Transmisi Suku Bunga Tersendat, Kredit Terhambat

Wait 5 sec.

Petugas keamanan melakukan penjagaan di kawasan Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (3/9/2025). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTOBank Indonesia sudah menempuh langkah-langkah longgar: BI-Rate 4,75%, Deposit Facility 3,75%, Lending Facility 5,50%. Secara teori moneter klasik, khususnya Interest Rate Channel dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter, penurunan suku bunga acuan mestinya diikuti penurunan suku bunga perbankan, agar biaya modal lebih murah sehingga konsumsi, investasi, dan ekspansi sektor riil meningkat (Mishkin, 2016).Namun, yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir adalah paradoks: suku bunga acuan melandai, tetapi bunga kredit perbankan enggan turun. Inilah yang disebut para ekonom sebagai transmission lag—bahkan lebih ekstrem: transmission failure.Ketika transmisi gagal, kredit tidak mengalir ke UMKM, manufaktur, ekspor, dan investasi baru. Pada titik ini, kebijakan moneter menjadi seperti “pedal gas yang diinjak, tapi mesin tidak bereaksi.”Mengapa transmisi suku bunga menjadi tersendat?Teori Bank Lending Channel menjelaskan bahwa penurunan suku bunga baru efektif bila perbankan memiliki likuiditas longgar dan risiko kredit stabil (Bernanke & Blinder, 1988).Masalahnya, profil risiko sektor riil dianggap masih tinggi, terutama setelah beberapa tahun volatilitas global dan tekanan biaya produksi. Bank-bank besar memilih bersikap konservatif: margin tetap dijaga, bunga kredit tidak diturunkan agresif, dan penyaluran kredit diprioritaskan pada debitur “super aman.”Hasilnya dapat dibaca di data: ketika BI menurunkan suku bunga total 125 bps, suku bunga deposito 1 bulan hanya turun sekitar 56 bps, dan bunga kredit turun lebih kecil lagi. Artinya: transmisi hanya setengah jalan.Di sisi lain, bank dihantui risiko gagal bayar dan aturan kehati-hatian (prudential), sehingga mereka lebih memilih menjaga margin daripada mengejar pertumbuhan kredit. Kondisi ini sejalan dengan teori Risk Aversion in Banking, di mana ketidakpastian ekonomi membuat bank makin berhati-hati (Stiglitz & Weiss, 1981).Dampaknya: sektor riil melemah, ekspor dan investasi tertahanDalam kerangka teori pertumbuhan endogen (Romer, 1990), kredit adalah bahan bakar bagi investasi produktif dan ekspansi kapasitas industri.Jika kredit mahal dan sulit diakses, maka inovasi, ekspansi, dan pembukaan lapangan kerja otomatis tertahan. Ekspor manufaktur yang memerlukan pembiayaan modal kerja juga ikut melemah, karena biaya dana masih tinggi dibanding negara pesaing seperti Vietnam dan Thailand yang suku bunganya lebih rendah. Bandingkan: Kredit Indonesia hanya tumbuh 7% yoy. Sementara Vietnam, Thailand, dan Malaysia pertumbuhan kreditnya lebih dari 10% yoy.Artinya, transmisi suku bunga yang tersendat bukan sekadar isu teknis perbankan, tetapi hambatan struktural yang menghambat daya saing nasional. Dalam konteks perdagangan internasional, biaya modal yang tinggi otomatis menurunkan kemampuan eksportir untuk melakukan penetrasi pasar, inovasi produk, dan investasi teknologi.Mengapa transmisi suku bunga harus dipercepat sekarang?Logika dasarnya jelas: jika Indonesia ingin masuk ke jalur pertumbuhan 6%–7% dalam beberapa tahun ke depan, maka kredit harus tumbuh dua digit, bukan 7%.Teori Accelerator Model menyatakan bahwa pertumbuhan investasi sangat sensitif terhadap biaya modal (Jorgenson, 1963). Semakin murah kredit, semakin besar dorongan investasi.Saat ini Indonesia berada pada momentum pemulihan pasca pandemi dan tekanan global. Permintaan dunia mulai meningkat, energi lebih stabil, dan prospek komoditas membaik. Tetapi tanpa kredit murah dan mudah, sektor riil tidak akan mampu memanfaatkan momentum tersebut.Apa yang harus dilakukan? Debat lama soal perbankan dan “special rate”Ini saatnya berbicara lebih terbuka: sistem bunga perbankan Indonesia memiliki struktur oligopolistik. Koordinasi implisit dalam menjaga “margin aman” membuat bunga kredit cenderung kaku (rigid).Dalam teori struktur pasar—Structure Conduct Performance (SCP)—pasar oligopolistik menghasilkan harga yang tidak fleksibel dan tidak responsif terhadap kebijakan moneter (Bain, 1951).Selain itu, fenomena special rate—bunga khusus yang diberikan kepada deposan besar—membuat biaya dana bank tinggi, sehingga bunga kredit sulit turun. Ini dianalogikan oleh sejumlah ekonom sebagai “rem diam-diam” pada transmisi kebijakan moneter.Selama struktur pasar dan special rate tidak diatasi, transmisi suku bunga akan tetap seperti sekarang: lambat, tersendat, dan tidak efektif mendorong sektor riil.Menata ulang mekanisme transmisi: Dari moneter ke ekonomi nyataIndonesia bisa mempercepat transmisi dengan tiga pendekatan berbasis teori dan praktik kebijakan: Pertama adalah kebijakan makroprudensial pro-growth. Dalam kerangka Macroprudential Policy modern (Borio, 2014), BI dapat memperlonggar aturan likuiditas, memperbesar ruang kredit UMKM, dan menurunkan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk sektor produktif. Ini akan menurunkan risiko bank dan mendorong kredit lebih cepat.Kedua adalah penurunan special rate dan transparansi biaya dana. Teori Market Discipline menekankan pentingnya transparansi agar struktur biaya dana bank lebih kompetitif (Flannery, 1998). Publikasi rutin special rate dan spread margin dapat menciptakan tekanan kompetitif sehingga bunga kredit lebih cepat turun.Ketiga adalah sinyal fiskal yang konsisten dan kuat. Kebijakan fiskal yang kredibel—misalnya percepatan belanja modal, insentif investasi, dan pembukaan pasar ekspor—akan menurunkan persepsi risiko bank terhadap sektor riil. Ini sejalan dengan teori Fiscal-Monetary Interaction (Leeper, 1991), di mana fiskal yang solid membuat transmisi moneter lebih efektif.Jika transmisi lambat, pertumbuhan akan tetap merayapIndonesia tidak bisa hanya mengandalkan BI menurunkan BI-Rate. Kuncinya bukan suku bunga acuan, tetapi transmisi ke bunga kredit. Selama bunga kredit tetap tinggi, UMKM akan tetap berhati-hati, manufaktur stagnan, dan ekspor melemah. Investasi pun enggan naik.Jika masalah transmisi tidak segera dipecahkan, Indonesia akan terjebak dalam pertumbuhan 5%—cukup stabil, tetapi tidak cukup untuk lepas landas menuju Indonesia Emas 2045.Inilah saatnya kebijakan moneter, makroprudensial, perbankan, dan fiskal benar-benar bekerja sebagai satu kesatuan. Tanpa itu, transmisi tetap tersendat, dan pertumbuhan tetap terhambat.