Bencana alam tanah longsor hingga banjir terjadi di Kabupaten Soppeng, Sulsel, Sabtu (21/12/2024). Foto: Dok. IstimewaBANJIR dan longsor yang kembali memorak-porandakan Sumatera pada penghujung tahun ini mengirimkan pesan yang tak lagi bisa kita abaikan: alam tidak sedang murka—kitalah yang ceroboh.Ribuan warga mengungsi, rumah hanyut, akses ekonomi terputus, dan aktivitas sosial lumpuh. Setiap kali bencana berulang, kita seperti tersentak, lupa bahwa sebagian besar kerusakan ini sebenarnya merupakan akumulasi dari keputusan-keputusan pembangunan yang tidak pernah benar-benar memikirkan masa depan.Kita membabat hutan demi profit jangka pendek, memadatkan bantaran sungai dengan permukiman, merusak tata air, lalu terkejut ketika air bah datang tanpa kompromi. Bencana alam? Tidak sepenuhnya. Ini adalah bencana yang kita ciptakan sendiri.Planet: Fondasi yang kita anggap bisa ditawarJohn Elkington melalui konsep Triple Bottom Line mengingatkan bahwa Planet bukan ornamen dalam pembangunan, melainkan fondasi kehidupan. Namun fondasi inilah yang paling sering kita injak, kita kurangi, bahkan kita anggap bisa dinegosiasikan.Kerangka Planetary Boundaries Rockström (2009) menegaskan bahwa aktivitas manusia hanya aman jika berada dalam batas ekologis tertentu. Begitu batas itu dilanggar—melalui deforestasi, degradasi lahan, dan alih fungsi kawasan secara brutal—yang terjadi bukan lagi risiko, tetapi konsekuensi pasti. Banjir Sumatera membuktikan itu: ketika alam kehilangan daya tampungnya, yang runtuh bukan hanya tanah, tetapi stabilitas pembangunan itu sendiri.Kita menuntut pertumbuhan, tetapi kita lupa bahwa bumi memiliki kalkulasi sendiri: semakin kita melewati batas, semakin besar “tagihan” yang harus kita bayar.People: Mereka yang selalu menjadi korban pertamaDampak bencana tidak pernah merata. Mereka yang tinggal di bantaran sungai, kawasan curam, atau wilayah terpencil selalu menanggung beban paling berat. Ketika air bah datang, pilihan mereka hanya dua: mengungsi atau kehilangan nyawa.Amartya Sen (1999) menekankan bahwa pembangunan adalah tentang memperluas human capability—kemampuan manusia untuk hidup aman, sehat, dan bermartabat. Banjir merampas semuanya itu: anak kehilangan pendidikan, keluarga kehilangan rumah, pekerja kehilangan penghasilan. Bencana ekologis selalu melahirkan bencana kemanusiaan.Jika pembangunan tidak meningkatkan ketahanan komunitas, maka ia bukan pembangunan, melainkan penundaan bencana berikutnya.Profit: Ketika pertumbuhan ekonomi menggali kuburannya sendiriSelama ini, banyak daerah—termasuk di Sumatera—mengejar PDRB melalui eksploitasi sumber daya alam. Hutan ditebang, perkebunan diperluas, tambang dibuka, dan pendapatan jangka pendek meningkat.Tetapi Porter & Kramer (2011) mengingatkan melalui konsep Sustainable Capitalism bahwa profit yang berdiri di atas ekosistem yang rusak adalah profit yang rapuh.Banjir Sumatera menjadi bukti telak: ekonomi yang dibangun dengan merusak akan berbalik merusak ekonomi itu sendiri. Infrastruktur hancur, produktivitas terganggu, investasi menurun, dan negara akhirnya membayar biaya pemulihan yang jauh lebih mahal daripada keuntungan jangka pendek yang pernah dihasilkan.Kita sering salah paham: yang merusak lingkungan bukan pertumbuhan, tetapi cara kita mengejar pertumbuhan.TBL: Kerangka yang kita kenal, tetapi tak pernah kita terapkanElkington bahkan pernah “merecall” konsep TBL pada 2018 karena terlalu banyak organisasi dan pemerintah menggunakannya sebagai jargon, bukan perubahan sistem.Ia menegaskan bahwa TBL bukan alat PR, tetapi alat pertobatan—cara baru untuk menjalankan pemerintahan dan bisnis, dengan People dan Planet di pusat keputusan.Jika TBL benar-benar dijalankan, banjir Sumatera seharusnya tidak menjadi ritual tahunan.Governance: Ketika tata kelola masih menjadi titik lemahUNDP menegaskan bahwa Good Governance adalah prasyarat pembangunan berkelanjutan. Namun tata kelola pembangunan kita, terutama terkait ruang dan lingkungan, sering berjalan sektoral, tumpang tindih, dan minim koordinasi. Tata ruang dilanggar, DAS tidak dipulihkan, rehabilitasi hutan dijalankan sekadar menggugurkan kewajiban.Selama indikator keberhasilan pembangunan hanya angka pertumbuhan, bukan ketahanan sosial-ekologis, bencana akan terus menjadi pengingat rutin bahwa kita salah arah.Dari reaktif ke proaktif: Paradigma yang harus kita balikkanSetiap kali banjir datang, kita bergerak cepat: logistik dikirim, posko dibangun, menteri turun lapangan, dan publik memberi donasi. Namun pola reaktif ini tidak menyelesaikan akar masalah.Preventive Development (Kelman, 2015) menunjukkan bahwa satu rupiah investasi dalam mitigasi mampu menghemat 4–7 rupiah biaya kerusakan. Ironisnya, kita lebih rela membayar kerusakan daripada mencegah penyebabnya.Saatnya mengakui: Bencana ini kita ciptakan bersamaBanjir Sumatera bukan semata tragedi alam. Ini adalah refleksi dari pilihan-pilihan kita: pemerintah yang menoleransi pelanggaran tata ruang, korporasi yang mengejar profit tanpa batas, dan masyarakat yang ikut memanfaatkan ruang tanpa memikirkan risiko.Keberlanjutan bukan isu pinggiran. Ia adalah syarat agar Indonesia keluar dari siklus bencana dan memasuki era pertumbuhan yang lebih tangguh, adil, dan berjangka panjang.Di balik angka dan teori, kita tidak boleh melupakan manusia yang kehilangan rumah, keluarga, dan harapan akibat banjir ini. Empati harus berjalan seiring dengan aksi. Jika tidak, kita akan terus menulis berita bencana yang sama setiap tahun.Pada akhirnya, pertanyaan terbesar untuk kita semua adalah sederhana namun menohok:Apakah kita siap mengubah arah, atau kita akan terus menciptakan bencana kita sendiri?