Mencari Makna Cinta

Wait 5 sec.

Ilustrasi wisatawan traveling di alam Foto: Shutter StockKetika kita menengok kembali masa kanak-kanak, terutama bagi mereka yang tumbuh pada era 80–90-an, kenangan yang muncul biasanya berkaitan dengan persahabatan yang alami dan tanpa perhitungan. Anak-anak bermain tanpa layar, tanpa algoritma, tanpa rasa curiga tentang masa depan. Persahabatan tumbuh dari pengalaman fisik yang sederhana—berlari di lapangan, memanjat pohon, mencari buah, atau sekadar duduk bersama di bawah pohon sambil menertawakan sesuatu yang kini mungkin tampak remeh. Pengalaman itu membentuk cara kita memahami cinta persahabatan, atau philía, sebagaimana dibahas dalam dialog Platon berjudul Lysis.Dalam Lysis, Socrates berbicara dengan dua anak muda, Lysis dan Menexenus, tentang hakikat cinta persahabatan. Salah satu kutipan penting yang muncul dalam dialog itu adalah ketika Socrates mengatakan, Kita mencintai sesuatu bukan karena ia sekadar milik kita, tetapi karena kita menganggapnya sebagai kebaikan bagi diri kita.” Kutipan ini menegaskan bahwa cinta bukan sekadar rasa suka, melainkan daya tarik jiwa menuju sesuatu yang dianggap baik. Cinta terjadi ketika ada rasa kurang, karena menurut Socrates, “Yang mencintai adalah mereka yang belum memiliki kebaikan itu, dan karena itu ia mencarinya.” Dengan demikian, cinta adalah gerak jiwa menuju pemenuhan, bukan sekadar perasaan sesaat.Pemahaman ini menjadi lebih relevan ketika kita melihat kondisi dunia modern yang penuh dengan keterputusan sosial. Interaksi sering kali terjadi melalui layar, keintiman berubah menjadi simbol digital, dan kedekatan emosional sering terasingkan oleh kecepatan informasi. Anak-anak sekarang lebih banyak menghabiskan waktu dengan gawai, terpisah dari ruang-ruang fisik yang dahulu menjadi laboratorium alami bagi tumbuhnya persahabatan. Ruang sekolah dengan sistem full day dan lingkungan permukiman yang individualistis mempersempit kesempatan mereka untuk merasakan relasi yang tumbuh secara organik. Dalam konteks inilah pemikiran Platon memberi kita kacamata untuk membaca perubahan zaman.Kita dapat merasakan makna cinta secara lebih tajam ketika menengok krisis kemanusiaan dan ekologis yang terjadi di Sumatra baru-baru ini. Pada akhir November 2025, serangkaian banjir bandang dan tanah longsor melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Data menunjukkan bahwa ratusan orang meninggal dunia dan jutaan warga terdampak sehingga harus mengungsi sementara rumah dan infrastruktur rusak berat. Seorang pakar dari Universitas Gadjah Mada menjelaskan bahwa salah satu penyebab memburuknya dampak bencana tersebut adalah degradasi hutan di wilayah hulu daerah aliran sungai. Hutan yang semestinya menjadi penyangga alami air telah rusak, menyebabkan curah hujan ekstrem langsung berubah menjadi banjir besar. Sejumlah laporan lain juga menyoroti praktik pertambangan dan deforestasi sebagai faktor yang memperparah situasi.Pantauan udara pasca banjir bandang. Sumber: Galeri Foto Kumparan.comJika kita menghubungkan situasi ini dengan pemikiran Platon, bencana alam tersebut dapat dilihat sebagai gambaran kehilangan kebaikan pada skala kolektif. Socrates mengatakan bahwa cinta muncul dari ‘kekurangan’, dan dalam konteks ini, alam menunjukkan kekurangan itu dengan sangat nyata—kehilangan tutupan hutan, hilangnya keseimbangan ekologis, serta hilangnya kepedulian manusia terhadap lingkungan. Bencana membuka ruang refleksi yang tajam: kita mencintai karena kita merindukan kebaikan yang hilang, dan dalam relasi dengan alam, kita pun merindukan tatanan yang pernah ada dan kini rusak oleh ulah manusia.Di tengah bencana, makna cinta dan persahabatan justru menjadi lebih terang. Ketika air bah melanda desa-desa, ketika rumah-rumah hanyut dan jalan-jalan terputus, manusia dipaksa kembali pada bentuk relasi yang paling mendasar—saling menolong, saling menopang, dan hadir bagi satu sama lain. Persahabatan, dalam konteks ini, tidak lagi berupa interaksi ringan sehari-hari, melainkan sebuah jembatan emosional dan moral antara keputusasaan dan harapan. Inilah bentuk cinta yang dimaksud Socrates: cinta yang tidak berhenti pada kata-kata manis, tetapi bergerak menuju kebaikan yang memulihkan.Socrates juga berbicara tentang keselarasan jiwa, bahwa kita mencintai sesuatu karena kesamaan dan kecocokan batin. Dalam bencana, kesamaan itu muncul bukan dari karakter atau hobi seperti pada masa kanak-kanak, tetapi dari kerentanan bersama. Manusia tiba-tiba menyadari bahwa mereka saling membutuhkan—bukan karena lemah, melainkan karena demikianlah kondisi manusia: rapuh namun sekaligus mampu menghadirkan kebaikan ketika keadaan memaksanya. Nilai-nilai philía tumbuh bukan dari kenyamanan, tetapi dari kesadaran bahwa kehidupan hanya mungkin bertahan ketika dijalani bersama.Namun cinta dan persahabatan tidak berhenti pada solidaritas sesaat. Platon mengarahkan kita untuk melihat cinta sebagai pencarian aktif terhadap kebaikan. Jika kita benar-benar mencintai sesama dan mencintai alam—sebagaimana kita mencintai sahabat—maka menjaga lingkungan bukan hanya urusan teknis atau politik, melainkan manifestasi dari cinta itu sendiri. Dengan kata lain, tindakan melestarikan hutan, mengawasi praktik pertambangan, atau mendidik generasi muda tentang ekologi adalah bagian dari ekspresi cinta yang lebih besar.Krisis di Sumatra menegaskan bahwa persahabatan antara manusia dan alam harus dibangun seperti persahabatan antar manusia—dengan pemahaman, perhatian, dan komitmen. Jika persahabatan dapat menyembuhkan luka batin, maka kepedulian terhadap alam dapat menyembuhkan luka ekologis. Namun upaya pemulihan membutuhkan lebih dari sekadar niat baik; ia membutuhkan kesadaran etis sebagaimana diajarkan Platon. Bahwa cinta yang sejati tidak hanya memikirkan kepentingan diri, melainkan mengarahkan diri pada kebaikan yang lebih besar.Bantuan kemanusiaan dari berbagai pihak. Sumber: Galeri Foto Kumparan.comKetika kita mengenang kembali masa kanak-kanak, kita sebenarnya sedang mengingat bagaimana cinta bekerja tanpa kita sadari. Kita mencintai teman bermain bukan karena mereka sempurna, tetapi karena bersama mereka kita merasa lengkap. Begitu pula dengan alam: kita mencintainya karena ia memberi kita kehidupan, udara, air, dan keindahan.Ketika alam rusak, kita kehilangan bagian dari diri kita sendiri. Banjir dan longsor bukan sekadar peristiwa fisik, melainkan tanda bahwa relasi kita dengan alam sedang retak dan perlu diperbaiki.Dalam semangat Lysis, cinta adalah gerak menuju kebaikan. Cinta pada sesama membuat kita ingin menolong mereka dalam bencana. Cinta pada alam membuat kita ingin menjaganya agar bencana tidak berulang. Cinta pada kebijaksanaan membuat kita merenungkan apa yang hilang dan bagaimana memperbaikinya. Pada akhirnya, cinta bukanlah perasaan yang datang dan pergi, melainkan usaha terus-menerus untuk menghadirkan kebaikan—baik bagi manusia maupun bagi dunia yang menjadi rumah bersama.