Sekolah Menciptakan Kasta: Sekolah Swasta Mahal vs Sekolah Negeri yang Bobrok

Wait 5 sec.

Dok: AISepupu saya baru saja lulus SD Negeri di kampung kami. Fasilitasnya? Toilet rusak, perpustakaan tidak ada, laboratorium komputer hanya ada dua unit PC untuk 200 siswa. Guru sering tidak masuk karena harus ngurus administrasi di kabupaten. Ekstrakurikuler? Kosong. Anak-anak pulang jam 12 siang karena guru piket tidak datang. Sementara itu, anak tetangga kami yang sekolah di SD Swasta premium di kota besar punya AC di setiap kelas, lab komputer dengan 30 unit, guru native speaker untuk bahasa Inggris, bahkan ada kolam renang dan lapangan futsal. Biaya bulanannya? Rp5 juta. Adik saya? Gratis, tapi dapat apa?Inilah realitas pendidikan Indonesia tahun 2025: kualitas sekolah ditentukan oleh dompet orang tua. Anak dari keluarga mampu bersekolah di swasta mewah dengan fasilitas setara sekolah internasional. Anak dari keluarga miskin bersekolah di negeri yang fasilitasnya minim, guru kekurangan, dan infrastrukturnya bobrok. Sistem pendidikan kita bukan lagi alat mobilitas sosial—ia justru menjadi mesin reproduksi ketimpangan kelas sejak usia dini.Jean Anyon dan Reproduksi Kelas Sosial Lewat SekolahJean Anyon, sosiolog pendidikan Amerika Serikat, dalam penelitiannya yang terkenal Social Class and the Hidden Curriculum of Work (1980) menemukan bahwa sekolah di lingkungan kelas pekerja mengajarkan anak untuk patuh dan mengikuti instruksi, sementara sekolah di lingkungan kelas atas mengajarkan anak untuk berpikir kritis, kreatif, dan memimpin. Sekolah bukan tempat netral—ia adalah institusi yang mereproduksi struktur kelas sosial dari generasi ke generasi.Di Indonesia, reproduksi kelas ini dimulai sejak SD. Anak kaya yang bersekolah di swasta premium mendapat pendidikan berbasis teknologi, pembelajaran aktif, rasio guru-siswa 1:20, dan fasilitas lengkap yang mendukung eksplorasi bakat. Mereka diajarkan untuk percaya diri, berpresentasi, berdiskusi, dan memimpin—soft skills yang sangat dibutuhkan di dunia kerja masa depan.Sementara itu, anak miskin yang bersekolah di negeri di daerah terpencil hanya mendapat pembelajaran satu arah dari guru yang kewalahan mengajar 40-50 siswa dalam satu kelas. Mereka diajarkan untuk mendengarkan, mencatat, dan menghafalkan—bukan berpikir kritis atau berkreasi. Fasilitas minim, guru sering absen, dan infrastruktur bobrok membuat mereka tidak punya kesempatan yang setara untuk berkembang.Data BPS tahun 2023 mencatat jumlah sekolah swasta di Indonesia mencapai lebih dari 57 ribu sekolah dari jenjang SD hingga SMA. Di beberapa provinsi seperti Jawa Barat, sekolah swasta bahkan mendominasi jumlah jenjang SMP dan SMA. Ironisnya, tidak semua sekolah swasta berkualitas—yang berkualitas adalah yang mahal, yang hanya bisa diakses oleh keluarga kelas menengah atas.Segregasi Kelas Sejak DiniYang paling berbahaya dari sistem ini adalah segregasi kelas sejak usia dini. Anak-anak kaya dan miskin tidak bertemu di sekolah yang sama. Mereka tidak punya kesempatan untuk saling mengenal, saling belajar, atau memahami realitas hidup yang berbeda. Anak kaya tumbuh di lingkungan yang homogen—teman-temannya sama-sama kaya, orang tuanya sama-sama punya privilege, dan mereka tidak pernah melihat langsung bagaimana anak miskin berjuang untuk sekolah.Sebaliknya, anak miskin tumbuh dengan perasaan inferioritas. Mereka tahu bahwa ada sekolah yang lebih baik di luar sana, tapi mereka tidak punya akses ke sana. Mereka melihat di media sosial bagaimana anak-anak sekolah swasta punya fasilitas keren, guru berkualitas, dan kegiatan seru—sementara mereka harus puas dengan apa yang ada. Lama-kelamaan, mereka tidak lagi bermimpi untuk setara. Mereka menerima posisi mereka sebagai "anak kelas dua" yang memang tidak punya hak untuk mendapat pendidikan berkualitas.Guru Honorer dan Ketidakadilan StrukturalKetimpangan ini diperkuat oleh sistem kepegawaian guru yang juga tidak adil. Sekolah negeri, terutama di daerah terpencil, banyak yang mengandalkan guru honorer dengan gaji Rp300 ribu hingga Rp500 ribu per bulan—jauh di bawah UMR. Dengan gaji segitu, bagaimana mungkin guru bisa fokus mengajar dengan baik? Mereka harus kerja sampingan untuk bertahan hidup. Hasilnya, kualitas pengajaran menurun, siswa dirugikan, dan siklus kemiskinan terus berputar.Sementara itu, sekolah swasta premium bisa merekrut guru berkualitas tinggi dengan gaji kompetitif, bahkan mendatangkan guru native speaker dari luar negeri. Rasio guru-siswa di sekolah swasta premium bisa 1:15 atau bahkan 1:10, sehingga setiap siswa mendapat perhatian personal. Di sekolah negeri? Rasio bisa 1:40 atau lebih, membuat pembelajaran tidak efektif.Pemerintah Gagal Meratakan KualitasPresiden Prabowo pada Hari Pendidikan Nasional 2025 menyebutkan bahwa ada anggaran Rp17 triliun untuk memperbaiki sarana dan prasarana sekolah. Tapi anggaran sebesar itu hanya cukup untuk memperbaiki 11 ribu sekolah dari ratusan ribu sekolah yang ada di Indonesia. Artinya, mayoritas sekolah negeri masih akan tetap bobrok dalam waktu dekat.Lebih parah lagi, program-program pemerintah seperti Merdeka Belajar atau Sekolah Penggerak seringnya hanya menjangkau sekolah-sekolah tertentu yang sudah relatif baik—bukan sekolah di daerah terpencil yang paling membutuhkan. Kebijakan pendidikan kita lebih banyak retorika daripada aksi nyata yang menyentuh akar masalah: ketimpangan akses dan kualitas.Sebagai mahasiswa Pendidikan Sosiologi, saya sering observasi ke sekolah-sekolah dalam rangka tugas kuliah. Saya pernah ke SD Negeri di desa dan SD Swasta premium di Jakarta. Perbedaannya? Luar biasa mencolok. Di SD Negeri, anak-anak duduk di bangku kayu yang sudah rusak, papan tulis masih pakai kapur, buku pelajaran harus pinjem dari kakak kelas karena tidak cukup. Di SD Swasta, setiap siswa punya iPad, kelas full AC, smart board interaktif, bahkan ada maker space untuk robotik dan coding. Ini bukan sekolah di planet yang berbeda—ini sekolah di negara yang sama, tapi perlakuannya beda karena dompet orang tuanya beda. Dan kita masih heran kenapa gap antara kaya dan miskin makin lebar?Pendidikan atau Reproduksi Ketimpangan?Pendidikan seharusnya menjadi alat mobilitas sosial, bukan reproduksi ketimpangan kelas. Tapi sistem pendidikan Indonesia saat ini justru memperkuat gap antara kaya dan miskin sejak usia dini. Anak kaya dapat pendidikan berkualitas di sekolah swasta mewah, anak miskin dapat pendidikan alakadarnya di sekolah negeri bobrok. Dan gap ini akan terus terbawa sampai mereka dewasa—anak kaya jadi pemimpin, anak miskin jadi pekerja.Jika kita benar-benar ingin memutus siklus kemiskinan, maka harus dimulai dari memastikan semua anak—tanpa memandang latar belakang ekonomi—mendapat pendidikan berkualitas yang sama. Bukan sekolah yang menciptakan kasta, tapi sekolah yang menghapus kasta.Karena pada akhirnya, masa depan bangsa ini tidak ditentukan oleh seberapa mewah sekolah anak orang kaya, tapi seberapa layak sekolah anak orang miskin. Dan selama kita membiarkan ketimpangan ini terus terjadi, kita sedang mempersiapkan generasi yang terpecah sejak lahir—bukan generasi emas yang kita impikan.