Makmur dan "Makmur": antara Data Negara dan Meja Makan Rakyat

Wait 5 sec.

Warga merapihkan barangnya di pemukiman pemulung dekat bantaran Kali Ciliwung, Jakarta, Rabu (10/9/2025). Foto: Ika Maryani/ANTARA FOTOKata makmur kerap meluncur ringan dari podium pejabat dan naskah pidato kenegaraan. Ia terdengar megah, seperti mantra pembangunan. Namun di balik keindahannya, kata itu semakin kehilangan bobot makna ketika realitas di dapur rakyat tak ikut berubah.Bagi rakyat kecil, ukuran hidup makmur itu sederhana: makan murah. Tak perlu inflasi rendah atau indeks ekonomi tinggi; cukup harga beras yang tak melompat, minyak goreng yang tak berubah-ubah, dan ongkos hidup yang tak terus menekan.Makmur versi rakyat adalah ketika kebutuhan dasar tak lagi menjadi kecemasan harian. Tapi makmur versi negara sering diukur dengan angka pertumbuhan ekonomi, nilai ekspor, atau proyek infrastruktur raksasa.Di sinilah jarak itu terbentang: antara makmur dalam tabel statistik dan "makmur" dalam kenyataan sehari-hari. Ketika pemerintah mengumumkan pertumbuhan 5 persen, banyak keluarga masih menghitung uang pas-pasan di akhir bulan.Ketika pejabat berbicara tentang resilience economy, sebagian rakyat justru sibuk mencari beras yang lebih murah di pasar malam.Makmur versi data bisa ditulis indah dalam laporan resmi, tapi "makmur" versi rakyat hanya bisa dirasakan di perut yang kenyang dan dapur yang tak kehabisan bahan masak. Negara boleh menumpuk angka, tapi rakyat menumpuk bon belanja.Kesenjangan definisi ini bukan sekadar soal semantik; ia mencerminkan arah kebijakan publik. Selama makmur hanya berarti stabilitas makro, rakyat kecil akan tetap terjebak dalam mikro-realitas yang keras.Ketika harga pangan naik, seluruh retorika pembangunan kehilangan maknanya. Apa gunanya ekonomi tumbuh bila daya beli rakyat justru menyusut?Makmur seharusnya bukan konsep elitis. Ia semestinya berwujud pada hal paling dasar dan konkret: harga yang wajar, penghasilan yang cukup, serta akses pada pendidikan dan kesehatan tanpa menambah utang. Makmur bukan slogan kampanye, melainkan napas keseharian.Negara yang benar-benar makmur bukan yang menampilkan gedung tinggi dan data indah, tapi yang memastikan setiap keluarga bisa makan tiga kali sehari tanpa rasa takut.Rakyat tak butuh istilah teknis tentang ekonomi inklusif; mereka hanya ingin nasi dan lauk di meja tak menjadi kemewahan.Selama "makmur" masih hanya kata yang diucapkan dari atas panggung, rakyat akan terus menunggu hari ketika makmur benar-benar turun ke bumi: ke pasar, ke dapur, ke meja makan mereka.***