Ketar-ketir 15 Anggota DPRD Ajukan Perlindungan ke LPSK, Kejati NTB: Silakan Saja 

Wait 5 sec.

Kepala Kejati NTB Wahyudi memberikan keterangan dalam konferensi pers pada peringatan Hakordia tahun 2025 di gedung Kejati NTB, Mataram, Selasa (9/12/2025). ANTARA/Dhimas B.P.MATARAM - Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat (NTB) Wahyudi mempersilakan para legislator yang menjadi penerima suap dalam kasus gratifikasi DPRD Provinsi NTB tahun 2025 untuk mengajukan perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). "Itu hak dasar dari manusia. Silakan saja, saya tidak bisa menghalangi," kata Wahyudi dalam konferensi pers peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) di gedung Kejati NTB, Mataram, Antara, Selasa, 9 Desember. Terkait apakah permohonan perlindungan itu dapat mempengaruhi proses penyidikan yang telah menetapkan tiga tersangka, Wahyudi menegaskan bahwa pihaknya masih menunggu hasil telaah LPSK sebagai lembaga yang memiliki kewenangan penuh. "Itu domain-nya LPSK. Dari sisi kita, selama itu membantu aparat penegak hukum untuk pembuktian, kita akomodir. Kalau tidak membantu, ya kita pertimbangkan," ujarnya. Wahyudi juga tidak menutup kemungkinan penerapan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kepada penyelenggara negara yang berstatus sebagai penerima suap. Namun, ia menegaskan penerapan pasal tersebut harus memenuhi unsur alat bukti yang sah sesuai Pasal 184 KUHAP. Penelusuran terkait mens rea atau niat jahat dari para penerima suap juga menjadi bagian dari pengembangan penyidikan. "Kita lihat nanti, masih dalam analisa teman-teman penyidik sejauh mana mensrea-nya," katanya. Dalam kasus ini, kejaksaan telah menetapkan tiga legislator sebagai tersangka, yaitu Indra Jaya Usman (IJU), Hamdan Kasim (HK), dan Muhammad Nashib Ikroman (MNI). Ketiganya sebelumnya dinyatakan berperan sebagai pemberi suap. Uang gratifikasi yang diterima belasan legislator disebut berasal dari ketiga tersangka. Sedikitnya Rp2 miliar uang gratifikasi telah dititipkan belasan legislator kepada penyidik kejaksaan sebagai bagian dari alat bukti. Hal ini turut menguatkan penerapan Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Tipikor terhadap para tersangka sebagai pemberi gratifikasi. Tenaga ahli LPSK, Tomi Permana, mengatakan pihaknya telah menerima sedikitnya 15 permohonan perlindungan dari anggota DPRD NTB terkait kasus ini. Permohonan tersebut masuk dalam kategori Pemenuhan Hak Prosedural (PHP) karena para pemohon masih berstatus sebagai saksi.  "Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sesuai Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2006, mulai dari tingkat ancaman, rekam jejak, hingga asesmen psikologi," kata Tomi. Menurutnya, karena kasus ini berkaitan dengan korupsi, LPSK juga harus melihat sejauh mana ancaman yang mungkin timbul terhadap para pemohon dalam proses pengungkapan kasus. “Ini masih didalami,” ujarnya.