Ilustrasi membayar pajak. Foto: Shutter StockPengampunan pajak (tax amnesty) pernah menjadi terobosan pada era ketika penerimaan pajak terutama dari pendapatan yang tak terungkap terlihat sebagai tambal sulam penting bagi APBN. Program Tax Amnesty I (2016–2017) dan kemudian pengungkapan sukarela (PPS) pada 2022 memberikan suntikan likuiditas dan turut mendorong deklarasi aset yang sebelumnya tersembunyi. Namun kini, wacana tax amnesty jilid III muncul di tengah tekanan penerimaan negara, tanpa dibarengi reformasi struktural yang memadai. Potensi dampaknya jauh lebih besar daripada sekadar tambahan kas sesaat.Sinyal Moral Hazard yang Makin JelasBeberapa pejabat utama pemerintah sendiri menyatakan kekhawatirannya. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dengan tegas menolak wacana Tax Amnesty jilid III. Menurutnya, jika pengampunan pajak dilakukan berkali-kali, maka:“Kalau tax amnesty dilakukan tiap beberapa tahun, pesannya ke pembayar pajak bisa jadi begini: tidak perlu jujur, nanti juga diampuni lagi.”“Kalau amnesty berkali-kali, gimana jadinya kredibilitasnya? Itu memberikan sinyal ke para pembayar pajak bahwa boleh melanggar, nanti ke depan-depan ada amnesty lagi.”Serikat buruh pun menyuarakan kritik serupa. Presiden KSPI, Said Iqbal, menyebut tax amnesty sebagai ketidakadilan struktural:“Kami menolak tax amnesty. Masa orang ngemplang pajak diampuni, kami buruh pajaknya tetap dibebani.”Di sisi lain, Komisi XI DPR mendorong agar tax amnesty tetap dibahas dalam Prolegnas, dengan alasan bahwa pemerintah perlu memiliki instrumen yang mampu menarik wajib pajak yang belum sepenuhnya patuh. Ketua Komisi XI Misbakhun mengatakan bahwa tax amnesty bisa menjadi bagian dari visi-misi pemerintah baru.Efek pada Kepatuhan dan KeadilanPenelitian empiris di berbagai lembaga dan universitas menunjukkan bahwa tax amnesty memiliki efek positif jangka pendek terhadap deklarasi aset dan kepatuhan wajib pajak. Namun, dalam banyak kasus, efek jangka panjangnya tidak bertahan, terutama jika kepatuhan dianggap bisa ditunda karena ekspektasi akan ada pengampunan di kemudian hari. Penelitian di KPP Kanwil DJP Sumatera Utara I menemukan bahwa tax amnesty berpengaruh terhadap kepatuhan, terutama melalui peningkatan pengetahuan pajak dan kualitas pelayanan perpajakan.Penelitian lain di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jambi menemukan bahwa variabel tax amnesty berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak, meski sanksi dan pelayanan fiskus juga berperan. Namun, penelitian tersebut mengindikasikan bahwa manfaat tax amnesty bisa satu arah: jika hanya sebagai program pengampunan tanpa penegakan hukum dan sanksi, efeknya lemah.Konflik Distribusi: Si Kaya Diampuni, Si Kecil TerbebaniSalah satu kritik paling keras menyangkut keadilan: bahwa tax amnesty cenderung menguntungkan mereka yang memiliki aset besar dan mampu memanfaatkan jaringan hukum dan keuangan untuk menyembunyikan harta. Wacana bahwa “si kaya diampuni” dan “kelas bawah tetap dibebani” muncul dalam beberapa liputan media nasional.Manajer riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengungkap bahwa wacana Tax Amnesty jilid III bisa mencederai rasa keadilan wajib pajak yang telah taat:“Buat apa untuk patuh, toh ada tax amnesty lagi?”Keterbatasan Instrumen PengampunanWalau tax amnesty bisa memberikan manfaat fiskal jangka pendek, instrumen ini memiliki keterbatasan serius:Ketergantungan pada bahan baku “aset tersembunyi”: Setelah dua amnesti besar, ruang bagi aset yang belum terungkap makin mengecil. Potensi penerimaan dari pengampunan selanjutnya akan semakin rendah dan tidak efisien.Kelemahan penegakan: Jika tidak ada audit dan sanksi yang nyata bagi yang tidak ikut atau yang curang, maka moral hazard tumbuh.Biaya reputasi dan kepercayaan publik: Wajib pajak yang taat merasa diperlakukan tidak adil, dan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan bisa berkurang.Strategi Alternatif: Menyelam, Bukan Memancing di PermukaanDaripada mengandalkan tax amnesty sebagai alat rutin, berikut strategi yang lebih berkelanjutan:Penguatan pengawasan dan penegakan hukum. Audit berbasis risiko, penguatan kapasitas DJP, penggunaan data eksternal (lintas perbankan, data keuangan internasional). Misal, penelitian fiskal menunjukkan bahwa audit dan sanksi efektif meningkatkan kepatuhan PKP dalam PPN, dibandingkan surat teguran atau klarifikasi saja yang efeknya terbatas atau bahkan kontra-produktif.Penyederhanaan administrasi dan pelayanan. Banyak wajib pajak kecil dan menengah melaporkan kepatuhan terhambat oleh prosedur rumit, biaya tinggi, atau transparansi rendah. Dengan e-faktur, e-filing yang mudah, dan layanan fiskus yang responsif, kepatuhan bisa ditingkatkan tanpa perlu janji pengampunan di masa depan.Insentif fiskal produktif. Alih-alih membebaskan hukuman atas ketidakpatuhan masa lalu, pemerintah bisa menawarkan insentif bagi investasi yang memenuhi syarat transparansi dan kepatuhan—misalnya deduksi investasi, insentif fiskal untuk sektor padat karya, atau pengurangan tarif bagi usaha mikro yang taat sejak awal.Pendidikan pajak dan komunikasi publik yang jujur. Penting agar masyarakat memahami bahwa pajak bukan hanya kewajiban legal, tapi bagian dari kontrak sosial untuk membiayai layanan publik. Komunikasi yang jelas tentang sanksi, manfaat pajak, dan bahwa amnesti bukan solusi reguler sangat penting.Kebijakan hukum yang konsisten. Bila tax amnesty tetap dipertimbangkan suatu hari, ia harus dirancang sebagai skema satu kali dan bersifat luar biasa (extraordinary), dengan kepastian hukum, transparansi, dan syarat yang sangat ketat. Tidak boleh diharapkan sebagai jalan keluar rutinitas.KesimpulanTax amnesty dalam sejarah Indonesia telah memberi manfaat tertentu dalam periode tertentu. Tapi bila dijadikan opsi yang muncul berkali-kali, ia berubah menjadi pedang bermata dua: sesaat memperbaiki penerimaan negara, tetapi secara sistemik menanamkan moral hazard, melemahkan kepatuhan, dan merusak kepercayaan publik.Pemerintah dan DPR saat ini harus memilih arah: apakah akan terus mencari solusi cepat yang memancing ketidakpatuhan, atau membangun sistem perpajakan yang kuat, adil, dan berkelanjutan. Menkeu Purbaya sudah menyuarakan sikap tegas bahwa pengampunan pajak yang rutin bukanlah jawaban. Sekarang saatnya diikuti oleh langkah konkret: audit, pelayanan yang lebih baik, kebijakan insentif produktif, dan komunikasi keadilan pajak agar publik tahu bahwa membayar pajak adalah kewajiban yang terhormat, bukan beban yang ditunda.