkap Kepala Badan Komunikasi Pemerintah (BKP) sekaligus Komisaris Utama Telkom Indonesia.Padahal Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 128/PUU-XXIII/2025 telah menegaskan: wakil menteri dilarang rangkap jabatan di lembaga lain atau di BUMN. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi pada akhir Agustus lalu menyatakan pemerintah akan menindaklanjuti putusan tersebut.Putusan MK memang memberi masa transisi dua tahun, tetapi menurut Dr. Yance Arizona, pakar Hukum Tata Negara UGM, masa dua tahun itu harus dibaca sebagai batas akhir, bukan toleransi. “Seharusnya segera setelah putusan MK keluar, para wakil menteri mundur dari jabatan komisaris. Dua tahun hanyalah batas paling lambat,” tegasnya dalam tulisan di laman resmi UGM.Semua hal di atas memperlihatkan satu pola. Penumpukan kekuasaan dalam satu figur. Mungkin, kalau itu atas nama efisiensi dan percepatan, batas antara pengawas dan pelaksana jadinya makin kabur.Tulisan ini bukan hendak menyerang figur. Semua sosok di atas diakui mumpuni. Kompeten. Namun efisiensi sejati lahir dari sistem yang transparan, bukan dari penggabungan jabatan. Rangkap jabatan mungkin mempercepat keputusan, tapi juga bisa jadi mempercepat kerusakan tata kelola. Karena setiap pengawasan membutuhkan jarak, dan setiap jarak membutuhkan keberanian untuk berkata “tidak”.Kini Mentan Amran mengendalikan pangan, Dony mengatur BUMN sambil berbisnis, Rosan mengelola investasi sekaligus memimpin perusahaan investasi, dan puluhan wamen memegang lebih dari satu kursi kekuasaan. Semuanya merasa efisien, padahal negara sedang kehilangan sekatnya sendiri.Kekuasaan yang seharusnya tersebar kini terkumpul di tangan beberapa orang. Batas yang seharusnya menjaga kini dilanggar atas nama percepatan. Jika tren ini dibiarkan, kita tidak lagi berbicara tentang pemerintahan yang efisien, tetapi tentang pemerintahan yang memusat — di mana pengawas, pelaksana, dan pengambil keputusan adalah orang yang sama.Kalau seperti itu, kebenaran bisa diganti oleh kenyamanan, dan efisiensi berubah menjadi alasan untuk membungkam koreksi. Negara mungkin masih berdiri, tetapi akal sehat tata kelola bisa jadi perlahan terkikis.Mungkin terdengar pahit tapi ini untuk kita renungkan demi kebaikan bersama. Demi rakyat dan negara tercinta Indonesia.