Menerapkan pola asuh yang ideal dapat membantu anak mengurangi risiko fatherless. (Unsplash)JAKARTA – Mengasuh anak, hakikatnya adalah tugas bersama ibu dan ayah. Namun karena faktor pekerjaan orang tua, pola asuh dalam keluarga sering menuntut kompromi, sehingga anak mendapatkan pengasuhan yang ideal.Selain perceraian, ketiadaan peran ayah atau fatherless dalam pengasuhan sering juga terjadi karena faktor ekonomi. Misalnya, ayah yang terpaksa bekerja dengan jam kerja yang panjang, lebih dari 12 jam per hari, atau mereka yang harus merantau lantaran serapan kerja untuk laki-laki di daerah tempat tinggal tidak mencukupi.Situasi seperti yang disebutkan di atas memang tidak ideal untuk pengasuhan anak. Dan, ini terlihat dari wawancara Kompas dengan para orang tua tentang gambaran pola asuh anak sehari-hari.Dari wawancara kualitatif pada 13 orang tua di 12 kota besar di Indonesia, seperti Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Makassar, diketahui terdapat perbedaan cara orang tua membimbing dan mendidik anak antara ayah yang bekerja di luar kota, ayah yang bekerja di dalam kota, dan ayah ibu pekerja.Beda Pekerjaan, Beda Pola AsuhAyah berperan sebagai pencari nafkah atau pekerja, sedangkan ibu mengurus rumah tangga adalah hal yang lazim terjadi dalam struktur keluarga di Indonesia.Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2024, terdapat 72,8 juta anak atau 91,8 persen dari 79,4 juta anak di Indonesia tinggal dalam struktur keluarga dengan ayah pekerja. Dari 72,8 juta anak itu, sebanyak 11,5 juta anak atau 15,8 persen memiliki ayah yang bekerja lebih dari 60 jam per minggu.Melihat catatan tersebut, ayah bekerja lebih dari 60 jam seminggu atau lima hari kerja, berarti ayah memiliki sisa waktu interaksi dengan keluarga hanya 12 jam.Kondisi seperti ini berpotensi menghilangkan peran ayah dalam kehidupan anak atau dengan kata lain fatherless, menurut psikolog di Jakarta, Widya S Sari. Apalagi, jika ayah tidak berinteraksi dengan anak.“Gaya hidup urban dan tekanan ekonomi, khususnya warga Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), membuat jam kerja ayah jadi panjang,” ujar Widya.Ayah harus menyempatkan diri berinteraksi dengan anak di tengah kesibukannya bekerja. (Unsplash)Dengan pola kerja seperti ini, dapat digambarkan ayah yang tinggal di Jabodetabek baru tiba di rumah pukul 21.00 WIB. Di jam tersebut anak mungkin sudah tidur, dan ketika ayah berangkat kerja di pagi hari, anak belum bangun.Lain cerita dengan keluarga yang ayahnya bekerja di luar kota. Dalam situasi seperti ini, mau tidak mau peran pengasuhan sehari-hari lebih banyak dipegang ibu, sedangkan kualitas hubungan ayah anak dijaga melalui komunikasi jarrah jauh dan momen saat ayah pulang.Model long distance marriage (LDM) atau pernikahan jarak jauh seperti ini memiliki tantangan besar, tidak hanya dalam pola asuh anak, tetapi juga hubungan pernikahan.Perlu Komunikasi EfektifMenerapkan pola asuh ideal juga memiliki tantangan bagi keluarga yang tinggal satu atap, namun kedua orang tua sama-sama pekerja. Pada kondisi ini, waktu orang tua menemani anak biasanya terbatas.Berbagi peran seimbang tidaklah mudah. Dalam survei kualitatif pada psikolog yang dilakukan Kompas sepanjang Juli-Agustus lalu, menerapkan pola asuh hasil kerja sama antara ibu dan ayah paling banyak disebut untuk mengurangi risiko fatherless.Selain itu, mengedepankan pola asuh demokratis, memenuhi kebutuhan emosi, fisik, dan spiritual anak dan co-parenting (metode pengasuhan bersama untuk orang tua yang bercerai) juga menjadi pilhan.“Tidak bisa ayah hanya menyerahkan tanggung jawab kepada ibu hanya karena ibu rumah tangga yang bertanggung jawab untuk membentuk anak supaya menjadi baik. Sebab, yang namanya pola asuh adalah hasil kerja sama antara ibu dan ayah. Bagaimana peran ibu dan peran ayah bisa ditangkap oleh anak,” ujar Ella Titis, psikolog di Surabaya.Teknologi panggilan video bisa menjadi salah satu cara tetap berkomunikasi dengan anak pada ayah yang bekerja di luar kota. (Unsplash)Ella melanjutkan, perlu komunikasi efektif dengan anak setiap saat. Misalnya, ayah yang bekerja bisa berkomunikasi dengan anak di sela waktu luang.“Istilahnya tarik ulur seperti layangan. Anak jangan terlalu dikekang, tetapi juga jangan terlalu dilepas begitu. Kendali tetap ada di orangtua yang mengajarkan nilai-nilai mana yang salah dan benar,” jelas psikolog di Rumah Sakit Jiwa Menur, Surabaya, itu.Sedangkan untuk ayah pekerja yang tinggal terpisah dengan keluarga, komunikasi bisa disiasati dengan menggunakan teknologi komunikasi, misalnya melakukan panggilan video setiap ayah memiliki waktu luang. Selain itu, memberikan hadiah-hadiah kecil untuk anak juga bisa menjadi bentuk perhatian ayah.