Jika Selat Hormuz Terhenti, Dunia Akan Ikut Tersedak: Seberapa Gawat Sebenarnya?

Wait 5 sec.

Ilustrasi AI yang menggambarkan Selat Hormuz, titik cekung (chokepoint) perdagangan minyak, di bawah tekanan. Blokade di jalur ini dapat memicu lonjakan harga dan krisis ekonomi di seluruh dunia.Sebagai salah satu chokepoint energi paling strategis di dunia, Selat Hormuz menjadi jalur yang dilewati lebih dari 20 persen pasokan minyak global setiap hari. Ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat, konflik yang terus berlangsung di Gaza, serta serangan kelompok Houthi membuat kawasan ini kembali berada dalam sorotan keamanan internasional. Dalam situasi yang rentan seperti ini, pertanyaannya menjadi semakin mendesak: apa yang sebenarnya akan terjadi jika Selat Hormuz terhenti?Apa Itu Selat Hormuz dan Mengapa Ia Begitu Penting?Selat Hormuz merupakan jalur sempit yang menghubungkan Teluk Persia dengan Samudra Hindia dan menjadi salah satu rute pelayaran paling vital di dunia. Kawasan ini berfungsi sebagai koridor utama bagi perdagangan energi global, terutama minyak mentah dan gas alam cair (LNG) dari negara-negara Teluk, termasuk Qatar yang menjadi salah satu eksportir LNG terbesar di dunia.Ketergantungan internasional terhadap selat ini sangat tinggi, khususnya bagi negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok yang mengandalkan impor energi dari kawasan Teluk untuk memenuhi kebutuhan domestik. Posisi strategis tersebut menjadikan Selat Hormuz sebagai strategic chokepoint, yakni titik sempit yang memiliki dampak besar terhadap stabilitas ekonomi global. Setiap gangguan di jalur ini tidak hanya memengaruhi negara produsen, tetapi juga seluruh rantai pasok energi dunia.Kenapa Selat Hormuz Menjadi Isu Keamanan?Konsep sekuritisasi membantu menjelaskan mengapa Selat Hormuz tidak hanya dipandang sebagai jalur pelayaran biasa, tetapi sebagai isu keamanan yang sangat sensitif. Dalam teori sekuritisasi, suatu ancaman yang awalnya bersifat normal dapat diangkat menjadi ancaman eksistensial sehingga membenarkan tindakan luar biasa dari aktor yang merasa terancam. Logika inilah yang terlihat jelas dalam dinamika Selat Hormuz.Bagi Iran, selat ini merupakan alat pertahanan strategis yang dapat digunakan sebagai leverage politik dan militer, terutama ketika menghadapi tekanan atau sanksi dari Amerika Serikat. Di sisi lain, Amerika Serikat menganggap setiap gangguan di Selat Hormuz sebagai ancaman langsung terhadap keamanan energi global, sehingga menilai kehadiran militernya sebagai langkah penting untuk menjaga stabilitas kawasan.Sementara itu, negara-negara Teluk seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Bahrain melihat Selat Hormuz sebagai aset vital yang harus dilindungi melalui kerja sama dengan kekuatan Barat. Ketergantungan mereka terhadap jalur ekspor energi menjadikan keamanan selat ini sebagai prioritas utama dalam kebijakan luar negeri dan pertahanan.Aktor-Aktor Kunci dan KepentingannyaIran mengontrol sisi utara Selat Hormuz dan selama bertahun-tahun memanfaatkan posisinya sebagai leverage dalam menghadapi sanksi Amerika Serikat. Ancaman menutup selat menjadi bagian dari strategi deterrence Teheran, terutama ketika tekanan ekonomi meningkat. Di sisi lain, Amerika Serikat mengoperasikan Armada ke-5 dari pangkalannya di Bahrain, bertujuan menjaga keamanan jalur energi, menstabilkan rute kapal tanker, dan melindungi sekutu-sekutunya di kawasan. Negara-negara Teluk seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar bergantung pada ekspor minyak dan LNG melalui Hormuz sehingga banyak berinvestasi dalam rute alternatif seperti Saudi East-West Pipeline yang memindahkan minyak langsung ke Laut Merah. Selain aktor negara, kelompok non-negara seperti Houthi dan milisi pro-Iran turut memperburuk situasi dengan meningkatkan serangan kapal di Laut Merah dan Teluk, terutama sejak perang Gaza, menjadikan jalur maritim semakin berisiko.Apa yang Terjadi Jika Selat Hormuz Terhenti?1. Dampak Ekonomi GlobalPenutupan Selat Hormuz akan menimbulkan guncangan besar bagi perekonomian dunia. Sebagai jalur yang membawa lebih dari 20 persen minyak global, gangguan total di kawasan ini dapat memicu lonjakan harga minyak yang ekstrem. Pada beberapa insiden kecil sebelumnya, seperti serangan tanker tahun 2019, harga minyak bahkan melonjak hingga 10 persen dalam satu hari. Jika selat benar-benar terhenti, kenaikan dapat mencapai USD 150–200 per barel, jauh di atas krisis energi 2008.Lonjakan harga energi tersebut akan memicu inflasi global, memperberat beban ekonomi negara-negara importir, dan mengganggu rantai pasok minyak serta LNG. Dampaknya paling terasa di Asia Timur terutama Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok yang secara kolektif mengimpor lebih dari 70 persen kebutuhan energi dari Teluk. Gangguan pasokan akan memengaruhi sektor industri, transportasi, dan stabilitas ekonomi nasional mereka.2. Dampak KeamananJika Selat Hormuz terhenti, eskalasi keamanan hampir tidak terhindarkan. Amerika Serikat dan negara-negara Barat kemungkinan akan meningkatkan kehadiran militernya di kawasan Teluk untuk memastikan jalur pelayaran tetap terbuka. Situasi ini meningkatkan risiko miscalculation antara Iran dan Amerika Serikat, terutama karena jarak operasi militer mereka sangat dekat dan sensitivitas politiknya tinggi.Potensi konflik juga dapat meluas ke seluruh Teluk Persia, mengingat banyak instalasi minyak, pangkalan militer, dan infrastruktur energi berada dalam jangkauan rudal Iran dan sekutu-sekutunya. Ketegangan yang meningkat dapat memicu serangan balasan, blokade maritim, atau gangguan terhadap infrastruktur energi lainnya.3. Dampak RegionalBagi negara-negara Teluk, penutupan Selat Hormuz berarti kehilangan jalur ekspor utama yang menopang ekonomi mereka. Meskipun Arab Saudi dan Uni Emirat Arab memiliki pipa alternatif, kapasitasnya tidak cukup untuk menggantikan seluruh ekspor yang biasanya melewati selat. Sementara itu, Qatar menghadapi risiko paling besar karena hampir seluruh ekspor LNG-nya bergantung pada jalur ini. Jika selat terhenti, Qatar akan terisolasi secara ekonomi dan mengalami gangguan besar pada pendapatan nasionalnya.Selain itu, stabilitas politik internal negara-negara Teluk juga dapat terguncang, karena pendapatan minyak dan gas merupakan sumber utama anggaran negara. Dampak berlapis ini menunjukkan bahwa penutupan Selat Hormuz bukan hanya isu regional, melainkan ancaman global yang dapat mengguncang ekonomi dan keamanan internasional.Upaya Mengurangi Risiko: Apakah Cukup?Untuk mengurangi risiko geopolitik di Selat Hormuz, negara-negara Teluk telah berupaya membangun jalur alternatif yang dapat menjaga stabilitas energi, meskipun ketergantungannya masih sangat tinggi. Saudi Arabia, misalnya, mengembangkan East-West Pipeline (Petroline) yang mampu menyalurkan sekitar 5 juta barel per hari dari ladang timur ke Laut Merah, sehingga dapat mem-bypass Hormuz saat krisis meski kapasitas ini tetap lebih kecil dibanding total ekspor Teluk sekitar 17–20 juta barel per hari yang melewati selat tersebut. Uni Emirat Arab juga membangun Habshan–Fujairah Pipeline dengan kapasitas sekitar 1,5 juta barel per hari, memungkinkan minyaknya langsung keluar ke Laut Arab tanpa melewati perairan sensitif Iran. Oman pun berupaya memperluas pelabuhan Duqm dan Sohar sebagai jalur ekspor alternatif, meski skalanya masih jauh dari kebutuhan regional.Di level keamanan, negara-negara pengimpor energi dan kekuatan Barat memperkuat kerja sama maritim melalui inisiatif seperti International Maritime Security Construct (IMSC) dan Combined Task Force 150 (CTF-150) yang bertujuan mengamankan jalur pelayaran dari pembajakan, serangan drone, hingga ancaman rudal. Namun efektivitasnya kerap diuji, terutama sejak 2023 ketika eskalasi pascaperang Gaza memicu kelompok pro-Iran seperti Houthi meningkatkan serangan terhadap kapal niaga di Laut Merah dan mulai mengancam rantai pasok menuju Hormuz.Upaya diplomatik juga kembali menguat setelah normalisasi hubungan Saudi–Iran pada 2023 yang dimediasi China, memberikan harapan bahwa tensi regional dapat dikelola melalui dialog. Namun, meskipun langkah ini membantu meredam friksi langsung, pengamat menilai stabilitasnya masih rapuh karena konflik proksi tetap berlangsung di Yaman, Suriah, dan Irak yang seluruhnya berpotensi memicu eskalasi baru di perairan Teluk.Pada akhirnya, Selat Hormuz bukan sekadar jalur air sempit yang menghubungkan Teluk Persia dengan Laut Arab, tetapi benar-benar berfungsi sebagai urat nadi energi dunia yang menentukan stabilitas ekonomi global. Selama Iran dan Amerika Serikat belum mencapai titik strategic stability yang jelas, wilayah ini akan terus menjadi salah satu titik paling rawan di Timur Tengah yang dapat memicu eskalasi besar dengan konsekuensi internasional. Selat yang tampak kecil di peta ini memiliki dampak yang jauh lebih besar daripada ukurannya. Dalam banyak aspek, nasibnya mencerminkan betapa rapuh dan saling terhubungnya sistem global yang menopang kehidupan modern.