Neurosains Peran Naratif: Mengungkap Cara Otak Memilah Tokoh dalam Cerita Fiksi

Wait 5 sec.

Ilustrasi seorang wanita yang sedang memikirkan peran tokoh dalam cerita. Foto: fxquadro/FreepikMengapa kita cepat merasa dekat dengan protagonis, tetapi waspada sekaligus tertarik pada antagonis? Apa yang membuat kita begitu cepat membedakan kedua peran tersebut? Ternyata, otak mampu membedakan protagonis dan antagonis bukan hanya dari kostum atau dialog, melainkan dari cara jaringan empati dan penilaian moral bekerja sejak awal cerita.Di tengah banyaknya film, game, dan serial yang kita nikmati, otak selalu menggunakan pola yang sama untuk mengelompokkan karakter berdasarkan perannya. Kita tidak hanya mengikuti alur cerita, tetapi juga menilai tokoh-tokohnya dengan pengalaman sosial yang biasa kita gunakan di kehidupan nyata. Karena itu, karakter fiksi dapat memengaruhi empati, pandangan moral, hingga cara kita memutuskan siapa yang layak dipercaya.Penelitian terbaru menunjukkan bahwa otak langsung mengaktifkan jaringan empati dan moral begitu karakter muncul di layar. Tanpa kita sadari, otak sedang memilih siapa yang ingin kita dukung dan siapa yang harus kita curigai.Protagonis dan Antagonis Memicu Pola Aktivasi Otak yang BerbedaIlustrasi saraf otak. Foto: Axel_Kock/ShutterstockPenelitian menunjukkan bahwa otak memproses protagonis dan antagonis melalui jalur yang berbeda. Ketika melihat protagonis, jaringan seperti inferior frontal gyrus (IFG) dan default mode network (DMN) lebih sinkron antarpenonton, menandakan munculnya empati dan rasa kedekatan yang lebih kuat (Ryu & Kim, 2024). Sebaliknya, saat antagonis muncul, otak mengaktifkan anterior cingulate cortex (ACC) dan area yang berkaitan dengan konflik moral, sehingga penonton menjadi lebih waspada dan mulai menilai tindakan tokoh tersebut secara otomatis (Obando Yar et al., 2025). Penelitian lain juga menemukan bahwa otak memetakan peran antagonis sebagai kategori sosial yang jelas, terutama melalui aktivitas di dorsomedial prefrontal cortex (dmPFC) dan temporoparietal junction (TPJ) yang membantu kita mengenali peran tokoh dalam cerita (Ron et al., 2022). Peran Naratif Mengalahkan Faktor Lain Seperti Usia atau PenampilanIlustrasi penonton dengan beragam ekspresi saat menonton aksi tokoh. Foto: FreepikPenelitian menunjukkan bahwa otak lebih peka terhadap peran naratif daripada faktor seperti usia, penampilan, atau asal karakter. Studi fMRI menemukan bahwa jaringan—seperti dorsomedial prefrontal cortex (dmPFC), precuneus, dan temporoparietal junction (TPJ)—lebih konsisten dalam membedakan protagonis, antagonis, dan tokoh ambigu dibandingkan kategori yang tidak terkait peran sosial (Ron et al., 2022). Bahkan dalam cerita yang kompleks, otak tetap memprioritaskan peran sosial karena jaringan empati dan moral, termasuk DMN dan ACC yang lebih responsif terhadap fungsi karakter dalam alur cerita dibandingkan penampilan fisiknya (Obando Yar et al., 2025). Mengapa Kita Bisa Empati pada Antagonis?Penelitian menunjukkan bahwa kita bisa merasa empati pada antagonis karena otak tidak hanya menilai mereka berdasarkan benar atau salah, tetapi juga memproses mereka melalui jaringan sosial yang sama seperti saat kita memahami orang di kehidupan nyata. Aktivitas pada default mode network (DMN), temporoparietal junction (TPJ), dan medial prefrontal cortex (mPFC) membantu kita memahami niat dan latar belakang karakter, meskipun mereka melakukan hal yang negatif (Ron et al., 2022).Ilustrasi saraf otak. Foto: Andrii Vodolazhskyi/ShutterstockSelain itu, konflik moral yang muncul saat melihat antagonis mengaktifkan anterior cingulate cortex (ACC), sehingga kita cenderung mempertimbangkan sisi ambigu dari tindakan mereka, bukan langsung menyalahkannya (Obando Yar et al., 2025).Ketika cerita menampilkan sisi manusiawi seorang antagonis, jaringan empati seperti inferior frontal gyrus (IFG) juga dapat ikut aktif, membuat kita memahami penderitaan atau motivasi mereka, meskipun tidak membenarkan tindakan mereka (Ryu & Kim, 2024).Pemahaman tentang bagaimana otak memproses peran karakter membuka pandangan baru bahwa pengalaman menonton atau membaca cerita bukan sekadar hiburan, melainkan refleksi dari pengalaman sosial yang membentuk cara kita memahami manusia di dunia nyata.