Saat Emosi Mengalahkan Logika dalam Mengatur Keuangan

Wait 5 sec.

Ilustrasi mengatur keuangan Foto: ShutterstockDalam banyak keputusan finansial, kita sering membayangkan diri sebagai individu rasional yang mampu menimbang untung-rugi secara objektif. Kenyataannya, berbagai studi dalam behavioural finance menunjukkan bahwa manusia justru lebih sering bertindak berdasarkan dorongan emosi dan persepsi subjektif daripada logika ekonomi. Fenomena ini terlihat jelas dalam berbagai pilihan keuangan sehari-hari, mulai dari belanja impulsif hingga keputusan investasi yang tidak selalu tepat.Salah satu contoh yang paling dekat terlihat pada kultur belanja online, terutama saat promo besar atau flash sale tengah malam. Keputusan membeli sering kali didorong oleh rasa takut ketinggalan (FOMO), bukan kebutuhan nyata. Tanpa disadari, kita mengambil keputusan transaksi hanya karena khawatir orang lain mendapat keuntungan yang tidak kita dapatkan. Pada titik ini, logika sudah mundur jauh dan digantikan oleh dorongan emosional yang sesaat.Hal serupa juga tampak dalam confirmation bias, yaitu kecenderungan memilih informasi yang mendukung keinginan kita, sambil mengabaikan informasi yang bertentangan. Ketika hendak membeli gadget baru atau memilih instrumen investasi, kita cenderung mencari ulasan yang memperkuat keputusan yang sudah kita inginkan sejak awal. Sementara itu, kritik atau peringatan yang mungkin bermanfaat justru diabaikan. Akibatnya, keputusan yang diambil tidak lagi objektif, tetapi sekadar pembenaran diri.Ilustrasi investasi. Foto: ShutterstockPerilaku ikut-ikutan atau herding behaviour semakin memperkuat dinamika ini. Ketika suatu tren investasi sedang viral, banyak orang merasa perlu ikut berpartisipasi meski belum memahami risiko maupun mekanismenya.Pada akhirnya, keputusan finansial berubah menjadi reaksi sosial: kita membeli bukan karena memahami, melainkan karena melihat orang lain melakukannya. Fenomena ini sering memicu gelembung spekulatif dan penyesalan di kemudian hari.Tidak kalah penting adalah kecenderungan loss aversion, yaitu rasa takut rugi yang jauh lebih dominan daripada rasa senang ketika memperoleh keuntungan. Banyak orang menahan aset yang nilainya terus menurun dengan harapan akan kembali ke harga semula. Padahal dalam banyak kasus, penurunan tersebut bersifat fundamental dan tidak akan pulih. Ketakutan untuk mengakui kerugian membuat keputusan finansial justru semakin merugikan.Ilustrasi mengatur finansial. Foto: Shutter StockMeski demikian, memahami pola-pola ini bukan berarti kita harus menyingkirkan emosi dari seluruh keputusan finansial. Emosi adalah bagian dari manusia dan sepenuhnya tidak dapat dihapus. Yang lebih realistis dan penting adalah menyadari bahwa emosi memiliki pengaruh kuat, sehingga kita dapat mengelolanya dengan lebih bijak.Membuat perencanaan anggaran, memberi jeda sebelum melakukan transaksi besar, serta menghindari keputusan saat sedang emosional adalah beberapa langkah sederhana yang dapat membantu meningkatkan kualitas keputusan finansial.Pada akhirnya, behavioural finance mengingatkan kita bahwa pengelolaan keuangan bukan sekadar soal angka, grafik, atau strategi investasi, melainkan juga tentang memahami diri sendiri. Ketika kita bisa mengenali bias dan kecenderungan psikologis yang memengaruhi keputusan, kita punya peluang lebih besar untuk membangun hubungan yang sehat dengan uang—lebih terencana, lebih tenang, dan tidak mudah terseret arus emosi sesaat.