Fitrah kembali ke kantor redaksi Kabar Kilat. (Ilustrasi)Fitrah mengirim pesan keramat itu dengan keteguhan hati. Dia tahu konsekuensinya; dia akan menjadi musuh dalam selimut, dianggap pengkhianat oleh partai yang merekrutnya (yang katanya reformis, tapi baperan), dan mungkin menghadapi risiko yang lebih besar daripada sebelumnya. Tapi kedamaian nurani jauh lebih mahal dari jatah kursi di Senayan.Bos Top membalas pesannya singkat, padat, dan jleb: “Redaksi menunggumu kembali, Fit. Jangan kecewakan kami lagi.”Fitrah segera menyusun rencana, dengan naluri yang sudah terasah tajam. Dia tidak bisa gegabah seperti saat melawan Jaksa Bahar yang licin kayak belut kena oli. Kali ini dia berhadapan dengan jaringan politik yang rapi dan licin, ahli dalam seni damage control dan obfuscation (pengaburan fakta). Dia butuh bukti yang tidak bisa dibantah, bukti yang incontestable (tak terbantahkan) dan valid.Dia kembali menggunakan jurus ‘wartawan lugu yang haus ilmu politik’ dan mengaktifkan kembali skill rekam tersembunyinya. Dia mendekati staf keuangan yang idealis dan merasa tertekan dengan proyek Alkes fiktif tersebut. Dengan pendekatan humanis ala Fitrah—mengingatkan betapa dana itu seharusnya menyelamatkan nyawa, bukan memperkaya sesepuh partai—dia berhasil meluluhkan hati staf itu yang sepertinya sudah di ujung tanduk stress.Staf keuangan itu, dengan wajah pucat pasi mirip hantu ceker ayam yang insaf, menyerahkan salinan rahasia dari purchase order (pesanan pembelian) fiktif, bukti transfer dana ke perusahaan cangkang (perusahaan fiktif), dan notulen rapat yang menunjukkan persetujuan sang sesepuh partai. Bukti ini lebih eksplosif daripada kasus bansos, sebuah bom atom informasi.Fitrah kabur dari markas partai di tengah malam, dengan gaya mirip agen rahasia yang melanggar pasal 'tertib malam'. Dia membawa bukti di flash disk mini yang sama, yang dulu menyelamatkan kasus bansos. Dia langsung menuju markas Kabar Kilat yang kini terasa seperti rumah yang dirindukan, dengan aroma tinta yang jujur dan apa adanya.Bos Top, Bu Cynthia (yang tampaknya selalu siap siaga 24 jam dan mungkin sudah pasang command center di kantor redaksi), dan seluruh tim redaksi menyambutnya. Atmosfernya seperti persiapan perang, dengan kopi basi sebagai amunisi utama."Kali ini, kita main cantik," kata Bu Cynthia dengan senyum puas, seolah-olah dia sudah memenangkan praperadilan kasus besar. "Kita tidak langsung ke KPK. Kita gelar press conference tandingan. Kita jatuhkan sanksi sosial dulu sebelum sanksi hukum."Kabar Kilat meledak dengan headline yang mengguncang perpolitikan nasional: "Bom Waktu Internal Partai Reformis Meledak; Tokoh Senior Diduga Korupsi Dana Alkes! Pelanggaran Pasal Berlapis UU Tipikor!"Reaksi publik luar biasa. Partai yang tadinya diagungkan langsung runtuh citra-nya. Sang sesepuh partai, yang sedang dalam perjalanan menuju debat publik, terpaksa putar balik dan menghilang dari peredaran, mungkin sedang mencari goa yang lebih aman dari yang dipakai si Surya dulu.Konferensi pers Fitrah kali ini lebih dramatis dari sinetron stripping. Dia menjelaskan perjalanannya, dilema etisnya, dan mengapa dia memilih untuk membongkar kebusukan di rumahnya sendiri."Saya masuk ke sistem dengan harapan bisa memperbaiki dari dalam," Fitrah berujar, suaranya mantap, mirip juru bicara KPK. "Tapi saya menemukan bahwa asas praduga tak bersalah sering kali hanya berlaku bagi mereka yang punya uang dan koneksi. Saya memilih untuk kembali ke jalan wartawan, di mana fakta berbicara lebih keras dari janji politik, dan vox populi vox dei benar-benar didengar."Skandal ini memaksa KPK bergerak cepat lagi (mungkin karena takut kalah cepat sama wartawan magang lagi). Sang sesepuh partai ditangkap. Partai tersebut mengalami krisis kepemimpinan yang parah, dan sepertinya akan menjalani pembubaran massal.Fitrah kembali menjadi wartawan tetap dengan lencana barunya yang sudah diganti oleh Bos Top, yang kini terasa lebih berat dan penuh makna. Dia tidak lagi diuji oleh politik, tapi dia belajar satu hal penting; integritas adalah mata uang paling berharga, di UGD, di Polresta, di pengadilan, bahkan di gedung DPR yang megah.Di sebuah sore yang tenang, Fitrah duduk di mejanya. Ponsel canggihnya kembali full charge dan siap tempur. Bos Top melintas dan tersenyum."Job desk baru kamu selanjutnya, Fit?" tanya Bos Top sambil tertawa kecil, mirip majelis hakim yang habis vonis bebas.Fitrah tersenyum kembali, menatap keluar jendela. "Entahlah, Bos. Mungkin saya akan fokus meliput hal-hal yang lebih tenang. Mungkin... biro jodoh? Atau liputan kuliner? Yang jelas, saya siap untuk babak selanjutnya, seberat apapun itu, asal jangan disuruh ngurus ceker ayam oplosan lagi."Aroma tinta kembali tercium, dan Fitrah Nusantara siap untuk tantangan baru, kali ini dengan kebijaksanaan ekstra dari pengalaman pahitnya di dunia politik yang penuh aroma janji palsu. (Bersambung - Integritas Seharga Amplop Warung Kopi)