Fenomena Eco-Anxiety di Kalangan Generasi Z

Wait 5 sec.

Sumber: pixabay, diakses di https://pixabay.com/id/photos/perubahan-iklim-iklim-kekeringan-1325882/Isu perubahan iklim kini bukan lagi topik akademik semata, melainkan realitas yang dirasakan secara emosional oleh banyak orang. Setiap kali terjadi banjir besar, kebakaran hutan, atau suhu ekstrem, muncul rasa tidak berdaya yang sulit dijelaskan. Bagi sebagian kalangan—terutama generasi muda yang hidup di tengah arus informasi digital—kondisi ini menimbulkan bentuk kecemasan baru yang disebut eco-anxiety atau kecemasan ekologis.Fenomena eco-anxiety menunjukkan bagaimana krisis iklim telah bergeser dari persoalan lingkungan menjadi persoalan psikologis. Kesadaran terhadap ancaman kerusakan bumi tidak hanya menimbulkan kepedulian, tetapi juga rasa takut yang mendalam terhadap masa depan. Di media sosial, kekhawatiran ini sering muncul dalam bentuk komentar sinis seperti “buat apa punya anak kalau bumi sudah rusak?” Atau keluhan tentang polusi dan cuaca ekstrem yang terus meningkat.Gejala ini menandakan adanya perubahan cara manusia memaknai alam dan masa depan. Jika dulu alam dianggap sumber ketenangan, kini ia justru menjadi sumber kecemasan. Dalam konteks ini, eco-anxiety bukan sekadar istilah psikologis, melainkan refleksi zaman yang sedang kehilangan keseimbangannya.Apa Itu Eco-Anxiety?Eco-anxiety atau kecemasan ekologis merujuk pada bentuk tekanan emosional yang muncul akibat kesadaran terhadap perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. American Psychological Association (APA), dalam laporan bersama ecoAmerica pada tahun 2017, menggambarkan eco-anxiety sebagai “chronic fear of environmental doom” atau ketakutan kronis terhadap kehancuran lingkungan akibat perubahan iklim.Meskipun sering dikaitkan dengan istilah “kecemasan”, fenomena ini tidak tergolong sebagai gangguan mental klinis. Sebaliknya, ia merupakan respons emosional yang wajar terhadap ancaman ekologis yang dirasakan nyata. Individu yang mengalaminya dapat menunjukkan perasaan tidak berdaya, rasa bersalah karena merasa berkontribusi terhadap kerusakan bumi, hingga kesulitan menikmati aktivitas sehari-hari karena terus memikirkan masa depan lingkungan.Ilustrasi wanita cemas. Foto: metamorworks/ShutterstockDalam banyak kasus, eco-anxiety muncul bukan karena seseorang mengalami langsung bencana alam, melainkan karena paparan informasi yang berlebihan tentang krisis iklim melalui media. Kesadaran lingkungan yang tinggi tanpa dukungan psikologis yang memadai dapat memperkuat perasaan cemas dan ketidakberdayaan tersebut.Sebuah survei global yang dilakukan oleh University of Bath pada tahun 2021 terhadap lebih dari 10.000 anak muda berusia 16-25 tahun di sepuluh negara menunjukkan bahwa 59% responden merasa “sangat” atau “sangat khawatir” terhadap perubahan iklim. Sebagian besar melaporkan emosi seperti takut, sedih, marah, dan bersalah, serta merasa bahwa kekhawatiran tersebut memengaruhi kehidupan sehari-hari mereka.Temuan ini menegaskan bahwa eco-anxiety adalah fenomena global yang berkaitan erat dengan meningkatnya kesadaran lingkungan di era digital. Ia mencerminkan paradoks zaman modern: semakin manusia memahami krisis iklim, semakin besar pula beban psikologis yang harus dihadapi.Mengapa Hal Ini Penting?Fenomena eco-anxiety penting untuk diperhatikan karena ia mengungkap sisi emosional dari krisis lingkungan yang sering diabaikan. Selama ini, diskursus perubahan iklim cenderung fokus pada data ilmiah, suhu global, atau emisi karbon. Padahal, di balik angka-angka itu, ada jutaan individu yang merasa takut, lelah, dan terjebak dalam rasa bersalah kolektif.Kecemasan ekologis menunjukkan bahwa krisis iklim bukan hanya persoalan fisik, melainkan juga krisis makna. Banyak anak muda merasa kehilangan harapan terhadap masa depan, bahkan mempertanyakan keputusan-keputusan hidupnya karena merasa dunia tidak lagi stabil. Fenomena ini juga memperlihatkan bagaimana peran teknologi dan media berpengaruh besar dalam membentuk persepsi emosional terhadap lingkungan.Ilustrasi aksi peduli lingkungan. Foto: ShutterstockDengan memahami eco-anxiety, masyarakat dan pembuat kebijakan dapat merancang pendekatan yang lebih manusiawi dalam menghadapi perubahan iklim. Pendekatan yang tidak hanya berbicara soal mitigasi, tetapi juga soal ketahanan psikologis manusia menghadapi ketidakpastian ekologis.Siapa yang Rentan Mengalaminya?Mereka yang paling rentan mengalami eco-anxiety biasanya adalah individu yang memiliki tingkat kesadaran lingkungan tinggi, terutama generasi muda. Anak muda tumbuh di tengah era keterbukaan informasi di mana setiap bencana alam, kebakaran hutan, atau pencemaran laut dapat terlihat dalam hitungan detik melalui media sosial.Selain itu, kelompok akademisi, aktivis lingkungan, dan mereka yang bekerja di bidang ekologi juga memiliki risiko lebih tinggi. Hal ini karena mereka lebih sering berhadapan dengan data dan kenyataan pahit tentang degradasi lingkungan. Dalam konteks tertentu, perempuan dan masyarakat adat juga termasuk kelompok rentan karena mereka lebih sering merasakan dampak langsung dari kerusakan lingkungan terhadap kehidupan sehari-hari.Faktor lain seperti ketidakpastian ekonomi, minimnya dukungan sosial, dan pengalaman traumatis akibat bencana alam juga memperkuat risiko munculnya eco-anxiety. Kombinasi antara pengetahuan dan ketidakmampuan untuk mengubah keadaan menjadi sumber tekanan psikologis yang signifikan.Dampak Psikologis dan SosialDampak eco-anxiety tidak hanya terasa pada tingkat individu, tetapi juga sosial. Secara psikologis, individu bisa mengalami kelelahan emosional, insomnia, dan perasaan bersalah yang berulang. Secara sosial, fenomena ini dapat memunculkan sikap apatis atau bahkan sinisme terhadap upaya lingkungan.Ilustrasi menebang kayu. Foto: ANTARA FOTO/Budi Candra SetyaSebagian orang menanggapinya dengan ekstrem, seperti menolak punya anak karena merasa dunia tidak lagi layak dihuni, atau menghindari berita lingkungan sepenuhnya karena terlalu menekan. Namun, di sisi lain, ada pula yang justru menyalurkan kecemasannya menjadi tindakan positif, seperti bergabung dalam gerakan lingkungan, mengurangi konsumsi, atau mengampanyekan gaya hidup berkelanjutan.Dengan kata lain, eco-anxiety dapat menjadi titik balik: antara keputusasaan atau kesadaran baru. Arah yang diambil tergantung pada dukungan sosial, konteks budaya, dan kemampuan individu mengelola emosinya.Cara MengatasiMenghadapi eco-anxiety tidak berarti menutup mata terhadap kenyataan, tetapi menemukan cara sehat untuk berdamai dengan kecemasan ekologis. Beberapa pendekatan yang disarankan psikolog meliputi membatasi paparan berita lingkungan yang berlebihan, terlibat dalam kegiatan nyata seperti menanam pohon atau bergabung dengan komunitas lingkungan, dan mengembangkan kesadaran diri melalui refleksi atau terapi.Selain itu, penting untuk membangun rasa kolektif bahwa perubahan iklim bukan tanggung jawab individu semata, melainkan persoalan struktural yang membutuhkan kerja sama global. Dukungan dari lembaga pendidikan, media, dan pemerintah dalam menyediakan ruang dialog sehat tentang isu lingkungan juga berperan penting untuk mengurangi rasa putus asa.Kesehatan mental dan lingkungan tidak dapat dipisahkan. Dengan memahami eco-anxiety, manusia tidak hanya belajar menjaga bumi, tetapi juga belajar menjaga dirinya sendiri di tengah dunia yang terus berubah.