Mengapa koruptor lebih suka transaksi pakai uang tunai ketimbang digital?

Wait 5 sec.

Uang sitaan hasil korupsi BahbahAconk/ Shutterstock● Penggunaan uang tunai dalam tindakan korupsi bukan karena pelaku gagap teknologi.● Uang tunai jadi primadona karena sulit dilacak sistem intelijen keuangan digital.● Apalagi, hingga kini, Indonesia belum memiliki aturan nasional yang membatasi transaksi tunai.Kasus korupsi di Tanah Air seperti tak ada habisnya. Publik berulang kali disajikan pemandangan tumpukan uang tunai bernilai miliar bahkan triliun rupiah yang menjadi barang bukti tangkapan aparat penegak hukum. Kasus terbaru terjadi akhir November lalu, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menampilkan uang tunai Rp300 miliar hasil rampasan dari kasus investasi fiktif PT Taspen, bagian dari total aset senilai Rp883 miliar yang disita. Hingga kuartal III 2025, KPK juga melaporkan pemulihan aset dan uang rampasan lebih dari Rp600 miliar. Hampir seluruhnya berbentuk uang tunai. Kejaksaan Agung juga menghadapi pola serupa dalam kasus-kasus besar yang diungkap dalam dua tahun terakhir. Fenomena ini memunculkan pertanyaan penting tentang asal usul uang sebanyak itu bisa didapatkan. Mengapa bank masih menyediakan dana segar sebanyak itu?Hal ini tentunya ironis saat pemerintah sedang gencar menggaungkan gerakan transaksi digital kepada masyarakat. Baca juga: Berkah tambahan redenominasi: Ajang bersih-bersih transaksi korupsi dan pencucian uang Dari mana uang jumbo korupsi berasal?Dari sudut pandang audit forensik, uang tunai yang digunakan untuk korupsi paling sering berasal dari fee proyek, perizinan, penambahan anggaran, atau alokasi proyek (yang sengaja di-mark-up atau dibuat fiktif).Uang ini mula-mula biasanya berasal dari rekening perusahaan pelaksana atau instansi pemerintah. Setelah itu, dana ditarik tunai secara perlahan untuk menyamarkan jejak. Uang tunai dipilih agar tidak memicu pelaporan transaksi mencurigakan (Suspicious Transaction Report/STR) pada rekening individu penerima. Baca juga: Riset temukan masyarakat cenderung toleran terhadap korupsi. Ini mempersulit pemberantasannya Pun uang tunai dalam bentuk valuta asing yang digunakan dalam korupsi. Duit ini biasanya berasal dari kegiatan lintas negara, misalnya perdagangan impor-ekspor yang dimanipulasi lewat underinvoicing (menyatakan harga lebih rendah) atau overinvoicing (menyatakan harga lebih tinggi).Selisih nilai transaksi kemudian dibayarkan di luar sistem bank resmi dan diambil dalam bentuk mata uang bernilai kuat seperti dolar AS atau dolar Singapura.Selain dari transaksi lintas negara, valas tunai juga bisa diperoleh dari konversi uang hasil korupsi domestik, yang ditukar bertahap melalui money changer nonbank atau jaringan informal untuk menghindari pelaporan ke otoritas keuangan.Penanda korupsi yang tak dibatasiKeberadaan valas tunai dalam jumlah besar merupakan indikator tahap awal pencucian uang (placement), sebelum dana dialihkan ke aset lain untuk menyamarkan asal-usulnya.Sayangnya, hingga kini Indonesia belum memiliki aturan nasional pembatasan transaksi tunai untuk mengantisipasi trik-trik semacam ini. Rancangan Undang-undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal mandek sejak 2023.Padahal, negara tetangga seperti Malaysia saja sudah menerapkan pembatasan ketat dalam transaksi tunai, terutama untuk pembelian aset properti dan barang mewah.Manfaatkan celah dan ego sektoral otoritasSistem deteksi elektronik kian hari semakin ketat. Transfer antar rekening, transaksi tidak lazim, atau pola belanja aneh kini dapat memicu laporan transaksi mencurigakan (STR). Sistem ini dijaga keamanan berlapis, seperti algoritma penilai risiko, untuk memonitor pola transaksi.Oleh sebab itu, transaksi uang tunai menjadi primadona bagi koruptor karena sulit dideteksi. Uang tunai tidak meninggalkan jejak elektronik, tidak tercatat dalam sistem perbankan, dan tidak melewati mekanisme anti-money laundering (AML). Pengawasan transaksi mencurigakan sangat bergantung pada laporan bank. Jika transaksi berlangsung di luar bank, maka seluruh mekanisme deteksi otomatis menjadi tidak relevan.Uang tunai hasil korupsi pun bisa dengan mudah dicuci ke bentuk aset lain seperti emas, properti, perhiasan, kendaraan mewah, atau aset di luar negeri. Indonesia sebenarnya punya banyak otoritas dengan keahlian masing-masing untuk mencegah tindak pidana korupsi. Sebut saja Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN) Kementerian Keuangan, Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD) Kementerian Dalam Negeri, BI-FAST, RTGS, sistem pelaporan perbankan dan database Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).Tapi sayangnya integrasi intelijen keuangan Indonesia juga belum optimal lantaran tingginya ego sektoral antar lembaga. Baca juga: Korupsi di Indonesia: Menyelami isi kepala para koruptor Langkah menanggulanginyaJadi, penggunaan uang tunai dalam tindakan korupsi jelas bukan karena pelaku tidak paham teknologi, melainkan kesengajaan mengakali sistem keuangan nasional. Selama transaksi di luar sistem formal masih longgar, uang tunai akan tetap menjadi medium utama kejahatan keuangan berskala besar.Uang tunai memberikan rasa aman semua bagi pelaku korupsi. Mereka merasa bisa mengendalikan risiko karena uang dapat dipegang, dihitung, disembunyikan, dan dipindahkan tanpa jejak. Kontras dengan rekening bank yang rentan diblokir, diperiksa, atau dilacak oleh penegak hukum. Namun, uang tunai secara fisik justru sangat mudah ditemukan selama penggeledahan. Pemerintah perlu mengambil sejumlah langkah strategis untuk mengantisipasi akal bulus para koruptor. Pertama, menetapkan batas maksimal transaksi tunai secara nasional, sehingga transaksi bernilai besar wajib melewati perbankan dan otomatis melalui audit trail. Kedua, memperkuat integrasi intelijen keuangan antara PPATK, OJK, BI, Kemenkeu, dan Kemendagri agar pergerakan dana besar dapat dipantau secara real-time. Ketiga, menerapkan digital audit trail pada seluruh proyek publik sehingga setiap tahap perencanaan hingga pencairan dana dapat ditelusuri. Keempat, memperketat pengawasan terhadap pembelian aset bernilai tinggi agar tidak digunakan sebagai sarana penyembunyian uang tunai. Baca juga: Riset: menelaah penyebab dan cara melawan korupsi infrastruktur di Indonesia Korupsi bukan sekadar refleksi dari budaya transaksi tunai di Indonesia, melainkan cerminan dari lemahnya koordinasi sistem keuangan publik. Selama celah ini masih terbuka, onggokan uang tunai dalam kardus dan koper akan terus muncul dalam kasus korupsi. Namun, dengan reformasi struktural yang tepat, Indonesia dapat mempersempit ruang gerak korupsi berbasis uang tunai dan membangun sistem pengawasan yang lebih modern dan transparan.Rudi Syaf Putra tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.