Hamparan batang kayu gelondongan yang hanyut pasca banjir di Sumatera sebagai bukti alam tak pernah bohong (Foto:Kumparan.com)Banjir tak hanya meninggalkan lumpur, rumah rusak, dan korban jiwa. Ia juga mengungkap hal-hal kecil yang berbicara keras. Kayu gelondongan yang hanyut dan pada banyak batangnya tertulis angka, huruf, atau ditempel stiker seperti kode produksi. Sepintas sepele, tapi benda-benda itu layaknya surat-surat kecil yang ditulis oleh hulu, menandakan ada yang salah di sana.Air Sebagai Pembawa BuktiSungai selalu jujur. Ketika arus membawa barang dari hulu ke hilir, apa yang ditemukan di tepinya adalah potongan cerita tentang aktivitas manusia di hutan, bukan sekadar "sisa alam". Kayu yang diberi nomor atau stiker jelas pernah melalui proses: ditebang, diberi tanda, dan masuk ke dalam rantai produksi atau setidaknya disentuh oleh pihak yang punya kepentingan.Kalau kayu itu benar-benar berasal dari kawasan produksi yang sah, mengapa bisa tercecer dan hanyut sampai ke pemukiman? Kalau kayu itu ilegal, mengapa diberi identitas nyata atau palsu yang membuatnya tampak resmi? Dua pertanyaan ini tak bisa dibiarkan cuma menjadi desas-desus di warung kopi.Publik harus menerima kenyataan: ada dua narasi utama yang layak diselidiki. Pertama, kelalaian pengelolaan. Kayu legal tapi penanganannya amburadul: penumpukan log dekat sungai, kurangnya pengamanan saat musim hujan, atau praktik distribusi yang memanfaatkan aliran sungai. Ini bukan sekadar kesalahan teknis; nyawa dan rumah warga dipertaruhkan ketika pengelolaan hutan malu-malu diatur.Kedua, pembalakan ilegal yang “disamarkan". Modusnya familiar: kayu-Ilegal diberi stiker atau kode palsu agar terlihat tercatat. Jika ini benar, temuan kayu bernomor adalah bukti fisik penting indikator rantai kejahatan yang merusak ekosistem sekaligus menggusur kepercayaan publik terhadap pengelolaan sumber daya alam.Angka Bukan Sekadar AngkaBagi aparat dan perusahaan, angka pada kayu adalah bagian dari administrasi. Bagi warga yang kehilangan rumah, angka itu menjadi titik tanya yang menyayat: siapa yang menebang? kemana kayu itu seharusnya berada? siapa bertanggung jawab atas bahaya yang muncul?Angka dan stiker pada kayu adalah jejak digital versi analog. Mereka memungkinkan penelusuran asalkan ada komitmen transparansi. Tanpa itulah, masyarakat hanya menerima narasi parsial dan spekulasi.Pemerintah dan perusahaan: buka data, hentikan spekulasi. Dalam momen seperti ini, diam dari pihak berwenang bukan kebijakan yang aman, ia justru memperbesar ruang kecurigaan. Pemerintah daerah dan pusat memiliki kewajiban untuk memberi jawaban cepat dan jelas: lacak asal kayu berdasarkan kode yang tertera, jelaskan mekanisme penandaan kayu yang berlaku di daerah tersebut, ungkap apakah ada pelanggaran tata kelola atau kelalaian di lapangan, dan libatkan masyarakat, akademisi, dan LSM lingkungan dalam verifikasi.Identifikasi semacam ini bukan perkara menuduh secara prematur; itu soal akuntabilitas. Bila penelusuran menunjukkan kegagalan pengawasan, harus ada tindak lanjut administratif dan hukum. Bila menunjukkan praktik ilegal, aparat penegak hukum wajib menindak tegas.Reformasi KehutananTemuan kayu bernomor harus dimanfaatkan menjadi pintu masuk reformasi: audit konsesi, revisi praktik penyimpanan dan distribusi log, serta penguatan pengawasan musim hujan. Pemerintah perlu memperbarui standar keamanan operasional di konsesi agar log tak lagi menjadi bom waktu yang mengancam hilir.Di tingkat lokal, pemberdayaan masyarakat pesisir dan aliran sungai untuk mengawasi praktik penebangan bisa menjadi opsi nyata. Keterlibatan warga setempat tidak hanya meningkatkan pengawasan, tapi juga menumbuhkan rasa kepemilikan atas ruang hidup mereka.Kayu gelondongan dengan angka dan stiker itu bukan sekadar barang hanyut. Ia adalah bukti hidup bahwa hubungan kita dengan hutan tengah terganggu oleh praktik pengelolaan yang lemah, atau oleh aktor yang mengejar keuntungan dengan mengorbankan lingkungan.Jika negara dan korporasi memilih menutup mata, maka alam akan terus memberi peringatan yang suatu hari bisa jauh lebih keras dari kayu terapung. Pilihan yang tersisa sekarang sederhana: bersikap responsif dan transparan atau meneruskan kebiasaan yang kelak menghantarkan kita pada bencana yang lebih besar. Warga berhak tahu; alam tidak layak dibisukan.