Pegiat antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menggelar aksi seusai melaporkan kasus dugaan korupsi penyelenggaraan haji 1446 H/2025 M di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (5/8/2025). (ANTARA/Indrianto Eko Suwarso/bar)JAKARTA – Indonesia termasuk dalam 10 besar negara dengan religiositas tertinggi di dunia. Taat dalam menjalankan perintah agama, namun di sisi lain, Indonesia juga termasuk dalam negara dengan angka korupsi yang tinggi.Majalah Coeworld pada 8 April 2024 menempatkan Indonesia sebagai negara ketujuh paling religius di dunia. Sebanyak 98,7 persen responden dari Indonesia mengaku religius.Di antara negara-negara G20, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang masuk dalam 40 negara paling religius di dunia.Survei ini sekaligus menguatkan jajak pendapat sebelumnya oleh Pew Research Center. Jonathan Evans, peneliti senior Pew Research Center yang berfokus pada penelitian agama, melakukan survei tentang komitmen beragama di 102 negara dalam rentang tahun 2008 sampai 2023.Pada laporan yang dirilis 9 Agustus 2024 di situs resmi Pew Research Center menempatkan Indonesia di urutan pertama sebagai negara yang memprioritaskan agama dan berdoa setiap hari.Arsip foto - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) 2019-2024 Nadiem Makarim (tengah) menggunakan rompi tahanan berjalan keluar usai pemeriksaan di Jampidsus, Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (4/9/2025). (ANTARA/Bayu Pratama S/agr/am)Tapi di saat yang hampir bersamaan, hampir setiap hari masyarakat Indonesia disuguhkan berita-berita tak mengenakkan, baik itu di media massa maupun media nasional. Mulai dari kasus-kasus pembunuhan, pemerkosaan atau pencabulan, kekerasan, judi online, hingga korupsi yang merugikan negara raturan triliun rupiah.Tentu ini menjadi ironi dan paradoks di tengah klaim bahwa Indonesia adalah bangsa yang religius. Agama sepertinya tidak lagi menjadi landasan hidup, melainkan hanya sebatas simbol, ritual, dan bukan substansi yang esensial.Kontradiksi di MasyarakatDalam survei yang dilakukan Pew Research Center, fokusnya hanya pada dua pertanyaan mendasar, yaitu “seberapa penting agama dalam hidup Anda?” dan “seberapa sering Anda berdoa?”Berdasarkan survei tersebut, rupanya 98 persen orang dewasa di Indonesia mengatakan bahwa agama sangat penting dalam kehidupan. Sedangkan soal berdoa atau ritual ibadah, 95 persen orang dewasa di Indonesia mengaku berdoa setiap hari.Jika ajaran agama sebagai panduan hidup benar-benar dijalankan, maka sejatinya bangsa Indonesia sangat dekat dengan nilai kesopanan, moralitas, kejujuran, dan empati yang besar. Tapi kenyataannya ada kontradiksi dalam sikap masyarakat. Di satu sisi agama dianggap penting, dan secara bersamaan tak sedikit yang melakukan tindakan yang keluar dari substansi ajaran agama.Predikat negara paling religius ternyata berbarengan dengan predikat lain yang berlawanan. Pertama, indeks persepsi korupsi di Indonesia rendah. Lembaga Transparency International (TI) mengukur indeks tersebut dalam Corruption Perception Index (CPI), semakin tinggi indeks persepsinya, berarti semakin bersih negara tersebut.Pada 2024 CPI Indonesia tercatat berada di angka 34 dan menempatkan negara ini di posisi ke-110 dari 180 negara. Indeks tertinggi diraih Denmark (indeks 90 poin) dan Finlandia (indeks 87 poin). Yang menarik, dua negara tersebut hanya 10 persen tingkat religiositasnya.Saking menjamurnya, praktik korupsi di Indonesia ini menjadi budaya yang mengalir dari hulu ke hilir. Budaya korupsi tidak hanya terjadi di kalangan elite pemerintah, tapi juga di level masyarakat kecil di akar rumput.Publik pasti sudah terbiasa dengan istilah serangan fajar, uang pelicin untuk kelancaran birokrasi, plagiat, dan mengambil atau menjarah barang bukan miliknya sudah menjadi budaya di kalangan masyarakat.Religiositas SimbolikSelain religius, Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan menjunjung tinggi kesopanan. Tapi belakangan, justru fenomena sebaliknya yang terlihat.Hal ini tercermin dari laporan Digital Civility Index (DCI) oleh Microsoft pada akhir 2023, yang menobatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat keadaban atau kesopanan di dunia maya terendah se-Asia Tenggara.Indonesia juga menjadi negara dengan pemain judi online terbanyak di dunia, yaitu sebanyak 201.122 pemain. Angka ini jauh melampaui Kamboja di posisi kedua dengan 26.279 pemain menurut laporan Drone emprit.Fenomena ini seperti paradoks di tengah tingkat religius masyarakat Indonesia yang tinggi. Paradoks secara harfiah artinya bertentangan dengan opini sehingga bersifat kontradiktoris.Jumpa pers pengungkapan kasus judi online di Polres Metro Jakarta Barat, Kamis (25/9/2025). (ANTARA/Risky Syukur)Fakta ini menunjukkan bahwa agama tidak benar-benar dihayati secara esensial oleh masyarakat. Dan yang lebih parah, masyarakat sering menemukan pada kasus korupsi, tindakan kriminal seperti kekerasan seksual, justru dilakukan oleh sosok yang diharapkan menjadi teladan.Terkait tren korupsi di tengah religiositas masyarakah Indonesia, peneliti sosiologi politik yang juga dosen Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Inslam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakrta, Mahatva Yoga Adi Pradana, menuturkan, korupsi dilakukan oleh orang religius terjadi karena religiositas yang mereka mliki hanya bersifat simbolik semata, bukan religiositas substansial.Religiositas ini terlihat dari identitas tampilan yang ditunjukkan, mulai dari jenis agama, ritual agama rutin dilakukan di ruang publik, bahsa yang digunakan, sampai gera-gerik mereka dalam menjalani hidup.Dimanfaatkan dalam Kontestasi PolitikIronisnya, religiositas simbolik ini makin mudah ditemui menjelang kontestasi poltik atau ketika seseorang berhadapan dengan kasus hukum.Dalam konteks kontestasi politik, seorang elite politik sering memanfaatkan simbol religiositas, bahkan dengan mengambil peran atau jabatan dalam struktur keagamaan tertentu. Mereka berharap bisa mendulang simpati dan dukungan masyarakat.Untuk memupus kontradiksi antara religiositas dan perilaku korupsi, agama harus dijadikan sebagai kekuatan pembebas, menurut Mahatva. Kesadaran kritis umat beragama harus dibangkitkan melalui pendidikan agama berbasis etik sejak dalam keluarga. Selain itu, penguatan peran kelompok keagamaan sebagai watchdog (pengawas) juga harus dikuatkan.Ilustrasi - Religiositas simbolik sangat mudah ditemui dalam kontestasi politik di Indonesia. (AFP)Ia juga mendorong publik untuk tidak menyalahkan nilai-nilai agama ketika melihat perilaku korupsi oleh orang yang terlihat religius. Mahatva justru menyoroti bagaimana ajaran agama dipahami, diajarkan, dan diamalkan dalam struktur sosial masyarakat. Jika agama hanya dijadikan alat identitas sosial dan mobilitas politik tanpa disertai adanya nalar kritis, religiositas hanya akan menjadi topeng untuk menutupi berbagai kebobrokan dan ketidakadilan, termasuk korupsi yang dilakukan.”Agama akhirnya tidak menjadi alat emansipasi, tetapi hanya dijadikan alat untuk mempertahankan dominasi sosial,” tandasnya.