Sejarah kurang menyenangkan dari film horor dan disabilitas

Wait 5 sec.

Secara historis, film horor memang sudah populer sejak lama. Mungkin karena genre film ini membuat penonton bisa mengatasi kecemasan kolektif dengan menghadapi ketakutan terbesar mereka. Sayangnya, ketakutan ini sering kali dibangun dari gagasan tentang apa yang “abnormal"—hal-hal yang berbeda dari norma-norma sosial pada umumnya.Dalam sejarahnya, film horor sering menggunakan disabilitas sebagai simbol visual untuk menandai batas antara yang normal dan yang tidak.Disabilitas sejak lama digunakan sebagai metafora untuk horor, kejahatan, atau monster. Tapi belakangan, sejumlah pembuat film mulai menggunakan genre horor untuk merefleksikan pengalaman hidup orang dengan disabilitas.Penjahat yang obsesifDalam banyak film horor, orang dengan disabilitas—baik fisik maupun intelektual—sering digambarkan sebagai penjahat dengan hasrat obsesif untuk membalas dendam kepada dunia yang mereka anggap menyebabkan penderitaan bagi mereka. Pola ini muncul berulang dalam sejumlah film slasher (jagal) dari era 1970-an sampai 1980-an, termasuk Halloween (1978), Friday the 13th (1980), A Nightmare on Elm Street (1984), dan The Texas Chain Saw Massacre (1974).Pakar film disabilitas Amerika Serikat (AS) Martin Norden menyebut pola ini sebagai the obsessive avenger (pendendam obsesif):Seorang egomania—hampir selalu laki-laki—yang tidak akan berhenti sebelum membalas dendam kepada mereka yang ia anggap bertanggung jawab atas disabilitasnya dan/atau telah melanggar kode moralnya dengan cara lain.Keterkaitan antara disabilitas dan sifat jahat ini bukanlah kebetulan. Dalam mempersiapkan perannya sebagai Leatherface di The Texas Chain Saw Massacre, aktor Gunnar Hansen mengamati para siswa dengan disabilitas intelektual di sebuah sekolah khusus, dan meniru gerak-gerik mereka.Sementara di Indonesia, disabilitas juga menjadi elemen dari genre horor seperti yang tampak dalam film Pengabdi Setan (2017) dan Pengantin Iblis (2025).Lanskap yang berubahOrang dengan disabilitas kini menyuarakan pendapat mereka secara daring tentang bagaimana kehidupan mereka terdampak oleh stereotip yang merugikan akibat ‘framing’ media. Dorongan untuk advokasi dan peningkatan kesadaran ini telah mendorong perubahan dalam sikap budaya dan kebijakan konten film.Pada 2018, British Film Institute mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi mendanai film yang menampilkan orang dengan luka di wajah sebagai tokoh jahat atau penjahat. Keputusan ini merupakan tanggapan langsung terhadap kampanye #IAmNotYourVillain yang dijalankan oleh lembaga amal Inggris, Changing Faces.Di bawah pengawasan yang semakin ketat, para pembuat film juga mendapat sorotan karena menggunakan disabilitas sebagai simbol horor, kejahatan, atau monster.Pada 2020 silam, Warner Bros misalnya, terpaksa meminta maaf usai karakter Anne Hathaway dalam The Witches dikritik karena menstigma perbedaan bentuk anggota tubuh. Penonton memperhatikan kemiripan antara "cakar” karakternya dalam film dan kondisi genetik nyata yang disebut ektrodaktili (cacat bawaan yang memengaruhi perkembangan tangan dan kaki). Hal ini memicu tren tagar #NotAWitch di media sosial.Aktris Lupita Nyong’o juga meminta maaf karena menggunakan spasmodic dysphonia—kondisi gangguan pada laring—sebagai inspirasi untuk suara doppelganger jahatnya dalam film Us (2019) karya Jordan Peele.Asosiasi nasional spasmodic dysphonia menegaskan bahwa:‘Spasmodic dysphonia’ bukanlah suara yang menyeramkan atau menakutkan. Ini adalah bentuk disabilitas yang dijalani oleh banyak orang, dan mereka tidak seharusnya dinilai atau dihakimi karenanya.Juga pada 2019, sutradara Ari Aster dikritik karena menggunakan karakter Ruben, seorang anak dengan disabilitas, semata-mata untuk efek kejut dalam film horor Midsommar. Kritikus film Emma Madden dalam artikelnya untuk The Guardian menyebut:Mirip dengan film Aster sebelumnya, ‘Hereditary’, disabilitas fisik dan mental dijadikan metafora bagi trauma dan disfungsi keluarga. Tubuh penyandang disabilitas sekali lagi dijadikan tubuh monster—digunakan untuk merepresentasikan dunia yang mengerikan.Dari monster jadi pahlawanBanyak orang dengan disabilitas juga merupakan penggemar berat genre horor. Mereka mengkritik bukan untuk “menghancurkan” monster atau menghapus genre horor, melainkan untuk mengurangi ketergantungan naratifnya pada pandangan ableis—memandang orang nondisabilitas lebih unggul.Seperti yang dikatakan oleh penggemar film horor Lotto Ramsay:Aku ingin merasakan kengerian. Aku tak mau jadi kengerian itu.Para pembuat film masa kini semakin banyak menciptakan kisah horor dengan tokoh utama yang memiliki disabilitas—mungkin sebagai respons terhadap harapan dan komentar penonton. Dengan cara ini, mereka bisa mempertanyakan makna normal dengan perspektif baru. Beberapa film horor terbaru bahkan menampilkan disabilitas fisik sebagai keunggulan, seperti dalam Bird Box (2019) dan A Quiet Place (2018).Dalam film jagal Hush (2016), tokoh utama Maddie Young (Kate Siegel) digambarkan sebagai seorang penulis tuli yang berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Diburu oleh pembunuh kejam yang tidak bisa ia dengar, Maddie menarik penonton untuk ikut merasakan perjuangannya yang putus asa demi bertahan hidup, mendorong mereka untuk berempati dan terhubung dengan karakter disabilitas.Tentu saja, memiliki tokoh utama dengan disabilitas tidak menjamin sebuah film akan bebas dari ableisme atau stereotip negatif. The Advent Calendar (2021), film horor yang menampilkan pengguna kursi roda sebagai tokoh utamanya, justru terjebak dalam stereotip lama dengan menggambarkan disabilitas sebagai sesuatu yang perlu diperbaiki.Sama seperti kita dapat melihat film-film horor masa lalu sebagai cerminan dari pandangan usang terhadap ras, gender, dan seksualitas, genre horor juga mencerminkan perubahan dalam konstruksi sosial mengenai disabilitas.Hal ini berarti para pembuat film horor di masa depan memiliki kesempatan untuk menceritakan kisah-kisah yang bisa dinikmati oleh penyandang disabilitas—bukan menjadikan mereka sekadar objek cerita.Katie Ellis menerima pendanaan dari Dewan Riset Australia.Gwyneth Peaty tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.