Gambaran Mahasiswa yang mengerjakan tugas tanpa henti hingga dini hari. Sumber : Dokumentasi Pribadi.Dalam era digital saat ini, ketika layar ponsel hampir tak pernah lepas dari tangan, kita sering disuguhi kisah-kisah inspiratif tentang orang-orang sukses yang bekerja tanpa henti. Nasihat seperti “kerja keras dulu, istirahat nanti” seolah menjadi standar baru untuk menilai keberhasilan. Bayangkan seorang mahasiswa yang bangun pukul empat pagi untuk belajar, magang, mengerjakan tugas kampus, dan membangun portofolio sambil berharap bisa bersaing di dunia kerja yang semakin padat. Fenomena ini, yang dikenal sebagai hustle culture, sering dianggap resep menuju kesuksesan. Namun di balik cerita motivasi itu, ada dampak yang jarang dibicarakan, terutama bagi kesehatan fisik, mental, dan hubungan sosial. Dalam sosiologi kesehatan, hustle culture bukan sekadar tren kerja keras, tetapi cara masyarakat memaknai tubuh, kesehatan, dan produktivitas.Asal Usul dan Fenomena Hustle CultureHustle culture bukanlah hal baru. Istilah ini muncul dari kata husselen dalam bahasa Belanda yang berarti mengguncang atau mendorong dengan kasar. Ia mulai populer pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20 sebagai simbol kerja keras tanpa batas waktu (Perić, 2024). Pada 1970-an, fenomena serupa muncul di Jerman akibat industrialisasi yang menggantikan pekerja manusia dengan mesin. Banyak buruh kehilangan pekerjaan penuh waktu dan akhirnya mengambil beberapa pekerjaan demi bertahan hidup (Maharani et al., 2024). Dari sinilah budaya kerja tanpa henti berkembang.Di Indonesia, hustle culture tumbuh subur di kalangan mahasiswa, terutama generasi Z yang berusia 18 sampai 24 tahun (Sari et al., 2024). Persaingan di platform seperti LinkedIn dan kebijakan Merdeka Belajar membuat banyak mahasiswa merasa harus selalu unggul. Salah satu penelitian menunjukkan sebanyak 80% mahasiswa mengaku bekerja sejak awal kuliah, dan 61,30% berada pada kategori hustle culture tinggi dengan jam kerja lebih dari 28 jam per minggu (Maharani et al., 2024). Tidak heran jika beberapa penelitian menyebut generasi ini sebagai generasi “paling stres sepanjang sejarah” akibat ketidakseimbangan antara kuliah, pekerjaan, dan kebutuhan istirahat (Sari et al., 2024).Dampak Negatif pada Gaya Hidup dan Kesehatan MentalMeski sering dipuji sebagai jalan menuju kesuksesan, gaya hidup ini membawa risiko kesehatan yang serius. Hustle culture mendorong orang bekerja terus-menerus, bahkan merasa bersalah ketika beristirahat. Target yang tidak realistis dan obsesi terhadap produktivitas dapat memicu kelelahan kronis (Metris, 2024). Penelitian Perić (2024) menunjukkan bahwa jam kerja panjang berkaitan dengan gejala kecemasan, depresi, dan penurunan kualitas tidur yang akhirnya meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke.Di Indonesia, generasi milenial dan Z yang terjebak dalam budaya ini rentan mengalami burnout, ketika pekerjaan menjadi prioritas sampai-sampai waktu pribadi terabaikan (Metris, 2024). Tekanan ini memperbesar risiko gangguan kesejahteraan mental karena mahasiswa harus menghadapi persaingan yang tidak mudah dikendalikan. Dampaknya bukan hanya fisik, tetapi juga sosial. Banyak dari mereka kehilangan koneksi dengan keluarga dan teman sehingga semakin rentan terhadap isolasi.Perspektif Sosiologi Kesehatan dalam Hustle CultureSosiologi kesehatan memandang bahwa gaya hidup, lingkungan sosial, dan nilai budaya ikut membentuk perilaku kesehatan seseorang. Pada kasus hustle culture, tubuh dan kesehatan menjadi alat untuk mencapai reputasi, portofolio, dan status sosialTubuh sebagai Modal SosialMahasiswa sering kali bekerja tanpa henti untuk membangun apa yang mereka sebut social capital atau modal sosial yang diharapkan membuka peluang di masa depan (Maharani et al., 2024). Tubuh akhirnya diperlakukan layaknya mesin yang harus terus berproduksi, bukan entitas biologis yang membutuhkan istirahat.Normalisasi KetidakseimbanganDalam sosiologi kesehatan, normalisasi kerja berlebihan dapat dianggap bentuk penyimpangan yang diterima sebagai kewajaran. Orang yang bekerja secukupnya malah sering dianggap kurang ambisius.Eksternalisasi Tekanan SistemFenomena ini muncul bukan hanya karena keinginan individu, tetapi juga kebijakan pendidikan yang menuntut mahasiswa serba bisa, persaingan pasar kerja, serta ekspektasi sosial untuk selalu sukses.Salah satu pilihan yang bisa kita ambil adalah menerapkan mindful productivity yaitu kerja seimbang dan sadar akan batas diri (Perić, 2024). Metris (2024) juga memberikan beberapa langkah sederhana, seperti memperbaiki cara kita memandang kerja, menyelesaikan tugas tanpa menunda, tidak terus membandingkan diri dengan orang lain, dan menempatkan kesehatan sebagai prioritas. Di tingkat kebijakan, penguatan program link and match dapat membantu mengurangi tekanan yang selama ini membebani mahasiswa.Pada akhirnya, kita perlu bertanya pada diri sendiri. Apakah kita ingin generasi berikutnya hidup dalam pola kerja tanpa jeda demi kesuksesan yang belum tentu nyata? Jawabannya ada pada pilihan masing-masing. Dengarkan tubuh saat ia butuh istirahat, rawat hubungan dengan orang terdekat, dan ingat bahwa kesehatan sosial adalah dasar dari hidup yang layak dijalani.