Generasi muda yang rentan memilih untuk #KaburAjaDulu. Dok: PixabayBagi banyak anak muda hari ini, bekerja di dunia digital terlihat menjanjikan. Generasi rentan di era digital kini menjadi wajah baru di kalangan pekerja muda Indonesia.Jam kerja fleksibel, bisa dari mana saja, dan peluangnya seolah tak terbatas. Tapi di balik layar laptop dan koneksi internet yang cepat, ada realitas lain: kecemasan, ketidakpastian, dan tekanan sosial yang perlahan menggerogoti. Inilah yang disebut para pengamat sosial sebagai Generasi Rentan. Istilah ini diperkenalkan oleh Denny JA pada Agustus 2025, setelah muncul gelombang protes dari para pekerja muda di lebih dari seratus titik di Indonesia. Mereka bukan malas, bukan tidak kompeten, tetapi hidup di dalam sistem yang membuat mereka rapuh.Teknologi dan Tekanan Generasi Rentan di Era DigitalKita sering mendengar bahwa teknologi membawa kemudahan. Namun di balik kemudahan itu, justru lahir bentuk baru dari ketimpangan sosial.Bekerja di dunia digital menuntut kecepatan dan adaptasi tanpa henti. Orang muda berlomba menjadi yang paling produktif, paling kreatif, dan paling bisa bertahan.Sebuah riset dalam Frontiers in Sociology (2025) menemukan bahwa pekerja digital kerap menghadapi tekanan psikologis akibat jam kerja yang tidak jelas, minimnya kepastian upah, dan absennya perlindungan sosial.Kondisi ini memperlihatkan wajah baru stratifikasi sosial: bukan lagi antara kaya dan miskin, tetapi antara mereka yang kuat bertahan dan mereka yang hampir tumbang.Media Sosial dan Ilusi KeberhasilanDi media sosial, semua orang terlihat berhasil.Tiap unggahan menampilkan pencapaian, gaya hidup, dan kebahagiaan. Tapi di balik citra digital itu, banyak yang berjuang melawan stres, cemas, dan rasa tidak cukup.Beberapa bahkan memilih untuk “menepi”.Tagar #KaburAjaDulu sempat viral di TikTok dan X. Banyak anak muda memutuskan berhenti sementara, bukan karena menyerah, tapi karena ingin bernapas. Dari kacamata sosiologi, fenomena ini bukan sekadar pelarian, tapi bentuk protes simbolik terhadap sistem sosial yang terlalu menuntut produktivitas.Seperti diungkap Prasetiyo dan Laksono (2023), pilihan hidup nonkonvensional sering kali menjadi cara generasi muda menolak tekanan norma sosial yang kaku. Maka, keinginan untuk “kabur dulu” bisa dibaca sebagai bentuk resistensi halus terhadap tatanan yang melelahkan.Ketimpangan Baru di Dunia ModernStruktur ekonomi digital juga melahirkan bentuk ketimpangan baru.Penelitian Nababan dan Purba (2023) menunjukkan bahwa produktivitas tinggi dalam sektor digital tidak otomatis berbanding lurus dengan kesejahteraan tenaga kerja. Banyak anak muda yang terlihat “berhasil” karena bekerja di startup atau industri kreatif, tapi di baliknya, mereka hidup dalam ketidakpastian kontrak dan minim perlindungan.Rinaldo (2024) menyebut fenomena ini sebagai “kerja fleksibel yang menindas secara halus” — di mana sistem yang terlihat modern justru melanggengkan eksploitasi.Kita hidup dalam masyarakat yang menghargai efisiensi lebih tinggi dari kesejahteraan, dan hasilnya, lahirlah generasi ambisius namun kelelahan.Meski begitu, tidak semua cerita berakhir muram.Banyak anak muda yang mulai mencari keseimbangan baru — membangun komunitas dukungan mental, mengembangkan usaha sosial, atau membuat ruang refleksi bersama.Peneliti sosial Komarawati (2025) menyebut ini sebagai ketahanan sosial adaptif: kemampuan kelompok masyarakat untuk beradaptasi bersama menghadapi tekanan struktural.Ini menunjukkan bahwa meskipun rentan, generasi muda tetap punya daya untuk menciptakan perubahan — asal ada ruang, kepercayaan, dan kebijakan yang berpihak.Generasi rentan adalah cermin dari zaman kita: produktif tapi gelisah, ambisius tapi rapuh. Mereka tidak butuh simpati kosong, tapi sistem sosial yang lebih manusiawi.Karena di balik layar laptop dan notifikasi yang tak henti, ada manusia yang sedang berjuang menemukan makna — di tengah dunia yang terus bergerak terlalu cepat.