Gambar ini menggambarkan kritik terhadap pernikahan dini melalui pasangan remaja dan simbol globalisasi serta pendidikan.Di buat oleh penulis dan dibantu oleh AIPernikahan dini masih menjadi fenomena sosial yang banyak ditemukan di berbagai belahan dunia, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Meskipun dianggap sebagai bagian dari tradisi dan norma budaya, praktik ini semakin disorot dalam era globalisasi yang membawa perubahan besar dalam cara masyarakat memandang pendidikan, kesehatan, dan hak-hak anak. Perkembangan teknologi informasi dan keterbukaan global membuat masyarakat lebih kritis terhadap praktik pernikahan dini yang dinilai dapat menghambat pembangunan sumber daya manusia.Secara historis, pernikahan dini berakar dari berbagai faktor sosial dan budaya. Banyak keluarga menikahkan anaknya pada usia muda karena alasan ekonomi, keinginan menjaga kehormatan, atau kekhawatiran terhadap pergaulan bebas. Di beberapa daerah, menikah pada usia remaja dianggap lazim dan tidak menyalahi norma. Tradisi ini diwariskan turun-temurun, sehingga sulit diubah dalam waktu singkat. Namun, globalisasi membawa nilai dan perspektif baru yang menekankan pentingnya hak anak dan perkembangan individu, sehingga praktik lama ini mulai dipertanyakan.Masuknya era globalisasi menghadirkan arus informasi yang semakin terbuka. Remaja kini memiliki akses luas terhadap pendidikan dan internet, sehingga mereka lebih memahami risiko pernikahan dini dibanding generasi sebelumnya. Selain itu, lembaga internasional seperti UNICEF, WHO, dan UNFPA turut memberikan perhatian khusus terhadap praktik ini karena dampaknya yang signifikan terhadap perkembangan fisik, psikologis, dan sosial anak. Sorotan global inilah yang kemudian mempengaruhi kebijakan di banyak negara, termasuk Indonesia, untuk memperketat batas usia minimal pernikahan.Salah satu dampak terbesar pernikahan dini terlihat pada aspek kesehatan. Remaja perempuan yang hamil di usia terlalu muda memiliki risiko kesehatan lebih tinggi, seperti anemia, preeklamsia, hingga komplikasi persalinan yang dapat berujung pada kematian ibu dan bayi. Secara biologis, tubuh remaja belum siap menghadapi beban kehamilan dan persalinan. Situasi ini menjadi salah satu alasan kuat mengapa pernikahan dini dipandang berbahaya dalam perspektif medis.Dari sisi psikologis, pasangan yang menikah muda sering kali belum siap secara emosional menghadapi dinamika rumah tangga. Tekanan mengurus keluarga, perbedaan karakter, hingga kesulitan ekonomi dapat memicu konflik yang berujung pada ketidakstabilan mental. Banyak penelitian menunjukkan bahwa tingkat perceraian pada pasangan yang menikah di usia muda cenderung lebih tinggi karena kurangnya kematangan emosional dan kemampuan komunikasi.Dampak lainnya terlihat dalam bidang pendidikan dan ekonomi. Banyak anak yang menikah dini terpaksa berhenti sekolah, sehingga kesempatan mereka untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi menjadi tertutup. Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan terbatasnya akses pekerjaan yang layak. Pada akhirnya, keluarga yang terbentuk dari pernikahan dini lebih rentan menghadapi kemiskinan. Lingkaran masalah ini kemudian menurun ke generasi berikutnya, menciptakan siklus kemiskinan yang sulit diputus.Dalam konteks era globalisasi, pernikahan dini juga dinilai tidak sejalan dengan tuntutan dunia modern yang membutuhkan sumber daya manusia berkualitas. Generasi muda seharusnya memiliki waktu untuk mengembangkan potensi diri melalui pendidikan dan keterampilan agar dapat berkontribusi dalam pembangunan nasional. Pernikahan yang terlalu dini dapat menghambat proses pengembangan ini.Untuk mengatasi persoalan tersebut, berbagai langkah strategis telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Pendidikan mengenai kesehatan reproduksi menjadi salah satu kunci utama. Remaja perlu dibekali pengetahuan tentang risiko pernikahan dan kehamilan dini agar dapat mengambil keputusan yang lebih bijak. Selain itu, pemerintah perlu memperkuat regulasi usia minimal pernikahan serta memperketat pemberian dispensasi dalam kasus tertentu.Peran keluarga dan tokoh masyarakat juga sangat penting. Mereka harus diberi pemahaman bahwa masa remaja adalah fase pertumbuhan yang tidak boleh dipercepat dengan beban pernikahan. Media sosial sebagai bagian dari globalisasi juga dapat dimanfaatkan untuk kampanye edukatif yang menarik dan mudah dipahami remaja.Pada akhirnya, tradisi pernikahan dini perlu dilihat secara lebih kritis dalam era globalisasi. Meskipun memiliki akar budaya, praktik ini membawa konsekuensi panjang bagi kesehatan, pendidikan, dan masa depan generasi muda. Dengan sinergi antara pemerintah, keluarga, dan masyarakat, pernikahan dini dapat ditekan sehingga tercipta generasi yang lebih sehat, berpendidikan, dan siap menghadapi tantangan zaman.