Pengaruh Seksisme terhadap Struktur Sosial di Jepang dan Indonesia

Wait 5 sec.

Sumber: Canva ai Image GeneratorGender dan jenis kelamin merupakan dua hal yang berbeda. Jenis kelamin merupakan alat kelamin atau reproduksi yang ada pada tubuh laki-laki dan perempuan. Sementara gender adalah pembeda antara laki-laki dengan perempuan dari segi peran, fungsi, hak, tanggung jawab, dan perilaku yang terbentuk melalui tatanan sosial, budaya dan adat yang berlaku di masyarakat. Jenis kelamin bersifat kodrati karena diciptakan langsung oleh Tuhan, sedangkan gender bersifat non kodrati karena tercipta dari proses dan hasil sosialisasi dalam sejarah yang cukup panjang. Jenis kelamin tidak dapat diubah dan selamanya akan sama, yakni laki-laki dan perempuan. Gender dapat mengalami perubahan seiring berjalannya waktu dan dapat berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.Gender pada akhirnya dibedakan menjadi dua jenis karakteristik, yakni maskulin dan feminin. Karakteristik ini sifatnya relatif, tergantung pada konteks sosial budaya masyarakat yang berlaku. Gender dapat berlangsung di dalam tatanan masyarakat karena terdapat sistem kepercayaan gender. Sistem ini percaya bahwa laki-laki sebagai makhluk yang memiliki sifat maskulin dan perempuan sebagai makhluk yang memiliki sifat feminin. Beberapa masyarakat memiliki kesamaan tentang bagaimana “seharusnya” sikap laki-laki dan perempuan ketika sedang berbicara, berlaku, dan bertindak. Pada umumnya, laki-laki dianggap sebagai pemimpin karena lebih kuat, rasional, dan mendominasi. Sebaliknya, perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah dan emosional.Karena terdapat perbedaan gender, muncul ketidakadilan di dalam tatanan masyarakat yang disebut sebagai patriarki. Budaya patriarki merupakan sebuah sistem yang mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Budaya patriarki banyak terjadi di berbagai negara, seperti Jepang dan Indonesia. Walaupun Jepang merupakan negara maju, pelaku patriarki di sana sangatlah tinggi. Dalam budaya patriarki ini, terdapat perbedaaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, yang mana laki-laki memiliki posisi lebih tinggi dibandingkan perempuan. Tugas suami berada di ranah publik, yakni bekerja dan mencari nafkah untuk keluarga. Sedangkan tugas istri berada di ranah domestik, seperti mengurus rumah, mengurus anak, dan melayani suami.Saat ini, masih banyak negara yang menerapkan sistem patriarki di dalam rumah tangganya. Ini terjadi karena patriarki didukung oleh praktik seksisme yang terus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Jepang dan Indonesia, dua negara dengan latar budaya yang berbeda, memiliki kesamaan terhadap seksisme. Kedua negara tersebut menciptakan praktik seksisme untuk menjaga budaya patriarki agar laki-laki terus mendominasi dan menempatkan perempuan di posisi subordinat. Seksisme dapat membatasi peran perempuan untuk mendapatkan hak yang setara dengan laki-laki. Karena itulah, budaya patriarki masih sangat kuat hingga sekarang. Praktik seksisme juga dapat membuat diskriminasi terhadap perempuan diterima di masyarakat dan tampak wajar karena budaya patriarki telah mengakar dalam masyarakat.Di Jepang terdapat istilah “Good wife, wise mother” yang disebut ryousai kenbo. Konsep ini sudah ada sejak zaman Meiji. Konsep ryousai kenbo dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat. Karena pada saat itu, Jepang masih menggunakan sistem ie yang dipengaruhi oleh pemikiran konfusianisme, yang menempatkan laki-laki berada di posisi tertinggi. Ryousai kenbo memandang istri sebagai pasangan yang baik untuk suami, bukan seperti sebelumnya yang menganggap bahwa pasangan suami istri sebagai hubungan budak dengan tuannya. Walaupun konsep ini telah mengangkat kedudukan perempuan, tetapi praktik ryousai kenbo tetap tidak bisa membuat perempuan berada di posisi yang setara dengan laki-laki. Adanya pemikiran konfusianisme yang mengakar kuat di dalam masyarakat Jepang membuat perempuan sulit untuk mendapat kedudukan yang setara dengan laki-laki.Selain ryousai kenbo, terdapat istilah maternity harassment atau matahara. Istilah ini merujuk pada diskriminasi yang ditujukan pada perempuan yang sedang hamil atau setelah melahirkan. Pelecehan di sini berupa pemecatan, penghentian kontrak kerja, atau memaksa mereka untuk berhenti dari peusahaan secara sukarela. Setiap tahun, ribuan perempuan Jepang dibebankan untuk memilih antara bekerja atau memiliki anak, karena memiliki anak berarti kehilangan pekerjaan mereka. Selain itu, para perempuan juga mengalami beban ganda, yang mana selain bekerja karier mereka juga harus mengurus urusan domestik. Bentuk seksisme ini tidak lagi membatasi perempuan secara eksplisit, tetapi melalui diskriminasi secara halus yang membuat perempuan kelelahan dan akhirnya memutuskan untuk kembali menjadi ibu rumah tangga, yang tugasnya hanya mengurus rumah, membesarkan anak, dan melayani suami.Di dalam Bahasa Jepang, penggunaan unsur seksisme masih sering ditemui hingga sekarang. Contohnya adalah kata shujin yang artinya suami sendiri, sedangkan untuk kata yang artinya suami orang lain menggunakan kata goshujin. Jika dilihat dari bentuk kanjinya, kata tersebut memiliki arti ‘tuan’ atau ‘majikan’. Contoh lainnya adalah bentuk kanji yome (嫁) yang artinya pengantin wanita. Dalam kanji tersebut terdapat kanji perempuan (女) dan rumah (家). Kanji tersebut merujuk bahwa perempuan yang menikah harus berada di rumah. Hal ini mencerminkan bahwa perempuan dalam bahasa sering dikaitkan dengan unsur-unsur budaya dan masyarakat yang membangun kata-kata yang digunakan dalam bahasa, teutama dalam konteks peran dan hubungan gender.Dalam Bahasa Indonesia pun tidak lepas dari unsur seksisme. Terdapat beberapa kosakata dan kalimat dalam Bahasa Indonesia yang mengandung diskriminasi. Contohnya adalah kepala keluarga dan ibu rumah tangga. Kata tersebut menganggap bahwa laki-laki lebih pantas menjadi pemimpin, sedangkan perempuan yang mengurus rumah. Dalam wacana, seksisme juga ikut membuat peran sosial sesuai jenis kelamin tertentu. Contoh kalimat “Ibu memasak di dapur” dan “Ayah membaca koran di teras” merupakan bentuk ketidakadilan gender. Kemudian, terdapat kata yang sering dilontarkan di media sosial maupun di kehidupan sehari-hari, seperti kata pelakor dan binal. Kedua kata tersebut memiliki arti yang negatif dan hanya melekat pada perempuan.Di Jepang maupun di Indonesia, seksisme menjadi salah satu faktor penghambat bagi perempuan untuk menempuh pendidikan tinggi. Praktik ini membatasi hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan. Seksisme menggangap bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena ujung-ujungnya akan “balik ke dapur”. Bahkan di beberapa wilayah, perempuan yang menempuh pendidikan tinggi dipercaya akan kesulitan mendapat jodoh karena dianggap terlalu mandiri. Seksisme dalam pendidikan inilah yang membuat budaya patriarki dapat bertahan hingga saat ini. Semakin sedikit perempuan yang berpendidikan tinggi, maka semakin sulit mereka untuk menembus ke ranah politik, ekonomi, dan hukum. Dengan demikian, patriarki akan terus berjalan dan perempuan akan selalu dirugikan.Dapat disimpulkan bahwa praktik seksisme merupakan faktor penting yang membuat budaya patriarki bisa berlangsung hingga saat ini, baik di Jepang maupun di Indonesia. Seksisme sudah mengakar kuat di dalam tatanan masyarakat, sehingga masyarakat kerap tidak menyadari bahwa perilaku tersebut merupakan bentuk seksis. Praktik ini telah melekat dalam berbagai bentuk, seperti dalam kosakata, tradisi, maupun dunia kerja. Indonesia dan Jepang merupakan salah satu contoh negara yang menjadikan seksisme sebagai wadah untuk mempertahankan posisi laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Karena itu, budaya patriarki sulit dihilangkan dari tatanan masyarakat modern. Akan tetapi, saat ini sudah banyak masyarakat yang memiliki pemikiran lebih maju dan menganggap bahwa posisi perempuan setara dengan laki-laki.