Ikrar Setia di Tenda Pengungsian

Wait 5 sec.

Di tengah suasana kacau di tenda pengungsian, Fitrah melamar Arine. (Ilustrasi)Pertemuan di UGD itu membuka lembaran baru bagi Fitrah, yang kini bukan cuma jago investigasi, tapi juga jago tebar pesona. Nomor telepon Perawat Arine kini menjadi kontak prioritas di ponsel canggihnya. Janji ngopi itu terlaksana, dan dari sana, hubungan mereka mekar perlahan namun pasti, secepat viral berita di Kabar Kilat.Arine adalah antitesis dari dunia politik yang keras dan penuh perhitungan yang ditinggalkan Fitrah. Arine adalah ketenangan, mirip restorative justice bagi jiwa Fitrah yang penuh chaos. Di tengah kesibukannya yang mengurus nyawa orang lain, ia selalu menyempatkan diri mendengarkan cerita Fitrah tentang dunia jurnalistik, tentang idealisme, dan tentang trauma masa lalunya."Kamu terlalu keras sama diri sendiri, Fit," ujar Arine lembut suatu sore, di sebuah kafe kecil yang harga kopinya masih masuk akal. "Nggak semua orang jahat, kok. Di sini," Arine menyentuh dada Fitrah pelan, "kamu punya hati yang baik."Kata-kata Arine bagai balsam bagi Fitrah. Untuk pertama kalinya sejak skandal besar itu, Fitrah merasa benar-benar dimengerti tanpa prasangka buruk. Dia menemukan teman sejati dalam urusan hati.Namun, kebahagiaan mereka tidak datang tanpa cobaan. Dunia wartawan dan perawat adalah dua dunia yang jadwalnya sering bertabrakan, mirip dua perkara yang saling tumpang tindih. Kencan mereka seringkali terpotong oleh panggilan darurat dari rumah sakit untuk Arine, atau deadline berita mendadak yang harus diselesaikan Fitrah di Kabar Kilat.Puncaknya terjadi beberapa bulan kemudian. Banjir besar melanda kota, menyebabkan banyak korban dan kekacauan di mana-mana. Fitrah ditugaskan meliput posko pengungsian dan kondisi UGD yang penuh sesak. Di sana, ia kembali bertemu Arine, kali ini dalam balutan seragam perawat yang basah kuyup dan wajah lelah luar biasa, tapi tetap terlihat berwibawa."Arine! Kamu baik-baik saja?" Fitrah mendekat, hatinya mencelos melihat kondisi Arine."Aku harus bantu di sini, Fit. Pasien terus berdatangan," jawab Arine, suaranya parau karena kelelahan, seolah sedang memberikan kesaksian di pengadilan.Di tengah hujan lebat dan kepanikan, Fitrah melihat dedikasi luar biasa di mata Arine. Perawat itu tak kenal lelah, berlarian memberikan pertolongan pertama, menenangkan warga yang panik, dan mengatur logistik medis.Fitrah, yang sudah kenyang asam garam dunia perkara (kasus), merasa terharu dan bangga. Ia memutuskan untuk melupakan liputannya sejenak dan membantu Arine sebisa mungkin—membawakan air minum, menenangkan pasien anak-anak, apa saja yang bisa meringankan beban Arine. Job desk barunya kini; Asisten Perawat Dadakan.Malam itu, di bawah tenda pengungsian yang remang-remang, di antara tangisan bayi dan rintihan warga, Fitrah berlutut."Arine," panggilnya, tangannya memegang erat tangan Arine yang dingin. "Dunia kita memang berbeda, jadwal kita berantakan, tapi hatiku selalu tertuju padamu. Kamu adalah kedamaian yang aku cari selama ini, restorative justice permanen buat hidupku.Maukah kamu... menjadi pendamping hidupku? Status hubungan kita jadikan permanen dan inkracht (berkekuatan hukum tetap), tanpa praperadilan (sidang uji)!"Arine tertegun. Air matanya bercampur dengan rintik hujan yang masuk ke tenda. Ia tidak menyangka Fitrah akan melamarnya di tempat dan waktu seabsurd itu, di tengah chaos bencana."Ya, Fit," jawab Arine dengan isakan bahagia. "Aku mau, asal kamu janji nggak tersandung kabel laptop lagi, itu delik 'kelalaian'!"Beberapa minggu kemudian, keduanya menggelar akad nikah sederhana di salah satu Masjid pilihan Arine. Semua yang pernah jadi bagian dari drama hidup Fitrah dan Arine hadir.Bos Top datang dengan senyum paling lebar, bersalaman dengan Bu Cynthia dan seluruh tim redaksi Kabar Kilat yang hadir. Bahkan Bang Jarwo, si wartawan bodrex, datang menyelinap masuk dan mencoba meminta amplop dari panitia konsumsi sebelum akhirnya diusir dengan hormat oleh tim keamanan yang sigap.Di pelaminan, Fitrah Nusantara, sang wartawan pahlawan, menatap istrinya, Arine Yuliana sang perawat berhati lembut, dengan penuh cinta."Integritas adalah mata uang paling berharga, Fit," bisik Bos Top sambil bersulang dengan kopi (tentu saja kopi Polresta, hemat anggaran). "Dan kamu, menemukan intan berlian sejatimu di UGD yang penuh kekacauan itu, bukan di gedung DPR yang mewah."Fitrah tersenyum. Aroma tinta di kemejanya berbaur dengan aroma melati dan obat-obatan antiseptik yang entah mengapa masih tercium samar dari Arine. Babak baru hidupnya telah dimulai, kali ini bukan untuk mencari fakta atau menjatuhkan koruptor, melainkan untuk membangun sebuah keluarga, bersama cinta sejatinya yang ditemukan di tempat paling tidak terduga. (Bersambung – Ketika Integritas Diuji Bid'ah Rasa)