Yanti dan Mimpi yang Terpasung di Balik Jeruji Trauma

Wait 5 sec.

Ilustrasi wanita dengan bola rantai pasungnya. Foto: Freepik.Sudah delapan tahun lamanya usia anak saya yang keempat. Selama kurun waktu yang panjang itu, saya menyaksikan sebuah kisah yang begitu pilu, yang justru menjadi belenggu mencekam bagi seorang perempuan bernama Yanti. Perkenalan dengannya—yang saya kira akan menjadi memori indah persahabatan—ternyata menyimpan konflik batin yang sangat mengerikan.Belenggu yang mengikat Yanti bukanlah terbuat dari besi, apalagi dinginnya dinding penjara. Jeruji yang memenjarakannya jauh lebih rumit: ia lahir dari trauma masa lalu yang tidak pernah tuntas. Luka batin itu mengeras, menjelma menjadi kenyataan pahit yang perlahan-lahan merenggut potensi dan kebebasan sosok yang dulunya sangat saya kagumi.Kisah Yanti menjadi pengingat yang tajam bagi kita semua. Ia membuktikan bahwa di balik kemajuan zaman, masih ada air mata yang tumpah akibat beban yang tak terlihat. Cerita ini bukan sekadar tentang penderitaan Yanti, melainkan juga tentang bagaimana trauma yang terabaikan bisa menjadi belenggu permanen, membawanya pada takdir yang tak pernah terpikirkan: pemasungan.Dari Keheningan Lahir Sebuah HarapanSaat baru menikah, saya mulai mengenal Yanti. Ia adalah pribadi yang pendiam dan suka menolong. Namun, di balik keheningannya itu, Yanti menyimpan bakat luar biasa: ia sangat apik dalam membuat kerajinan hantaran pernikahan dari manik-manik. Setiap kali saya pulang ke kampung suami, saya selalu menyempatkan mampir ke rumahnya.Ilustrasi mengobrol dengan teman. Foto: fizkes/ShutterstockKeuletan Yanti sungguh membuat saya kagum. Meskipun hanya lulusan MTS, ia punya cita-cita besar: memiliki toko khusus hantaran sendiri. Saat bercerita tentang usahanya, mata Yanti akan berbinar. Ia bangga, "Banyak tetangga yang percaya sama Yanti," katanya saat itu.Namun, Yanti adalah sosok yang nyaris tanpa suara. Ia seperti menjaga jarak dan harus sangat hati-hati dalam memilih lawan bicara. Ia baru mau berbagi cerita jika dirasa orang itu memberikan rasa aman untuknya. Kepribadiannya yang tertutup ini selalu menarik perhatian saya.Kami butuh waktu cukup lama untuk bisa berkomunikasi dengan nyaman. Meski begitu, Yanti tidak pernah menolak kunjungan saya. Perlahan, komunikasi kami pun terjalin baik, dan sesekali kami tertawa bersama—sebuah momen kehangatan yang membuat saya semakin mengagumi sosok pekerja keras di balik kerajinan manik-manik yang indah itu.Harga Mahal Sebuah LaranganBelakangan, saya mulai memahami bahwa keheningan yang selalu menyelimuti Yanti adalah hasil dari tekanan batin yang sudah lama dan mendalam. Ia adalah anak pertama dari empat bersaudara, yang dibesarkan oleh seorang Ayah bertabiat sangat keras. Sosok Ayah inilah yang menjadi kunci utama dari segala trauma yang ditanggung Yanti.Ilustrasi trauma. Foto: ShutterstockPuncak dari tekanan itu terjadi ketika Yanti baru saja menyelesaikan sekolah MTS. Saat itu, ia menyimpan keinginan kuat dan harapan besar untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sayangnya, harapan itu harus pupus di tangan ayahnya sendiri.Ayahnya melarang keras dengan alasan yang menyakitkan: biaya sekolah harus lebih diutamakan untuk adik-adiknya. Keputusan sepihak yang disampaikan dengan cara keras itu—ditambah memori kelam dari masa kecilnya—menjadikan Yanti sosok yang memilih menyimpan luka dalam diam. Suaranya seolah ditarik paksa dari dirinya, meninggalkan bekas yang mendalam.Saat itulah saya sadar, luka batin yang tak terucapkan itu menjadi benang tak kasat mata dalam hidupnya. Luka itulah yang selama ini ia coba sembunyikan, bahkan ia coba "sembuhkan" dengan keuletan dan fokusnya dalam merangkai manik-manik hantaran yang indah.Saat Dunia Menjadi AsingSampai suatu ketika, saat saya datang kembali ke kampung suami, saya mendapati rumah Yanti sepi. Jendela-jendela tertutup dan tidak ada tanda-tanda aktivitas merangkai manik-manik hantaran yang biasa dilakukannya. Saya tentu saja merasa kaget.Ilustrasi anak membuat gelang manik-manik. Foto: Mouse family/ShutterstockKabarnya, Yanti sudah berhenti dari usaha kerajinan tangannya. Ia pindah bekerja ke Bandung, konon untuk membantu saudaranya di sana. Saya berharap kepergiannya adalah awal yang baik—sebuah kesempatan bagi Yanti untuk menggapai mimpinya memiliki toko sendiri, jauh dari tekanan masa lalu yang membelenggunya.Namun, beberapa bulan kemudian, kabar buruk itu datang, seperti sambaran petir di siang bolong. Yanti sudah kembali dari Bandung. Ia memang kembali ke rumah, tetapi kondisinya telah berubah drastis, baik secara fisik maupun mental.Kabar paling menyakitkan menusuk hati saya: Yanti sudah tidak mengenali saya lagi. Sosok lembut yang pernah saya kenal dengan keuletannya itu kini telah menjadi asing. Seluruh kehangatan yang dulu pernah kami bagi seolah terhapus begitu saja dari ingatannya.Sayangnya, saya tidak sempat melihat langsung perubahan mengerikan tersebut. Saya hanya mendengar cerita dari orang-orang, sebuah kisah yang membuat hati teriris, menyadari bahwa titik balik dalam hidupnya ternyata bukanlah awal yang baru, melainkan sebuah penurunan drastis menuju tragedi.Tragedi Pemasungan di Era ModernIlustrasi kesepian. Foto: Shutter StockYang paling memilukan, saya mendengar kabar bahwa Yanti kini dipasung di rumahnya. Orang tuanya terpaksa memasukkannya ke dalam jeruji kayu, konon demi keselamatan keluarga dan Yanti sendiri, karena terkadang ia bersikap agresif.Sungguh hati ini teriris. Awal-awal pemasungan, saya sempat mendengar teriakan pilunya yang menyayat. Hati saya hancur. Saya tak percaya, praktik pemasungan, yang saya pikir sudah musnah di era modern, ternyata masih ada—tepat di depan mata sendiri—tanpa saya mampu berbuat apa-apa.Keluarga memang sudah berikhtiar membawa Yanti berobat ke rumah sakit jiwa. Ada masanya ia terlihat normal, tetapi kemudian berubah drastis lagi. Saya tidak berhak menghakimi keputusan orang tuanya, tetapi sulit sekali menerima kenyataan bahwa di masa sekarang ini masih ada wanita yang harus dipasung.Kondisi Yanti, menurut informasi, sangat memprihatinkan. Sesekali terlihat ia tidak mau dimandikan lagi, rambutnya sudah sangat gimbal dan kotor, menyerupai punuk unta. Yanti, sang perangkai harapan, kini terbelenggu. Ia menjadi monumen bisu atas kegagalan kita dalam menyembuhkan luka batin masa lalu, membiarkan potensi seorang perempuan hebat dipasung di balik trauma yang tak tertangani.